Header Ads

Benarkah Rasulullah Enggan Membasmi Nabi Palsu?

bismi-lLahi-rRahmani-rRahiem
In the Name of Allah, the Compassionate, the Merciful

Jawaban Atas Tulisan Jaringan Iblis Laknatullah di TempoInteraktif : “Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah”
Berikut ini sanggahan-sanggahan umat islam yang dikutip dari tulisan ustadz Ahmad Rofiqi :

Kisah Dua Utusan Musailamah

Dalam kitabnya Al Sunan (Kitab Al Jihad, Bab Ar Rusul hadits no, 2380) Abu Daud meriwayatkan demikian :

Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah Saw berkata pada dua utusan Musailamah, “Apa yang kalian katakan (tentang Musailamah)? Mereka menjawab, “Kami menerima pengakuannya (sebagai nabi)”. Rasulullah Saw mengatakan pada mereka, “Kalau bukan karena utusan-utusan tidak boleh dibunuh, sungguh aku akan memenggal leher kalian berdua”.

Arti “memenggal leher kalian berdua” adalah terjemahan dari lafadz Arabnya, “la-dharabtu a’naaqa-kuma“. Lafadz ini diceritakan juga oleh Ahmad (hadits no. 15420), Al Hakim (2: 155 no. 2632). Ahmad (hadits no. 15420) melaporkan melalui Abdullah bin Mas’ud dengan lafadz “la-qataltu-kumaa”, “aku pasti membunuh kalian berdua”. Versi hadits ini diceritakan kembali oleh kitab-kitab sejarah seperti Al Thabari (Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid) dan Ibnu Katsir (Al Bidayah wa Al Nihayah, Dar Ihya’ Al Turats Al Arabi , tt, Juz 6, hal: 5).

Riwayat-riwayat ini menampilkan ketegasan Rasulullah saw. terhadap orang yang mengakui kenabian Musailamah bahwa beliau akan membunuh atau memenggal leher mereka. Dua utusan ini tidak jadi dihukum karena posisi mereka sebagai utusan yang dijamin keamannya.

Yang jelas, semua versi riwayat dari sumber-sumber primer ini (baik kitab hadits atau kitab sejarah) tidak ditemukan ungkapan yang dapat diartikan “kedua utusan itu oleh nabi ditatapnya” atau “hendak memberikan kesan” dan lain-lain yang mengaburkan ketegasan Rasulullah saw. untuk menghukum-bunuh mereka. Dengan demikian kata-kata dalam buku Sejarah Hidup Muhammad itu tidak lain adalah interpretasi penulisnya atas riwayat yang ada dan bukan kandungan dari riwayat itu sendiri. Cara-cara seperti ini tentu tidak dapat dibenarkan mengingat akan menimbulkan penyesatan opini saat membaca sejarah Nabi saw.

Abu Daud (hadits no. 2381), Al Nasa’i (Al Sunan Al Kubra, 2: 205) dan Al Darimi (Kitab Al Siyar, hadits no. 2391) menceritakan kesaksian Haritsah bin Al Mudharib dan Ibn Mu’ayyiz yang mendapati sekelompok orang dipimpin Ibn Nuwahah di sebuah masjid perkampungan Bani Hanifah, ternyata masih beriman pada Musailamah. Setelah kejadian ini dilaporkan pada Ibn Mas’ud, beliau berkata pada Ibn Nuwahah (tokoh kelompok tersebut), “Aku mendengar Rasulullah saw. dulu bersabda “Kalau engkau bukan utusan, pasti aku akan penggal kamu”, nah, sekarang ini engkau bukanlah seorang utusan”. Maka Ibn Mas’ud menyuruh Quradhah bin Kaab untuk memenggal leher Ibn Nuwahah. Ibn Mas’ud berkata, “Siapa yang ingin melihat Ibn Nuwahah mati, maka lihatlah ia di pasar”. Masjid mereka itupun akhirnya turut dirobohkan(ringkasan dari versi aslinya yang agak panjang).

Pengiriman Semua Pasukan Islam Untuk Menghadapi Romawi dan Sakitnya Rasulullah.

Sejarawan Ibn Ishaq menceritakan, pendakwaan Musailamah di Yamamah dan al-Aswad di Yaman terjadi di akhir tahun 10 H (Ibn Katsir, Sirah An-Nabawiyah, Juz 4, hal 98). Tidak didapati adanya perbedaan diantara ahli sejarah mengenai ini. Adapun kapan tepatnya peristiwa ini terjadi, dapat disimpulkan dari keterangan Ibn Abbas berikut:

“Rasulullah Saw telah mengirimkan pasukan Usamah bin Zaid menuju Syam dan beliau dalam keadaan sakit sehingga tidak sanggup untuk menyuruh Musailamah dan al-Aswad bertaubat atau mengirimkan pasukan untuk memerangi mereka” (Tarikh Al Thabari, Juz 3 Bab Masir Khalid bin Walid)

Di tempat yang sama, keterangan Ibn Abbas ini diperkuat oleh sejarawan muslim paling terkemuka, Ibn Jarir Al Thabari:

“Sungguh telah dikatakan, bahwa kemunculan Musailamah dan orang-orang yang mengaku nabi lainnya terjadi sepulangnya Rasulullah Saw dari Haji Wada’, saat beliau mengalami sakit keras dimana beliau meninggal dunia”

Jelaslah, Nabi saw. tidak mungkin memerangi Musailamah maupun al-Aswad dengan pasukan dari Madinah. Pertama, karena pasukan besar telah diberangkatkan menuju Syam yang rencananya akan menyerang daerah kekuasaan Romawi. Kedua, Rasulullah saw. sendiri sudah menderita sakit keras dimana pada sakit inilah akhirnya beliau meninggal dunia.

Mungkin ada yang mempertanyakan alasan Rasulullah saw. tidak mengirim sisa pasukan di Madinah. Ini dapat dijelaskan melalui ukuran besarnya pasukan Usamah. Menurut sejarawan al-Waqidi,

“Tak tersisa satupun dari kaum muhajirin melainkan mereka bergabung dalam pasukan (Usamah) itu. Diantara mereka ada Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah”. (Adz-Dzahabi, Tarikh Al Islam, Kitab Sanah Ihdaa Asyr, Bab Khilafah Abi Bakar).

Selain nama-nama ini, al-Waqidi juga menambah nama-nama lain yaitu: Sa’ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Qatadah bin Nu’man dan Salamah bin Aslam (Al Maghazi, Jilid 3 Bab Ghazwatu Usamah). Bergabungnya para tokoh utama sahabat nabi — Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Sa’id bin Zaid — dalam barisan pasukan Usamah bin Zaid menunjukkan begitu pentingnya ekspedisi militer ini hingga kapasitasnya begitu besar dan para shahabat tua-tua yang senior pun harus juga turun tangan. Komposisi pasukan Usamah ini sangatlah wajar mengingat musuh yang mungkin mereka temui adalah tentara Romawi, pasukan tercanggih di dunia yang dulu pernah mereka hadapi dalam perang Mu’tah.

Kesalahan Haekal makin diperjelas pula saat merujuk pendapat Ibn Khaldun — tokoh sejarawan muslim, peletak dasar-dasar sosiologi modern, penulis kitab”Muqaddimah” yang kelewat kesohor, Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, wafat tahun 808 H / 1405 M — dalam masterpiece-nya Tarikh Ibn Khaldun, beliau menyebutkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan perang terbuka melawan para nabi palsu:

“Sepulangnya Nabi Saw dari Haji Wada’, beliau kemudian jatuh sakit. Tersebarlah berita sakit tersebut sehingga muncullah Al Aswad Al Anasi di Yaman, Musailamah di Yamamah dan Thulaihah bin Khuwailid dari Bani Asad; mereka semua mengaku nabi. Rasulullah Saw segera memerintahkan untuk memerangi mereka melalui edaran surat dan utusan-utusan kepada para gubernurnya di daerah-daerah dengan bantuan orang-orang yang masih setia dalam keislamannya. Rasulullah Saw menyuruh mereka semua bersungguh-sungguh dalam jihad memerangi para nabi palsu itu sehingga Al Aswad dapat ditangkap sebelum beliau wafat. Adapun sakit keras yang dialami tidak menyurutkan Rasulullah Saw untuk menyampaikan perintah Allah dalam menjaga agamaNya. Beliau lalu menyerukan orang-orang Islam di penjuru Arab yang dekat dengan wilayah para pendusta itu, menyuruh mereka untuk melakukan jihad (melawan kelompok murtad—pen)”. (Abdurrahman Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Libanon, cet. 1, th. 1992, Jilid 1 hal 474-475).

Nabi-nabi palsu itu tidak lain adalah para oportunis yang mengira sakitnya Rasulullah saw. adalah kesempatan emas untuk menampilkan diri mereka. Ternyata meski Rasulullah saw. sakit dan pasukan tidak cukup tersedia beliau tidak menyerah dalam menyerukan perang terbuka melawan para nabi palsu. Hal ini jauh berbeda dari kesimpulan Dr. Husein Haekal. Keengganan memerangi nabi palsu, disamping tidak ada asasnya dalam sumber-sumber sejarah, malah sebaliknya bertentangan dengan riwayat-riwayat yang ada.

Pasukan Khalifah Abu Bakar ra.

Pada masa Abu Bakar ra., kekisruhan dalam negeri sumbernya ada dua. Yang pertama adalah orang-orang yang menolak membayar zakat, dan kedua adalah para nabi palsu. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, Imam Ibn Katsir menulis judul “Fasal Peperangan Abu Bakar melawan Orang-orang Murtad dan Penolak Zakat” (cet. 1 terbitan Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Libanon: 2001, jilid 6 hal 307). Abu Bakar sampai membentuk sebelas ekspedisi militer untuk menumpas gerakan-gerakan tersebut (Ad-Daulah Al-Umawiyah, Muhammad Al Khudhari, Mansyurat Kulliyah Dakwah Islamiyah, Tripoli,Libya: tt. hal 177-178).

Untuk melihat motif aksi militer yang dilancarkan oleh Abu Bakar ini, kita dengarkan ucapan Abu Bakar sendiri kepada Umar ra. yang mencoba membujuknya untuk tidak memerangi para penolak zakat. Kata Abu Bakar :

“Demi Allah, jika mereka berani menolak menyerahkan seutas tali yang dulunya mereka berikan pada Rasulullah saw., aku pasti akan memerangi mereka karena penolakan ini” (Dikeluarkan oleh Ahmad 1: 11, 19, 35, 2: 35, 4: 8, Al Bukhari hadits no 1561, Muslim Kitab Al Iman hadits no 82, 83 Juz 1 hal 52.)

Kalau perkara seutas tali saja membuat Abu Bakar menggerakkan pasukan militer besar, bagaimana halnya dengan nabi palsu dan pengikutnya?

Jika dua riwayat ini digabungkan, pada intinya Abu Bakar melakukan tindakan militer karena orang tidak mau membayar zakat dan karena ada yang mengaku menjadi nabi. Sikapnya terhadap nabi palsu ini tercermin dari pernyataannya, “dan wahyu sudah tidak turun lagi”. Oleh karena itu, kedua aliran pengacau ini telah dinilai mengingkari Islam. Kesimpulan ini diperjelas oleh pesan Abu Bakar pada Khalid bin al-Walid sebagai panglima yang nantinya sukses membasmi para nabi palsu:

Dari Handzalah bin Ali al-Laitsi ia berkata, “Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Al Walid untuk memerangi orang-orang dengan sebab lima rukun Islam. Siapa saja yang menolak salah satunya hendaknya ia diperangi”. (Adz-Dzahabi , Tarikh Al Islam, Kitab Sanah Ihda ‘Asyr Bab Khabar Al Riddah).

Inilah sebab atau motif yang paling tegas dan jelas dari aksi militer di masa Abu Bakar. Keterangan Dr. Haekal dalam bukunya “Abu Bakar ash-Shiddiq” bahwa aksi militer tersebut karena kekhawatiran berkembangnya gerakan disintegrasi, sangat tidak berdasar. Riwayat-riwayat primer tidak ada yang menyebut seperti itu. Malah apa yang kita saksikan disini bertentangan dengan pandangan Haekal sendiri.

Dalam surat yang dibawa oleh para panglima perang itu, Abu Bakar memberikan pesan untuk kaum pemberontak yang akan ditemui pasukan Islam:

“Telah sampai kabar padaku mengenai keluarnya kalian dari agama setelah tadinya mengakui Islam dan mengamalkannya. Dan (karena itu) aku telah mengirimkan untuk kalian panglima perang dengan pasukan yang terdiri dari Muhajirin, Anshar serta orang-orang tabi’in. Aku telah memerintahkan pemimpin pasukan ini supaya tidak memerangi atau membunuh siapapun sebelum ia mengajak kepada ajakan penyeru Allah. Maka, siapa yang memenuhi seruannya, mengakui (Islam), menyerah dan beramal shaleh, dia akan diterima dan akan diberi perlindungan. Adapun bagi yang menolak, aku perintahkan supaya ia diperangi karena penolakannya itu dan dia boleh dibakar dengan api, ditumpas sehabis-habisnya sehingga tidak boleh diterima alasan apapun melainkan alasan Islam”. (Tarikh Ath-Thabari 3: 226, Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, Abdul Wahab Najjar, Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyah, Beirut, Libanon: tt. hal 45-46, Ad-Daulah Al-Umawiyah, Muhammad Al-Khudhari, hal: 177-178)

Jelas sekali, motifnya bukan ancaman keamanan, disintegrasi, agresi, pemberontakan dan lain-lain. Motif peperangan yang dilancarkan Abu Bakar adalah “keluarnya kalian dari agama setelah tadinya mengakui Islam dan mengamalkannya”. Atau, dalam istilah lain : Murtad.

Sikap Para Shahabat Lainnya

Pemberontakan, pembelotan atau separatisme terhadap negara, dalam Islam diistilahkan dengan baghyu. Pelakunya disebut baghi, jamaknya bughaat. Istilah ini ada dalam Al Qur’an, hadits maupun kitab-kitab referensi umat Islam. Allah berfirman,

“Dan kalau salah satu dari mereka memberontak (baghat) pada yang lainnya, maka perangilah yang memberontak (tabghii) itu sampai mereka kembali pada hukum Allah” (Q.S. Al-Hujuraat [49] : 9).

Rasulullah Saw bersabda, “Ammar bin Yasir akan dibunuh oleh kelompok pemberontak (fi’ah baghiyah)” (Muslim Kitab Al Fitan hadits 5194).

Fasal atau bab mengandung judul “ahlul baghyi” dapat ditemukan dalam Subulus Salam 3:266, Nailul Authar 7: 216 dan lain-lain.

Jadi para ulama sudah punya istilah sendiri untuk kaum pemberontak atau agresor yaitu ahlul baghyi. Jika aksi militer Abu Bakar bermotif pembasmian separatisme, maka istilah ini seharusnya ramai disematkan oleh khazanah Islam terhadap orang-orang itu. Nyatanya semua riwayat sepakat menyebut aksi para pemberontak itu sebagai “riddah“. Dan kitab-kitab hadits atau sejarah menamai mereka “ahl ar-riddah” (kaum murtad). Kitab-kitab yang dirujuk oleh tulisan ini juga menggunakan istilah “riddah” atau “ahl ar-riddah” untuk mereka. Tak ada yang mengategorikan mereka sebagai “ahl al-baghyi”.

Mempertegas kesimpulan ini, terdapat fakta-fakta berikut:

1. Sebelas ekspedisi militer yang diresmikan Abu Bakar untuk memerangi kaum murtad itu menunjukkan banyaknya jumlah nabi palsu di masa tersebut. Padahal Rasulullah saw. hanya menyebut dua (atau tiga) nama nabi palsu saja. Mereka adalah Musailamah, Al-Aswad dan (mungkin) Thulaihah. Petunjuk Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut nabi palsu yang lain seperti Sajah, Malik bin Nuwairah, Al-Maghrur, Laqith bin Malik yang juga diperangi oleh tentara Abu Bakar. Ini menunjukkan bahwa fatwa kesesatan atau murtadnya seseorang tidak harus diberikan oleh Nabi saw. saja. Dengan indikasi yang ada, para shahabat telah memvonis orang-orang itu murtad setelah mendakwa diri sebagai nabi pasca-Rasulullah saw. Jadi para shahabat juga berhak memberikan vonis murtad atau kafir kepada orang yang jelas tanda kemurtadan atau kekafirannya.
2. Al-Waqidi menceritakan dalam Al Maghazi-nya (hal: 1121) bahwa Umar, Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah dan Sa’id bin Zaid mendatangi Abu Bakar untuk membujuknya agar menunda pasukan Usamah yang akan melakukan ekspansi ke Syam dan lebih mementingkan ancaman internal. Mereka berkata, “Wahai Khalifah! Bangsa Arab telah memberontak padamu, sedangkan engkau membiarkan gerakan hal ini menyebar dimana-dimana. Cobalah engkau jadikan pasukan Usamah sebagian menyerang orang-orang murtad di jantung pertahanan mereka.” Riwayat ini menegaskan pandangan shahabat-shahabat senior seperti Umar dan Utsman yang menyebut aksi kaum pengacau itu sebagai riddah ; kemurtadan.
3. Besarnya partisipasi para shahabat dalam berjihad membasmi nabi-nabi palsu, menunjukkan kuatnya dukungan mereka atas sikap Abu Bakar yang tidak mau memberi belas kasihan pada para pemberontak yang dia nilai sebagai kaum murtad. Terkait dengan perang melawan kelompok murtad itu, Ibnu Mas’ud berkata, “Setelah Rasulullah saw. wafat, kami hampir saja binasa kalau saja Allah tidak menganugerahi kami kepemimpinan Abu Bakar” (Tarikh Adz-Dzahabi, Juz 2, Kitab Sanah Ihda ‘Asyr, bab Akhbar ar-Riddah). Setelah Umar gagal membujuk Abu Bakar untuk tidak memerangi para penolak zakat, dia berkata, “Demi Allah, aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk melakukan perang dan baru aku tahu, inilah keputusan yang benar”. (Al Bukhari hadits no 1561).

Fakta-fakta diatas mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa para shahabat memiliki sikap yang satu terhadap kasus nabi palsu, yaitu:
1. Orang-orang yang mengaku sebagai nabi setelah Rasulullah saw. dan para pengikutnya adalah kelompok yang keluar dari agama atau murtad.
2. Para nabi palsu dan pengikutnya sekalian harus diminta taubat, jika mereka menolak maka mereka harus dihukum mati atau diperangi.
3. Anggapan disintegrasi yang katanya amat dikhawatirkan dari orang-orang murtad, tidak ditemukan pijakannya dalam referensi sejarah Islam.

Dengan demikian jelaslah, pokok persoalan dan pemecahan dari berbagai syubhat sekitar nabi palsu di masa Rasulullah saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Dengan merujuk pada sumber-sumber primer khazanah Islam sedemikian rupa makin tampaklah kekhilafan Dr. Haekal dalam kedua bukunya tersebut.

=======

Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah)*


Rabu, 16 Februari 2011 | 07:12 WIB

TEMPO Interaktif, Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”

Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.

Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.

Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”

Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.

Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.

Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.

Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?

Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.

Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.

Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.

Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya–toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.

Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.

*) Akhmad Sahal, Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania

http://www.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/02/16/kol,20110216-324,id.html



Sumber

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.