Header Ads

Da’wah Tawhid VERSUS Da’wah Raam Punjabi Cs

Sejalan dengan apa yang disebutkan dalam hadits tentang fitrahnya manusia, sebuah penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan pada tahun 1990-an membuktikan adanya hubungan antara pendidikan dengan perilaku manusia. Penelitian yang dilakukan Benson dan Engeman melihat adanya kenaikan angka tingkat perceraian, angka aborsi, angka penderita penyakit akibat hubungan seksual, tingkat kriminalitas dan pelanggaran hukum oleh remaja (juvenile), berkali-kali lipat selama 3 dekade hingga tahun 1990-an. Keduanya menunjuk pada aliran positivisme yang menguasai pendidikan di Amerika sejak tahun 1960-an, sebagai biang keladi yang menyebabkan semua ini. Tentunya berdasarkan bukti-bukti yang mereka temukan selama penelitian.

Kenapa positivisme yang dijadikan kambing hitam? Paul Bond, tidak sependapat kalau positivisme adalah kambing hitam dari demoralisasi manusia. Dia beranggapan memang positivisme-lah, sebagai salah satu yang telah menyingkirkan Tuhan dari kehidupan manusia harus bertanggung jawab. Karena Tuhan telah disingkirkan dari hidup manusia, “Ilmu berkembang tanpa wisdom,” tulis Paul Bond. Ia menegaskan: “The complete secularization of science, education, industry, and society in the West and East will lead to ultimate disaster.” (U. Maman Kh. dkk.: 2002)[1].

Kehampaan nilai berlangsung semenjak zaman pencerahan abad-18, yaitu pada masa Afklärung, suatu momen dalam pergerakan intelektual yang bermotifkan pembangkangan terhadap ajaran gereja di Eropa[2]. Perlawanan terhadap gereja kemudian berkembang menjadi pembangkangan terhadap semua nilai-nilai yang bukan berasal dari pengalaman manusia (baca: semua ajaran kalau bukan hasil pengalaman manusia berarti tertolak, contoh: ajaran dalam wahyu Tuhan). Hingga mulai berkembanglah kehidupan yang materialistik mulai saat itu. Kehancuran nilai-nilai moral dikarenakan tiga alasan utama.

Pertama, manusia dipaksa hidup dalam suasana kompetitif yang sangat tinggi untuk memperoleh materi yang sangat cepat. Kecenderungan profit oriented menghalalkan segala cara. Kedua, nilai-nilai moral menjadi sangat relatif, tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan, tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal dan ketentuan pasti yang menjadi pegangan umat manusia.
Ketiga, masyarakat lebih berorientasi pada keberhasilan (succsess oriented society) yang memunculkan succsess syndrome dengan ukuran perolehan posisi dan kekuatan yang mendorong pada kehampaan nilai-nilai moral. (U. Maman Kh. dkk.: 2002).

Disini kita bisa melihat betapa pendidikan yang minim atau bahkan menafikan nilai-nilai spiritual ternyata memiliki kemampuan untuk mendorong suatu masyarakat ke arah yang lebih buruk. Kita bisa lihat contoh kasusnya adalah Amerika Serikat, Amerika Serikat yang kini mulai mencari-cari standar nilai moral untuk diajarkan kepada msyarakatnya.

Sayangnya, hal itu juga ternyata terjadi di negeri kita tercinta. Pendidikan di Indonesia saat ini masih minim dalam mengakomodir nilai-nilai spiritual masuk ke dalam lembaga pendidikan formal. Pendidikan agama di sekolah-sekolah sampai saat ini masih seperti sekedar pelengkap. Pendidikan agama semestinya adalah main ingredient bahan ajar sekolah-sekolah. Karena “nilai-nilai spiritual” hanya bisa dihadirkan oleh agama.

Ketidakhadiran nilai-nilai spiritual dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia terlihat efeknya dengan jelas sekarang-sekarang ini. Satu fenomena yang sangat jelas menonjol adalah fenomena penggunaan narkoba di kalangan pelajar. Sudah terlalu sering kita mendengar pesta narkoba yang dilakukan pelajar atau mahasiswa. Hampir tiap hari berita surat-kabar menampilkan pelajar atau mahasiswa yang overdosis. Dan bukan hanya dilakukan pelajar-pelajar di kota besar, tapi sekarang dilakukan juga oleh pelajar di daerah-daerah.

Bersamaan dengan fenomena meningkatnya penggunaan narkoba adalah mewabahnya freesex. Terkadang dua fenomena itu bersamaan hadir dalam satu kejadian. Pesta Narkoba biasanya juga pesta seks. Di sisi yang lain, Pre-marital sex saat ini sepertinya bukan sesuatu yang tabu lagi. Hampir setiap hari selalu ada saja pasangan muda yang memasang rekaman aksi seks mereka di jaringan internet. Di beberapa kalangan anak muda, seks kini bukan lagi sesuatu yang suci, melainkan sesuatu yang tidak lebih dari sekedar buang air kecil.

Penggunaan narkoba dan freesex di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah ekspresi dari kehampaan hidup yang mereka rasakan. Narkoba dan freesex adalah icon dari “The Spiritless Generation”. Generasi yang tidak memiliki nilai-nilai spiritual, generasi yang merasa hidup adalah sebuah keterjebakan, generasi yang kemudian lari dari kehidupan, generasi yang tak tahu untuk alasan apa mereka hidup, generasi yang tak mungkin memiliki sense of responsibility, generasi yang pada akhirnya hanya akan menjadi beban bagi masyarakat. Bila narkoba dan freesex ini tak segera kita lenyapkan, sudah pasti ia akan menjadi virus (seperti HIV-AIDS) yang akan menghabisi hidup suatu bangsa.

Bagi ummat Islam yang sadar akan hal ini, kita sudah seharusnya segera bersama berpikir dan bertindak untuk memperbaiki keadaan. Narkoba dan freesex adalah last warning bagi kita semua. Bila peringatan yang sudah demikian nyatanya ini tidak kita sikapi, maka jangan heran bila bangsa kita tidak lama lagi akan karam. Untuk kemudian membusuk di kegelapan sudut terdalam Globalisasi dunia.

Seharusnya hal pendidikan ini menjadi pokok perhatian Ummat Islam Bangsa Indonesia. Sejatinya Islam adalah ajaran yang merupakan solusi bagi kehidupan manusia. Suatu ajaran yang tumbuh dan berkembang dengan sangat memperhatikan “hukum tumbuh kembang” sebuah masyarakat. Adalah al Qur’an yang mengajari masyarakat jahiliyyah sehingga bisa keluar dari keadaan terbelakang. Dengan al Qur’an sebagai sumber prinsip dan metode bagi Muhammad SAW. dalam mendidik masyarakatnya, tarbiyah robbani tergelar di sepanjang karier kenabiannya. Maka menjadi tidak wajar bila Ummat Islam bertindak tidak seperti nabinya atau bahkan bertentangan dengan beliau.

Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran: 164)

Bila kita simak ayat tersebut di atas, nyatalah bagi kita bahwa Muhammad SAW. melakukan upaya pendidikan bagi masyarakatnya. Dari ayat tersebut juga kita dapati bahwa yang pertama kali dilakukan Muhammad adalah membacakan ayat-ayat al Qur’an untuk membersihkan jiwa orang-orang yang beriman. Membersihkan jiwa pada ayat tersebut kita bisa fahami sebagai suatu upaya untuk menjadikan manusia sesuai dengan fitrahnya, itulah prinsip pertama pendidikan sejati.

Sudah menjadi suatu ketetapan di alam dunia, bahwasanya manusia seringkali lupa alasan kenapa ia diciptakan, manusia seringkali lupa atas fitrahnya semenjak dunia dengan segala isinya begitu kuat mempengaruhi jiwa. Bila kontaminasi dunia sampai pada tingkatan mengaburkan tujuan hidup seorang manusia, maka si manusia tersebut dipastikan akan terus berada dalam kerugian. Perjalanan waktu akan terasa menghimpit jiwa, yang pada akhirnya hidupnya akan dipakai untuk hal-hal yang sia-sia. Hal itu dikarenakan fitrah jiwa akan terus dan terus menuntut untuk hidup sesuai dengan apa yang digariskan oleh Sang Pencipta Alam. Jiwa hanya akan merasa ketenangan dan kebahagiaan bilamana ia beriman, beramal shaleh dan saling nasihat-menasihati dalam urusan al Haq (Kebenaran) dan dalam masalah kesabaran (QS. Al Ashr:1-3).

Sudah bukan saatnya lagi kita berpangku tangan. Apalagi kalau cuma melakukan kritik semata. Saat ini perang melawan kejahiliyahan modern mesti dilakukan dengan segala kekuatan yang ada. Sekecil apapun peluang untuk memperbaiki keadaan harus digunakan sebaik mungkin. Bila memang pendidikan di lembaga formal belum bisa mengakomodir nilai-nilai spiritual agama, maka kita bisa melengkapinya dengan pendidikan luar sekolah berbasis nilai-nilai spiritual. Jika kurikulum bukanlah wewenang kita atau kita merasa sulit untuk bisa mengkritisinya, bukan berarti kita mesti berhenti dan merasa cukup setelah melakukan kritik.

http://empiris-homepage.blogspot.com/2008/05/dawah-tawhid-versus-dawah-raam-punjabi.html
Mahasiswa UI/FIB

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.