Header Ads

Jihad Terbesar adalah Melawan Hawa Nafsu?

"Kamu telah kembali (dari) sebaik-baik tempat kembali (medan perang), dan kamu telah kembali dari jihad yang kecil kepada jihad yang lebih besar, yaitu jihad seseorang hamba menentang nafsunya"

1. Periwayat-Periwayat Hadith:
- AI-Baihaqi
- AI-Khatib AI-Baghdadi

2. Status Hadith: LEMAH

3. Sebabnya:

a) RiwayatAI-Baihaqi:

Di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi iaitu Yahya bin Ya’la AI-Aslami AI-Kufi dan Laith bin Abi Sulaim.

Adapun Yahya binYa’la:

- Kata Imam Al-Bukhari: Ia seorang yang goncang hadithnya.
- Kata Imam Abu Hatim: Ia seorang yang lemah hadithnya.
- Kata Imam Ibnu Hajar: Ia lemah.
- Kata Imam Ibnu Ma’in: Ia tidak memiliki sesuatu. (yang soheh untuk dijadikan pegangan).

Manakala Laith bin Abi Sulaim:

- Kata Imam Ahmad: Ia seorang yang goncang hadithnya.
- Kata Imam Abu Hatim: Ia seorang yang lemah hadithnya.
- Kata Imam Abu Zur’ah: Ia seorang yang lemah hadithnya, tidak boleh dijadikan hujjah di sisi ahli ilmu dalam bidang hadith.
- Kata Imam An-Nasai: Ia lemah.
- Kata Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Hajar: Hafalannya bercampur-campur pada akhir umurnya.
- Kata Imam Ibnu Ma’in: Ia seorang yang mungkar hadithnya.
- Kata Imam AI-Hakim: Disepakati akan buruk hafalannya.

b) Riwayat AI-Khatib AI-Baghdadi:

- Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi bernama Yahya bin Abi AI-Ala’.
- Diyakini Yahya bin Abi AI-Ala’ ini adalah Yahya bin Ya’la yang disebut di atas (di dalam sanad Imam Al-Baihaqi) kerana Imam Ibnul Jauzi ada menyebutnya di dalam kitabnya Zammul Hawa dari jalan periwayatan AI-Khatib AI-Baghdadi ini.
- Setelah nyata ia adalah Yahya bin Ya’la, maka riwayat ini juga lemah.

4. Keterangan:

- Di sana terdapat satu lagi ucapan yang hampir sama dengan hadith lemah di atas, iaitu, maksudnya: Kita kembali dari jihad yang kecil kepada jihad yang lebih besar.
- Menurut Imam An-Nasai di dalam kitabnya AI-Kuna, ucapan tersebut adalah dari kata-kata Ibrahim bin Abi Ablah, seorang tabi’en yang berasal dari Syam, bukannya sabda Nabi SAW Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar.

5. Kesimpulan:

- Hadith lemah di atas dan ucapan Ibrahim bin Abi Ablah (bahkan disangka oleh sesetengah pihak sebagai hadith Nabi SAW, tapi sebenarnya bukan) telah dijadikan sandaran terutama oleh golongan tasawwuf bahwa jihad yang lebih besar dan utama ialah jihad memerangi hawa nafsu, bukannya jihad memerangi musuh-musuh Islam.
- Sedangkan menurut AI-Quran dan As-Sunnah, jihad memerangi musuh-musuh Islam adalah yang utama dan besar kelebihannya, dengan tidak menafikan perlunya suatu kesungguhan dalam mengendalikan hawa nafsu yang sifatnya sentiasa mengajak manusia ke arah kejahatan.

Wallahu ‘alam bishowab.


Bantahan Atas Jihad Melawan Hawa Nafsu :

Diantara kesalahan tentang pemahaman Jihad yang menyebabkan ummat enggan untuk melaksanakannya adalah pemahaman jihad besar (jihad melawan hawa nafsu) dan jihad yang lebih rendah. Seiring dengan keyakinan ini, berjuang melawan hawa nafsunya sendiri dipertimbangkan sebagai jihad yang terbesar, yang menjadikan jihad dengan berperang di medan pertempuran merupakan jihad yang paling rendah.

Pemahaman ini didasarkan atas cerita yang disebutkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam bukunya, Sejarah Baghdad, dari Yahya Ibnu al ‘Ala’ berkata ;
“Kami mendapatkan kabar dari Laith dari ‘Ata’, dari Abu Rabah, dari Jabir mengatakan bahwa, “Sekembalinya Nabi saw dari perang, Beliau mengatakan kepada kami, “Telah datang kepadamu berita yang baik, kamu datang dari jihad yang rendah kepada jihad yang lebih besar yaitu seorang hamba Allah yang berjuang melawan hawa nafsunya.”

Konsepsi ini walaupun secara fakta didasarkan atas sebuah hadits, akan tetapi hadits ini dapat disangkal dari beberapa aspek, yang akan kami sebutkan berikut ini.

Pertama:
Hadits ini tidak bisa digunakan untuk sebuah hujjah, karena Al-Baihaqi berkata berkaitan dengan ini, “mata rantai dari periwayatannya adalah lemah (dha’if).” As-Suyuti juga berpendapat bahwa aspek hukumnya lemah, hal ini beliau utarakan dalam bukunya, Jami’ As-Shaghir.

Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa hadits dha’if bisa diterima dalam persoalan keutamaan amal. Pendapat ini tidak bisa diterima, karena kami tidak percaya bahwa jihad bisa digunakan untuk keutamaan amal. Jika hal itu memang benar, bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda bahwa, “Diamnya ummat ini adalah penghianatan terhadap jihad”

Selanjutnya, siapapun yang mengikuti Yahya Ibn al-‘Ala’, sebagai seorang perawi hadits maka akan menemukan dalam biografinya sesuatu yang akan menyebabkannya meninggalkan hadits tersebut. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata (berpendapat) tentangnya dalam At-Taqrib, “Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits”. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan, “ Abu Hatim berkata bahwa dia bukanlah seorang perawi yang kuat, Ibnu Mu’in menggolongkannya sebagai perawi yang lemah. Ad-Daruqutni berkata bahwa dia telah dihapuskan (dalam daftar perawi) dan Ahmad bin Hanbal berkata “Dia adalah seorang pembohong dan pemalsu hadits”.

Kedua:
Hadits ini secara tegas dan jelas bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Allah Yang Maha Kuasa berfirman:

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’,4: 95-96).

Ketiga :
Hadits ini (hadits tentang jihad melawan hawa nafsu) bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir yang disampaikan oleh Nabi saw., yang menjelaskan tentang keutamaan jihad. Kami akan menyebutkan beberapa diantaranya :

“Waktu pagi atau sore yang digunakan di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (Bukhari dan Muslim)

Keempat:
Dr.Muhammad Amin, seorang penduduk Mesir berkata dalam kitabnya, bagian dari dakwah Islam adalah jihad dengan dirinya sendiri, adapun jihad dengan harta tidak menunjukkan atas penegakkan seruan atas kebenaran dan berpendirian di atas kebenaran, menyeru kepada kebenaran dan melarang kemunkaran serta memberikan kontribusi hidup dan hartanya di jalan Allah merupakan jihad yang kurang sempurna. Ini adalah ungkapan yang aneh!

Tatkala kita ditimpa ujian yang sangat berat dimana kaki ikut terguncang dan hati selalu was-was akan ancaman, bisakah itu disebut jihad yang rendah? Ketika kita merasakan keadaan aman dan nyaman di rumah, berkumpul dengan keluarga dan teman-teman, bisakah ini disebut dengan tingkatan jihad yang tertinggi? Keadaan ini seperti ungkapan seseorang yang gembira dalam keadaan duduk membelakangi perintah Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya. Seperti orang yang mendapati kesenangan dan kenyamanan dalam hidupnya padahal realitanya mereka hanya menipu jiwa mereka sendiri yang lemah karena nilai-nilai kebenaran amal seluruhnya mereka tentang.

Di akhir tulisan ini, kami kutipkan beberapa kalimat yang telah dikirim oleh seorang mujahid Abdullah bin Al-Mubaraq dari tanah jihad kepada temannya Al-Fudail bin Iyyad, orang yang menasihati para penguasa dan membuatnya menangis, beliau tidak meminta bayaran akan tetapi murni muncul dari keikhlasan.

“Wahai orang yang beribadah di Masjid Haromain, seandainya engkau melihat kami tentu engkau tahu bahwa engkau dalam beribadah itu hanya main-main saja, kalau orang pipinya berlinang air mata, maka, leher kami dilumuri darah “

Pertimbangan Jihad
Sebagian orang mungkin heran ketika mereka mendengar orang yang menggambarkan jihad (di medan perang) adalah jihad yang terendah atau orang yang menganggap berperang di jalan Allah merupakan aktivitas yang kecil dibandingkan dengan perbuatan yang lain.

Jika kita menelusuri kehidupan orang-orang tersebut, melihat sejarah mereka dan mempelajari alasan-alasan mereka atas penolakan persoalan ini, maka akan kita temukan bahwa penjelasan atas pendirian mereka adalah sangat sederhana.

Orang-orang tersebut meremehkan jihad dan memberikan prioritas kepada studi di Universitas, menulis di majalah-majalah dan berpidato di konferensi-konferensi untuk mengakhiri perang dan mengakhiri aksi syahid.

Dengan melihat kehidupan mereka, maka akan ditemukan sebuah ancaman terhadap kesatuan ummat, karena ummat ini akan digiring pada pandangan mereka.
Ummat akan merasa bahwa dirinya lemah dan menahan diri dari aktivitas jihad (mereka hanya menerima teori dan konsepnya saja) akan tetapi tidak berpartisipasi dalam jihad.

Tidak ada keinginan atas dirinya untuk bersama-sama dengan orang-orang yang mendapatkan rahmat Allah (Syahid), mereka juga menganggap tidak memiliki keuntungan untuk bergabung dengan camp-camp mujahid.

Sebuah camp yang serba sederhana, jauh dari kemewahan dan kekurangan akan bahan pokok, yang akan menjadikan mereka merasakan perbedaannya antara kehidupan di camp tersebut dengan kehidupan yang dijalaninya di universitas yang penuh dengan makanan-makanan, hiburan dan ruangan kelas yang ber-AC.

Bagaimana mungkin orang-orang tersebut dapat menerima kebenaran nilai dari jihad ketika mereka tidak berpartisipasi dalam dunia perang, tidak juga masuk ke dalam arena kerusuhan dalam perang?

Jika seorang terjun ke dalam sebuah pertempuran maka cukup untuk membenarkan atas semua kesalahpahamannya. Seorang mujahid, hanya dalam hitungan beberapa jam saja dapat melihat segala sesuatu yang menakutkan yang akan menyebabkan rambut anak-anak pun menjadi beruban.

Bom-bom yang meledak akan membersihkan jiwa-jiwa saudara-saudara kita yang kita cintai yang ikut andil dalam perjuangan dan jihad. Mereka akan melihat bagaimana situasi dari orang-orang ketika roket-roket meledak di atas kulit kepala mereka atau di bawah kaki mereka? Bagaimana situasi ketika mereka melihat dengan mata kepala sendiri anggota tubuh seperti lengan, kaki dan usus hancur berhamburan, anggota tubuh yang sehat menjadi cacat, hilang ingatan atau lumpuh? Inilah alasan pokok atas penolakan orang-orang yang meremehkan jihad.

Dalam beberapa jam atau hari seorang mujahid melihat dengan mata kepalanya sendiri bentuk-bentuk kekerasan, ujian dan kesengsaraan yang dialami tatkala jihad, tidakkah yang lainnya melihat hal ini selama 10 tahun terakhir ini? Akan menjadi sesuatu hal yang mustahil bagi seseorang untuk melaksanakan aktivitas jihad secara fisik kecuali ia dapat berpartisipasi di dalamnya.

Oleh karena itu orang yang masih berselisih dengan mujahid dalam persoalan jihad ini atau orang-orang menyeru manusia untuk meninggalkan perang maka sebaiknya bergabung dengan camp jihad walaupun hanya sebagai pembantu atau dia seharusnya berpartisipasi dalam perang walaupun hanya sebagai orang yang masak, lalu setelah itu kita akan melihat pendapat-pendapatnya, apakah dia masih bisa mengatakan bahwa pena sebanding atau sama dengan kalashnikov?

“Berdiri satu jam dalam perang di jalan Allah lebih baik daripada berdiri dalam shalat selama 60 tahun.” (shahih al-Jami’)

Abu Hurairah ra berkata;

“Apakah ada diantara kamu yang mampu berdiri dalam shalat tanpa berhenti dan terus melakukannya sepanjang hidupnya?” Orang-orang berkata, “Wahai Abu Hurairah! Siapa yang mampu melakukannya?” Beliau berkata “Demi Allah! Satu harinya seorang mujahid di jalan Allah adalah lebih baik daripada itu.”

Pernyataan dari orang yang mengatakan bahwa “Berjuang melawan dirinya sendiri adalah jihad yang terbesar karena tiap individu mendapatkan ujian siang dan malam”, dapat disangkal dengan hadits berikut:

Dari Rasyid, dari Sa’ad r.a., dari seorang sahabat, seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah! Kenapa semua orang-orang yang beriman mendapatkan siksa kubur kecuali orang-orang yang syahid?” Beliau saw. menjawab: “Pertarungan dari pedang di atas kepalanya telah cukup sebagai siksaan (ujian) atasnya.” (Shahih Jami’)

Kelima :
Kesalahpahaman dan fitnah ini termasuk dalam bentuk ketidak adilan dan salah dalam menempatkan status para mujahid.

Allah telah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan sebagaimana dalam firman-Nya,

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Maidah, 5: 8).

Apakah adil, kita mengatakan perang yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di medan perang adalah jihad yang paling rendah? Ketika dalam hitungan menit saja tubuh-tubuh mereka meledak, berpencarlah kaki-kaki mereka, tubuh-tubuh mereka melayang (mengambang) di air, darah berceceran dimana-mana, sampai-sampai jenazah-jenazah mereka tidak bisa dikuburkan (karena telah hancur).

Itu semua mereka lakukan untuk mendapatkan keridhoan-Nya. Dimana letak kerendahan dari jihad yang dilakukan oleh pemuda-pemuda tadi jika dibandingkan dengan aktivitas puasa kita, yang berbuka dengan makanan lezat, lalu bagaimana mungkin aktivitas puasa itu dinilai sebagai jihad yang paling besar? Demi Allah! Ini adalah pemberian nilai yang tidak sesuai, jika anda menyampaikan permasalahan ini sebelumnya pada generasi pertama (Islam) maka mereka tidak akan pernah menyampaikan pandangan hukum berbeda.

http://www.facebook.com/note.php?note_id=291808649576

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.