Header Ads

Mahabharata, Saudi Arabia, dan Mengapa Hizbut Tahrir Benar Prediksinya?

Sebagaimana disampaikan Syaikh Taqi (Imam Taqiyuddin an-Nabhani) dalam kitab Mafahim Siyasi (Konsepsi Politik), sebenarnya sebuah analisis politik tak bisa mengandalkan analogi. Namun kita harus mengamati fakta sebenarnya dan menyimpulkan apa adanya. Hanya saja, ini tak berarti kita harus menyatakan suatu yang mirip itu dengan “beda”. Namun, kita harus meneliti dengan jeli kemiripan itu, dan selanjutnya perbedaan yang ada hendaknya juga kita harus katakan.



Mengamati kondisi di Timur Tengah saat ini, bisa kita katakan ada kemiripan dengan peta politik di dalam cerita Mahabharata, walaupun tak bisa kita analogikan sepenuhnya. Saya berharap dengan memahami kemiripan itu menjadikan kita memahami peta politik yang rumit dengan gaya ketoprak saja, sehingga jadinya lebih ringan. Walau begitu, bedanya tentu saja juga ada.

Di dalam Mahabharata, kita menyaksikan seorang raja yang sudah tua, yang pada akhirnya menuruti keinginan anaknya, untuk menyerang sebuah negara tentangga. Itu terjadi saat Dhristarastra, raja Hastinapura, menuruti keinginan Duryodana untuk menyerang Matsya. Kemudian kita melihat bahwa Hastinapura dalam kasus ini tidak kompak, nampak sekali ada polarisasi. Bhisma, sosok senopati sepuh, menentang perang itu. Namun keinginan Duryodana tak bisa dibendung. Dengan dukungan sebagian raja tetangga, seperti Susharma dan Jayadrata, Hastinapura dan para sekutunya akhirnya tetap menyerang Matsya. Dan akhirnya kita tahu, Matsya tak bisa dikalahkan.

Di sini kita melihat, bahwa negara sebesar Hastinapura, negara terkuat di tanah Hindustan di zaman konon itu, ternyata begitu gampang terpolarisasi. Mengapa? Karena sebenarnya di tanah India itu hanya ada dua “otak politik”. Yaitu Khrisna, raja Dwaraka, dengan rencana-rencananya akan India bersatu di bawah superioritas Pandawa, keponakan Dhristarastra, versus Sengkuni, raja Gandara, dengan berbagai taktiknya agar terjadi penakhlukan Duryodana atas sekitarnya. Perang saudara Hastina (Bharatayudha) antara Pandawa dan Kurawa (Duryodana dan saudara-saudaranya) pada hakekatnya adalah adu rencana, adu strategi, dan adu taktik antara dua pihak saja, yaitu Khrisna dan Sengkuni itu. Kira-kira tak beda dengan para pemain Barcelona dan Real Madrid beberapa tahun lalu, dalam rivalitas kedua juru taktik mereka, Guardiola dan Mourinho. Bisa jadi puluhan ribu prajurit saling bantai di medan perang, puluhan ksatria perkasa adu kesaktian di tengah-tengah lapangan dengan hamburan debu-debunya, tapi sebenarnya “yang bermain” hanya dua, yaitu Khrisna dan Sengkuni.

Pertanyaannya: Mengapa kita begitu gampang menyimpulkan bahwa dalam negara adikuasa versi zaman konon itu ternyata di dalamnya ada dua otak?

Pertama, karena itu ada sejarahnya. Khrisna punya hubungan historis dengan Pandawa serta Bhisma. Sementara Sengkuni, selain ia adalah paman Duryodana, ia juga punya ikatan historis dalam memenangkan Dhristarastra untuk menjadi raja Hastinapura. Eksistensi mereka tak datang begitu saja. Tetapi butuh waktu yang tidak sebentar. Keduanya menjadi penyokong dua kekuatan yang bertikai di Hastinapura dan masing-masing punya sekutu di tanah India.

Kedua, selain sejarah, Khrisna dan Sengkuni juga terbiasa mempunyai visi politik, yang dijabarkan dalam metode politik, dan selanjutnya cara-cara meraih rencana mereka. Kebetulan cara-cara mereka agak mirip, yaitu “gaya Jawa Tengah”, alias cukup kalem namun ternyata cukup licik. Berkali-kali Sengkuni harus menenangkan Duryodana. Dan berkali-kali Khrisna harus menenangkan Arjuna dan Bima.

Dari sini, kiranya anda sudah bisa menduga kemiripan Timur Tengah di zaman kini, dengan Hindustan (India) di zaman konon.

Raja Salman bin Abdul Aziz, sungguhpun terkenal sholeh, ternyata cukup “mempercayai” anaknya, Muhammad bin Salman, untuk menyerang Yaman. Kebijakan ini ditentang adiknya, putra mahkota Mukrin bin Abdil Aziz. Di sini Mukrin seperti Bhisma. Yang kasihan adalah Yaman, yang jadi Matsya. Beberapa sekutu seperti Uni Emirat Arab dan Mesir mendukung, tak beda dengan Susharma dan Jayadrata. Dan sampai sekarang pemberontah Houthi di Yaman belum terkalahkan.

Kemudian, dengan pemberhentian Mukrin sebagai putra mahkota, dan naiknya Muhammad bin Salman sebagai deputi putra mahkota yang baru, akhirnya terbukalah polarisasi yang ternyata begitu tajam di kelarga kerajaan. Terbuka pula perhitungan yang kurang matang dari Muhammad bin Salman, sehingga ujung-ujungnya pemberontak Houthi di Yaman justru menguat posisinya secara politik. Terbuka pula dengan cukup jelas bahwa di negara petrodolar itu keluarga kerajaan pecah dua. Yaitu pihak-pihak yang dekat dengan Amerika Serikat, yaitu putra-putri Sudairi, termasuk Raja Salman, dengan pihak-pihak yang dekat dengan Inggris, terutama kalangan pengikut raja sebelumnya, Abdullah bin Abdil Aziz, termasuk Mukrin bin Abdil Aziz tadi. Terbuka pula bahwa keshalehan Raja Salman bin Abdil Aziz dan dukungan sahabatnya yang hafiz Qur’an, yaitu Syaikh Sudais, tidak otomatis menjadikan Kingdom of Saudi Arabia (KSA), tepat semua tindakannya. Ada keterbatasan beliau dalam menyikapi peta politik. Sementara putra beliau, Muhammad bin Salman, yang begitu berambisi menyerang Yaman, masih belum cukup berpengalaman, dalam memahami kondisi politik yang terjadi dan segala konsekuensi dari langkah-langkahnya itu. Di sinilah Amerika Serikat mendapatkan momentumnya, mengendalikan arah kebijakan Saudi.

Yang cukup ajaib, berbagai kondisi yang nampak terbuka sekarang (polarisasi di KSA, menguatnya Houthi, persaingan AS dan Inggris dalam menguasai Timur Tengah, kondisi politik yang nampak akan terjadi selanjutnya) kok seperti yang diprediksikan oleh Hizbut Tahrir?

Padahal bukankah Hizbut Tahrir bukan sesosok peramal?

Di sinilah kita perlu memahami kesamaan sekaligus perbedaan Timur Tengah di zaman kini dengan Mahabharata di zaman konon.

Persamaannya:

Pertama, tampaknya hanya AS dan Inggris yang cenderung punya visi politik skala Timur Tengah. Adapun negara-negara di Timur Tengah cenderung menjaga kekuasaannya masing-masing. Kita ketahui tadi, ini mirip dengan Sengkuni dan Khrisna, yang pikirannya skala India. Sementara raja-raja di India sibuk dengan tahtanya, sedangkan para ksatria sibuk merawat senjatanya dan meningkatkan kesaktiannya.

Kedua, baik AS maupun Inggris mempunyai ikatan historis yang kuat dengan peta geopolitik di Timur Tengah. AS terlibat dengan penemuan minyak Saudi di masa King Abdul Aziz dulu. Sementara Inggris lebih jauh lagi, terlibat dalam pendirian negara Saudi itu sendiri.

Ketiga, Inggris adalah pemain lama di Timur Tengah. Ia akan lebih dominan jika Timur Tengah cenderung adem ayem. Karena kekuatan-kekuatan di sana tetap bersahabat dengannya. Ini seperti Khrisna. Sementara AS pemain yang lebih baru, ingin mengganti Inggris, lebih suka “kondisi panas” untuk membelokkan agar sebagian pihak menguntungkannya. Ini mirip Sengkuni. Kondisi ini berkebalikan dengan d Indonesia di mana Eropa lebih suka mengail di air keruh.

Perbedaannya:

Pertama, sejarah AS (“si Sengkuni”) dan Inggris (“si Khrisna”) bahkan lebih lama pengaruhnya dari Sengkuni dan Khrisna. AS sudah cukup mempengaruhi Saudi sejak masa Abdul Aziz, tiga perempat abad lalu, di banding Sengkuni yang baru berpengaruh di zaman Dhistrarastra. Inggris bahkan lebih lama lagi. Sudah lumayan ada pengaruhnya bahkan di zaman KSA masih dalam kandungan.

Dari sini kita melihat bahwa Raja Salman adalah pihak yang berkarakter, juga orang yang sholeh. Itu tentu tidak bisa disamakan dengan Dhristarastra, yang pribadinya gampang goyah. Namun ruang untuk melawan atmosfer politik istana Riyadh yang terpolarisasi tentu bukan hal yang gampang. Kedua “jin kafir” itu sudah begelantungan di istana sejak istana itu ada. Kita tentu saja menghargai kesholehan sang raja, kita menghormati pula sahabatnya, Syaikh Sudais, imam Masjidil Haram. Namun, melawan atmosfir yang semacam itu tentu bukan hal yang gampang. Bagaimana ia mau melawan sejarah negerinya sendiri?

Kedua, AS bukanlah Sengkuni, yang sayang kepada Duryodana, keponakannya, dan ia hanya ingin mendompleng sang pangeran Hastina. AS bukanlah pamannya Muhammad bin Salman. Namun AS ingin mendominasi Timur Tengah. Ia ingin KSA terjerumus. Ia memanfaatkan darah muda Muhammad bin Salman. Dengan melemahnya KSA, maka kekuatan KSA dan sekutunya akan cenderung seimbang dengan Iran dan sekutunya. Ini menjadikan KSA semakin bergantung ke AS. Dengan isyu Sunni-Syiah yang begitu gencar, maka otomatis ada keseimbangan antar dua kubu. Ini membuat lawan AS tinggal satu: kelompok Islam yang ingin dominasi Barat dihancurkan. Dan untuk ini AS sudah siapkan lawan: Israel. Dengan itu AS tinggal fokus pada urusan ekonominya dan agenda menghambat berkuasanya Islam kembali. Bukankah ia lebih bisa santai melihat kondisi Timur Tengah yang “sudah terselesaikan” ?

Ketiga, dalam Mahabharata, Khrisna dan Sengkuni mempunyai kemiripan cara: gaya Jawa Tengah. Kayak Jokowi, yang tetap masih misteri apakah dia pro penahanan Novel Baswedan atau pro pembebasannya. Inggris memang seperti kedua Machiavelli India itu. Namun AS beda, ia memakai “gaya Jawa Timur”. Amerika Serikat siap nggajul dengan pasukannya. AS juga agak mirip dengan Soekarno dan Gus Dur, yang “maunya ke mana masih kelihatan”. Dengan posisinya yang masih cukup kuat saat ini, keadaan ini tentu membuat KSA tidak leluasa untuk berani menantang AS.

Keempat, berbeda dengan kedua Machiavelli India itu, AS dan Inggris tak berkelahi, namun hanya berebut pengaruh. Ini membuat mereka nampak “masih berteman” juga, tapi berebut agar bagian masing-masing lebih besar. Ini gampang dipahami, sebagaimana perebutan pengaruh antar partai-partai di Indonesia.

Di sinilah kita melihat bahwa kebiasaan HT memberikan analisis persaingan AS-Inggris di Timur Tengah bukanlah sikap sok-sokan. Itu adalah “tanda ayang” buat umat Islam. Kita jelas sekali melihat relevansinya.

Pertama, sejarah berdirinya negara akan cukup kuat mewarnai negara itu, dan itu tak cukup dilawan dengan kepribadian seorang pemimpin, walaupun ia sosok yang shaleh.

Kedua, ambisi negara ideologis mempunyai jangkauan yang lebih luas dari negara biasa, memberikan pengaruh yang lebih dominan, serta mendapatkan keuletan memperjuangkan yang lebih tinggi.

Ketiga, karakter suatu bangsa sulit untuk berubah, sebagaimana AS dengan “gaya jawa timurannya”, dan Inggris dengan “gaya jawa tengahnya”. Bukankah berabad-abad orang Jateng tetap begitu dan Jatim juga begitu.

Beberapa hal di atas itulah yang membuat beberapa prediksi HT tadi menjadi terasa wajar.

Konsekuansinya bagi kita umat Islam:

Kita tentu harus membangun sejarah baru. Kita lawan sejarah terkalahkan ini dengan sejarah baru yaitu sejarah kemenangan, izzul Islam wal muslimin. Sebagaimana umat Islam dulu, kita harus mempunyai ambisi ideologis, yaitu agar seluruh dunia ini ternaungi dalam rahmat Islam. Yang dengan itu Islam sudah memberikan formulanya, yatu syariah dan khilafah. Kita juga harus mempunyai karakter Islam. Watak-watak lama kita, sebagai kaum tertentu yang mempunyai kekhasan, mungkin tak perlu kita hilangkan. Namun kita didik, bina, dan hakimi dengan Islam; serta kita manfaatkan hanya demi Islam. Wallahu a’lam bi ash shawab.[]

Oleh : Husain Matla (Penulis & Aktivis HTI)

[detikislam/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.