Header Ads

Neoliberalisme Memakan Tuannya Sendiri

Jakarta - Lebih dari 100 bank gagal dan ditutup di Amerika Serikat hingga pekan ini. Inilah buah busuk dari neoliberalisme yang memakan tuannya sendiri. Maukah Indonesia belajar dari pengalaman buruk ini?

Doktrin dasar neoliberalisme adalah pemujaan primitif terhadap pasar. Para penganut neoliberalisme percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi, dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tapi seluruh kehidupan. “Peran negara dilucuti karena dinilai sebagai biang distorsi dan penyebab korusi, kolusi, dan nepotisme (KKN),” ungkap Revrisond Baswir, ekonom Universitas Gadjah Mada.

Pada sesi terakhir, otoritas moneter AS mengumumkan tujuh institusi finansial lagi yang kolaps akibat diterjang krisis. Total sudah ada 106 bank regional AS gagal sepanjang 2009. Angka ini terbanyak sejak 1992.

Bagi para ekonom penganut paham ekonomi neoliberalisme yang selalu berdalih agar pemerintah tidak campur tangan dan membiarkan pasar bertindak, akhirnya kena batunya.

Setelah bangkrutnya Enron, Lehman Brothers menyusul bangkrut. Begitu pula AIG nyaris bangkrut jika tak ditolong pemerintah AS.

Pemerintah AS akhirnya mengucurkan uang US$85 miliar atau Rp782 triliun untuk AIG. Padahal dana itu harusnya bisa dipakai untuk mensejahterakan fakir miskin AS. Harusnya pemerintah AS menuruti argumen ekonom neoliberal: negara jangan turut campur.

Jumlah bank yang mengalami kebangkrutan di AS semakin banyak. Hingga Jumat (23/10) pagi akhir pekan lalu, jumlahnya sudah mencapai 100 bank, dan menjadi 106 pada Jumat malam. Jumlah itu merupakan yang terbanyak dalam dua dekade terakhir.

Ketika bank menjadi bangkrut, Lembaga Penjaminan Pinjaman (Federal Deposit Insurance Corp/FDIC) berusaha menutupnya pada Jumat sore. FDIC berupaya menjual aset bank itu untuk menutupi kewajibannya, khususnya kewajiban terhadap simpanan nasabah. Kebangkrutan bank membebani dan terus menggerus dana FDIC yang diperkirakan sekitar US$25 miliar. Diperkirakan biaya akan terus membengkak hingga mencapai US$100 miliar hingga 2013. Untuk menutupi biaya itu, FDIC meminta bank membayar premi di muka dan akan berlaku untuk 2-3 tahun ke depan.

Daftar bank bermasalah semakin panjang. Pada akhir Juni, FDIC menandai ada 416 bank yang berisiko bangkrut, naik dari 305 pada Maret sebelumnya dan 252 pada awal 2009. Meski demikian, kecepatan aktual kebangkrutan bank semakin melambat.

Hal itu juga pertanda masalah sistem perbankan akibat kredit macet dan resesi masih akan terus memburuk. Puluhan bahkan mungkin ratusan bank yang saat ini masih beroperasi sudah sangat lemah dan mungkin akan ditutup.

Regulator menutup bank secara selektif dan perlahan untuk menghindari kepanikan juga karena sulit mencari pembeli bank busuk.

Pemulihan ekonomi dapat membantu beberapa bank yang sudah berada di tepi jurang. Namun jika pemulihan berjalan lambat, bank-bank kecil akan mengalami kesulitan dan keadaannya menjadi lebih buruk.

Revrisond Baswir mencatat, kebangkrutan sebuah bank bisa dipicu berbagai faktor, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Bank bisa bangkrut dan harus ditutup kalau kinerjanya buruk akibat naiknya kredit macet, atau aset bermasalah secara signifikan.

Penyebab lain adalah bank itu kesulitan likuiditas karena adanya penarikan dana besar-besaran dalam waktu bersamaan karena terjadinya krisis bersifat sistemik, bank run, maupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Bisa juga kesulitan likuiditas itu akibat mismatch dari struktur pendanaan yang lebih bersifat jangka pendek.

Penyebab lain jatuhnya bank-bank-seperti terjadi pada krisis perbankan periode 1997-1998 di Indonesia adalah banyaknya pemilik bank yang ikut campur tangan dalam operasional bank sehari-hari, pemberian kredit yang tidak hati-hati, serta praktek bank dalam bank, sehingga kurang memperhatikan sama sekali aspek manajemen risiko, good governance, dan kehati-hatian. Akibatnya, rakyat harus menanggung BLBI Rp650 triliun. (inilah/hti)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.