Header Ads

Belajar Dari Musharraf Dan Saakashvili

Remaja Amerika bertambah pandir. Ekonominya terkena krisis, utang luar negerinya terbesar, dan pamor politiknya melorot. Inilah negeri pelanggar HAM nomor satu di dunia. Aneh, pemerintah Indonesia selalu mengikutinya [bagian 1]

Oleh: Amran Nasution *

Hidayatullah.com--Kellie Pickler, penyanyi berambut pirang dari American Idol itu betul-betul tak tahu kalau Hungary adalah sebuah negara di Eropa. ‘’Itu negara? Saya pernah dengar Turki. Tapi Hungary? Saya belum pernah dengar,’’ katanya dalam sebuah acara kuiz yang disebar-luaskan jaringan YouTube, awal tahun ini.

Kellie Pickler tak sendirian. Sekarang banyak orang membicarakan tentang remaja Amerika Serikat yang bertambah pandir. Tahun ini, sebuah survei oleh group advokasi pendidikan, Common Core, menemukan seperempat dari para remaja itu tak mengenal Adolf Hitler. Nyaris 20% tak tahu Amerika berperang melawan siapa dalam Perang Dunia II, dan 11% berpendapat Dwight D. Eisenhower adalah Presiden Amerika yang jatuh karena skandal Watergate.

Padahal Eisenhower adalah jenderal Amerika, Panglima Sekutu di Eropa dalam Perang Dunia II. Namanya terkenal karena memimpin pendaratan Normandy sebagai titik balik kekalahan Jerman. Eisenhower kemudian terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Tentu ia tak ada hubungan dengan Richard Nixon, Presiden Amerika yang mundur karena skandal Watergate.

Sekitar sepertiga dari siswa sekolah menengah atas putus sekolah (drop out). Sepertiga lagi menyelesaikan sekolah tapi tak lanjut ke perguruan tinggi. ‘’Amerika merupakan salah satu negara dengan angka drop out tertinggi di antara negara industri maju,’’ kata Allan Golston, aktivis pendidikan di sana.

Dalam berbagai lomba matematika internasional, siswa Amerika selalu menempati peringkat bawah di antara negara industri maju (baca artikel Bob Herbert, Clueless in America, The New York Times, 22 April 2008). Kenapa semua terjadi? Bagaimana Amerika, negara dengan pemenang hadiah Nobel paling banyak kok jadi begini?

Setiap masalah ini didiskusikan, televisi, video games, dan internet, jadi biang kerok. Infotainmen memenuhi acara televisi dan sekarang website di internet. Remaja terlalu asik dengan semua budaya serba pop itu sehingga melupakan urusan sekolah.

Tapi wartawati senior The Washington Post, Susan Jacoby, 62 tahun, menuding kebodohan itu disebabkan tak beresnya standar pendidikan nasional dikombinasikan bangkitnya anti-intelektual dan anti-rasionalisme, sekarang mengancam masa depan demokrasi di negeri itu.

Anti-intelektual? Di dalam bukunya yang beredar beberapa bulan lalu, The Age of American Unreason, penulis produktif itu mempertanyakan dampak kebangkitan Kristen Evangelical di Amerika, sesuatu yang tak terjadi di Eropa.

Pemerintahan Bush, misalnya, menolak pendapat para ahli bahwa pemanasan global disebabkan karbon dioksida, melainkan oleh kehendak Yang Maha Kuasa (almighty). Irak diserang karena negeri itu dengan Presiden Saddam Hussein adalah perwujudan kembali Kerajaan kuno Babylonia dengan rajanya Nabukadnezar sebagaimana dimaksudkan Kitab Suci. Banyak sekali fakta seperti ini ditemukan di Amerika sekarang.

Tulisan ini tak ingin memperdebatkan soal anti-intelektual yang dituduhkan Susan Yacoby. Biarlah itu menjadi urusan mereka. Jangan kata remajanya, politisi negeri itu saja sekarang sering mempertontonkan ‘’kepandirannya’’ di pentas internasional.

Lihatlah surat 40 anggota Kongres Amerika Serikat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 29 Juli 2008. Surat itu meminta dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang melakukan tindak pidana dibebaskan. Keduanya, Filep Karma dan Yusak Pakage, menggerek bendera Bintang Kejora, dalam suatu kerusuhan di Jayapura, Papua, Desember 2004. Pengadilan kemudian menghukum keduanya 10 dan 15 tahun penjara karena makar.

Kalau bisa berpikir normal, mestinya mereka tahu Indonesia bukan negara bagian Amerika Serikat, sehingga seenaknya bisa mereka atur dengan menulis sebuah surat. Presiden SBY bukan antek Amerika sehingga dengan gampang mereka kendalikan. Mestinya mereka tahu bahwa Indonesia adalah negara berdaulat dipimpin seorang presiden merdeka yang tak bisa mereka takut-takuti, mereka ancam, atau mereka gertak. Mereka tak bisa membatalkan vonis pengadilan Indonesia yang menghukum kedua anggota OPM itu.

Mereka itu orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu ketika mengingatkan Presiden SBY tentang hak asasi manusia (HAM) di Papua. Boleh jadi, polisi sedikit kasar. Tapi itu tak ada artinya apa-apa dengan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Amerika Serikat terhadap penduduk sipil Iraq atau Afghanistan.

Sudah lebih 1 juta penduduk Iraq meninggal dunia oleh tangan Amerika. Lebih 4 juta penduduknya menjadi pengungsi di Jordan dan Syria, serta di dalam negeri, karena tempat tinggal mereka dirusak perang.

Dengan apa yang sekarang terjadi di Iraq dan Afghanistan, bagaimana anggota kongres itu masih punya keberanian mempersoalkan apa yang terjadi di Papua sebagai pelanggaran HAM? Jelas bagi mereka HAM hanya alat politik. . [www.hidayatullah.com/bersambung]

Penulis adalah Direktur Institute For Policy Studies (IPS), Jakarta

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.