Pembatasan BBM Subsidi: Jalan Tol Liberalisasi Migas
Oleh: Dr. Arim Nasim (Ketua Lajnah Mashlahiyah DPP HTI)
Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan satu bagian dari paket liberalisasi migas.
Pemerintah akhirnya menunda pelaksanaan pembatasan konsum-si BBM bersubsidi atau premium karena ada-nya kenaikan harga minyak bumi dan pangan akibat krisis politik di Timur Tengah (Kompas.com, 24/12/2010). Sementara Menteri Keuangan Agus Martono sesuai rapat kerja dengan komisi VI DPR, menegaskan pemerintah tidak akan menggunakan opsi kenaikan BBM dalam rangka menekan anggaran subsidi BBM Tahun 2011. Tapi pemerintah akan mengubah jadwal pembatasan volume BBM bersubsidi yakni dari pembatasana BBM secara terbatas di Jabodetabek pada tiga bulan pertama, menjadi langsung diberlakukan di seluruh pulau Jawa.
Untuk memuluskan rencana tersebut pemerintah telah menun-juk Tim “Independen“ dari ITB, UGM dan UI untuk mengaji opsi pengaturan BBM termasuk mengecek ke sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk melihat kesiapan SPBU dalam menjalankan kebijakan tersebut.
Rasanya keputusan yang akan disodorkan Tim Independen tidak akan berbeda dengan keinginan pemerintah selama ini untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Oleh karena itu pemberlakuan pembatasan konsumsi premium dengan melarang mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi terus akan dilaksanakan walaupun diundur untuk menunggu waktu yang “tepat”. Yang menarik untuk dikaji adalah kenapa pemerintah tidak menaikkan harga premium tapi menggunakan opsi pembatasan premium dengan mengalihkan atau memaksa mobil plat hitam atau mobil pribadi menggunakan Pertamax atau Pertamax Plus? Betulkah pembatasan subsidi ini dikarenakan angka subsidi yang terus meningkat? Atau sebenarnya hanya mengikuti kepentingan para kapitalis dalam hal ini SPBU asing atau swasta untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari penjualan Pertamax?
Pembatasan Premium = Kenaikan BBM
Salah satu keberhasilan pemerintah saat ini adalah upaya meng-gunakan “politik pencitraan” untuk menutupi kebijakan yang sebenarnya selalu merugikan rakyat, baik melalui manipulasi dan interpretasi data-data statistik maupun melalui penghalusan bahasa seperti istilah pembatasan subsidi ini. Terbukti isu pembatasan subsidi berhasil menarik simpati sehingga berbeda dengan isu kenaikan BBM, penolakan publik terhadap kebijakan tersebut tidak sehebat ketika pemerintah bermaksud menaikkan harga BBM sebagaimana tahun 2008.
Pembatasan konsumsi BBM subsidi sebenarnya bahasa lain dari kenaikan BBM. Sementara kenaikan BBM merupakan salah satu amanat UU MIGAS No. 22/2001 yang menyerahkan harga kepada mekanisme pasar seperti yang disebutkan dalam pasal 2 : menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan, kemudian dikuatkan dengan Perpres No. 5/ 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: “Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.” Dan ini diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuai-an harga BBM dengan harga internasional.
Cuma kalau menaikkan harga akan mendapat penolakan dari rakyat maka digunakanlah istilah pem-batasan BBM bersubsidi yang melarang mobil plat hitam membeli BBM bersubsidi/premium.
Liberalisasi Migas secara Kaffah
Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan satu bagian dari paket liberalisasi migas. Liberalisasi migas merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas mulai dari kegiatan hulu sampai hilir kepada pihak swasta sebagaimana yang tercantum dalam UU MIGAS No. 22/2001 pasal 9: Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir …dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta.
Kebijakan sudah dijalankan untuk memperlancar liberalisasi migas ini yaitu dengan munculnya BP dan BPH MIGAS, pemecahan (unbundling) Pertamina, begitu juga perubahan Pertamina menjadi Persero sesuai PP No.31/2003. Tahun 2011 direncanakan anak perusahaan Pertamina yaitu PT Pertamina Hulu Energy akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di bursa saham atau dijual ke swasta dalam bentuk privatisasi. Itu semua merupakan paket kebijakan liberalisasi migas.
Alasan yang sering muncul ketika pemerintah melakukan liberalisasi (privatisasi) sumberdaya alam (SDA) adalah untuk menciptakan persaingan yang sehat dan menguntungkan konsumen atau untuk memberdayakan BUMN agar lebih dinamis, transparan, kompetitif, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham. Dalam kasus liberalisasi migas pemerintah beralasan untuk menjadikan Pertamina lebih transparan dan kompetitif di pasar global. Tapi itu semua hanya alasan yang dibuat-buat karena untuk menutupi alasan yang sebe-narnya. Berbagai alasan liberalisasi yang dikemukakan pemerintah merupakan suatu kebohongan publik bahkan sebenarnya alasan-alasan itu argumentasinya dibangun oleh asing, khususnya World Bank, IMF, ADB, USAID, seperti yang tertuang dalam dokumen Legal Guidelines for Privatization Programs.
Tapi di balik itu sebenarnya liberalisasi SDA termasuk di dalamnya migas adalah untuk memenuhi kepentingan negara-negara kapitalis dan perusahaan multinasional (MNC) yang sangat bernafsu menguasai sumberdaya alam dan pasar Indonesia dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penguasaan produksi migas dari mulai industri hulu sampai hilir atau dari mulai produksi sampai distribusi dan pemasarannya. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan upaya untuk meliberalkan migas secara kaffah.[]
Sumber : http://www.mediaumat.com/sejahterakan-indonesia-dengan-khilafah/2492-pembatasan-bbm-subsidi-jalan-tol-liberalisasi-migas.html
Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan satu bagian dari paket liberalisasi migas.
Pemerintah akhirnya menunda pelaksanaan pembatasan konsum-si BBM bersubsidi atau premium karena ada-nya kenaikan harga minyak bumi dan pangan akibat krisis politik di Timur Tengah (Kompas.com, 24/12/2010). Sementara Menteri Keuangan Agus Martono sesuai rapat kerja dengan komisi VI DPR, menegaskan pemerintah tidak akan menggunakan opsi kenaikan BBM dalam rangka menekan anggaran subsidi BBM Tahun 2011. Tapi pemerintah akan mengubah jadwal pembatasan volume BBM bersubsidi yakni dari pembatasana BBM secara terbatas di Jabodetabek pada tiga bulan pertama, menjadi langsung diberlakukan di seluruh pulau Jawa.
Untuk memuluskan rencana tersebut pemerintah telah menun-juk Tim “Independen“ dari ITB, UGM dan UI untuk mengaji opsi pengaturan BBM termasuk mengecek ke sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk melihat kesiapan SPBU dalam menjalankan kebijakan tersebut.
Rasanya keputusan yang akan disodorkan Tim Independen tidak akan berbeda dengan keinginan pemerintah selama ini untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Oleh karena itu pemberlakuan pembatasan konsumsi premium dengan melarang mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi terus akan dilaksanakan walaupun diundur untuk menunggu waktu yang “tepat”. Yang menarik untuk dikaji adalah kenapa pemerintah tidak menaikkan harga premium tapi menggunakan opsi pembatasan premium dengan mengalihkan atau memaksa mobil plat hitam atau mobil pribadi menggunakan Pertamax atau Pertamax Plus? Betulkah pembatasan subsidi ini dikarenakan angka subsidi yang terus meningkat? Atau sebenarnya hanya mengikuti kepentingan para kapitalis dalam hal ini SPBU asing atau swasta untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari penjualan Pertamax?
Pembatasan Premium = Kenaikan BBM
Salah satu keberhasilan pemerintah saat ini adalah upaya meng-gunakan “politik pencitraan” untuk menutupi kebijakan yang sebenarnya selalu merugikan rakyat, baik melalui manipulasi dan interpretasi data-data statistik maupun melalui penghalusan bahasa seperti istilah pembatasan subsidi ini. Terbukti isu pembatasan subsidi berhasil menarik simpati sehingga berbeda dengan isu kenaikan BBM, penolakan publik terhadap kebijakan tersebut tidak sehebat ketika pemerintah bermaksud menaikkan harga BBM sebagaimana tahun 2008.
Pembatasan konsumsi BBM subsidi sebenarnya bahasa lain dari kenaikan BBM. Sementara kenaikan BBM merupakan salah satu amanat UU MIGAS No. 22/2001 yang menyerahkan harga kepada mekanisme pasar seperti yang disebutkan dalam pasal 2 : menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan, kemudian dikuatkan dengan Perpres No. 5/ 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional Pasal 3c: “Penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu.” Dan ini diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian ESDM: Program utama (1) Rasionalisasi harga BBM (dengan alternatif) melakukan penyesuai-an harga BBM dengan harga internasional.
Cuma kalau menaikkan harga akan mendapat penolakan dari rakyat maka digunakanlah istilah pem-batasan BBM bersubsidi yang melarang mobil plat hitam membeli BBM bersubsidi/premium.
Liberalisasi Migas secara Kaffah
Pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan satu bagian dari paket liberalisasi migas. Liberalisasi migas merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas mulai dari kegiatan hulu sampai hilir kepada pihak swasta sebagaimana yang tercantum dalam UU MIGAS No. 22/2001 pasal 9: Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir …dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta.
Kebijakan sudah dijalankan untuk memperlancar liberalisasi migas ini yaitu dengan munculnya BP dan BPH MIGAS, pemecahan (unbundling) Pertamina, begitu juga perubahan Pertamina menjadi Persero sesuai PP No.31/2003. Tahun 2011 direncanakan anak perusahaan Pertamina yaitu PT Pertamina Hulu Energy akan melakukan Initial Public Offering [IPO] di bursa saham atau dijual ke swasta dalam bentuk privatisasi. Itu semua merupakan paket kebijakan liberalisasi migas.
Alasan yang sering muncul ketika pemerintah melakukan liberalisasi (privatisasi) sumberdaya alam (SDA) adalah untuk menciptakan persaingan yang sehat dan menguntungkan konsumen atau untuk memberdayakan BUMN agar lebih dinamis, transparan, kompetitif, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham. Dalam kasus liberalisasi migas pemerintah beralasan untuk menjadikan Pertamina lebih transparan dan kompetitif di pasar global. Tapi itu semua hanya alasan yang dibuat-buat karena untuk menutupi alasan yang sebe-narnya. Berbagai alasan liberalisasi yang dikemukakan pemerintah merupakan suatu kebohongan publik bahkan sebenarnya alasan-alasan itu argumentasinya dibangun oleh asing, khususnya World Bank, IMF, ADB, USAID, seperti yang tertuang dalam dokumen Legal Guidelines for Privatization Programs.
Tapi di balik itu sebenarnya liberalisasi SDA termasuk di dalamnya migas adalah untuk memenuhi kepentingan negara-negara kapitalis dan perusahaan multinasional (MNC) yang sangat bernafsu menguasai sumberdaya alam dan pasar Indonesia dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya melalui penguasaan produksi migas dari mulai industri hulu sampai hilir atau dari mulai produksi sampai distribusi dan pemasarannya. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi sebenarnya merupakan upaya untuk meliberalkan migas secara kaffah.[]
Sumber : http://www.mediaumat.com/sejahterakan-indonesia-dengan-khilafah/2492-pembatasan-bbm-subsidi-jalan-tol-liberalisasi-migas.html
Tidak ada komentar