Header Ads

Kebijakan Khilafah Terhadap Pengunjuk Rasa

Oleh: Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy

Di dalam sistem pemerintahan Islam, tidak menutup kemungkinan akan ada unjuk rasa yang dilakukan oleh rakyat. Nah bagaimana sikap negara menghadapi mereka?

Perlakuan negara Khilafah terhadap para pelaku pengunjuk rasa dapat dijelaskan sebagai berikut:

Negara Khilafah menyadari sepenuhnya bahwa salah satu kewajiban rakyat terhadap penguasa adalah melakukan muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa). Untuk itu, Khilafah tidak akan melarang kaum Muslim, baik individu maupun kelompok untuk mengoreksi berbagai macam kebijakan, buruknya pelayanan negara terhadap urusan rakyat, maupun kedzaliman para penguasa, asalkan cara-cara yang ditempuh sejalan dengan syariat Islam. Lebih dari itu, Khilafah akan menerima setiap usulan, koreksi, maupun nasihat yang disampaikan rakyat jika hal tersebut dipandang lebih kuat argumentasinya dan bisa memberikan mashlahat yang lebih baik. Rasulullah SAW pernah memakzulkan seorang amilnya di Bahrain, Ila' bin Hadlramiy, karena protes yang disampaikan delegasi Abd Qais. Khalifah Umar bin Khaththab ra juga pernah menganulir kebijakannya melarang wanita Muslimah menetapkan mahar terlalu mahal, akibat protes seorang wanita. (HR. Imam Baihaqiy, dengan sanad mursal jayyid). Ini jika protes, nasihat, dan kritikan disampaikan dengan cara-cara yang syar'iy.

Adapun jika pengunjuk rasa menyampaikan protes, nasihat, dan kritikan secara tidak syar'iy, misalnya menuntut suatu perkara yang bertentangan dengan akidah dan syariah, merusak fasilitas umum, atau melakukan tindak-tindak anarkis, maka Khilafah akan melakukan prosedur sebagai berikut:

Pertama, Negara Khilafah akan berbicara dengan mereka untuk mengetahui duduk perkara sebenarnya. Jika para pengunjuk rasa tersebut terbukti melanggar akidah dan syariat Islam, maka Khilafah akan mengingatkan mereka dan meminta mereka kembali ke pangkuan Islam. Jika para pengunjuk rasa tersebut menyadari kesalahannya dan mau kembali ke pangkuan kebenaran, maka Khilafah akan memberikan mereka jalan. Namun, jika mereka menolak maka Khalifah wajib membubarkan mereka, bahkan menjatuhkan sanksi yang berat kepada mereka. Prosedur seperti ini pernah dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra saat menghadapi kelompok Khawarij yang bermarkas di Nahrawan. Khalifah Ali bin Abi Thalib ra mengutus Ibnu Abbas ra untuk menasihati kaum Khawarij dan menjelaskan kekeliruan pandangan mereka. Setelah mendapatkan penjelasan Ibnu Abbas ra, sebagian di antara mereka sadar dan rela kembali ke pangkuan Islam. Namun, sebagian besar menolak dan tetap membangkang kepada Khalifah. Terhadap mereka yang membangkang, Khalifah Ali bin AbiThalib ra tidak segan-segan mengirimkan pasukan untuk memadamkan pemberontakan mereka.

Kedua, jika para pengunjuk rasa tersebut terbukti berhubungan dengan negara kafir harbiy fi'lan untuk membuat kerusuhan dan perpecahan di tubuh kaum Muslim, maka Khalifah wajib membubarkan para pengunjuk rasa tersebut, walaupun harus mengerahkan kekuatan militer. Pasalnya, para pengunjuk rasa tersebut telah menjalin hubungan dengan negara kafir harbiy, dan hendak memecah belah persatuan dan kesatuan kaum Muslim. Hanya saja, tindakan ini hanya dilakukan jika pendekatan persuasif tidak membuahkan hasil.

Ketiga, bagi pengunjuk rasa yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran hak umum, misalnya, merusak fasilitas umum, atau merusak harta milik perorangan, maka, Negara Khilafah akan menindak mereka sesuai dengan ketentuan syariat.

Para penguasa Islam memahami bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan kaum Muslim untuk memisahkan diri dan atau memakzulkan dengan pedang seorang Khalifah yang telah terbukti melakukan kekufuran yang nyata. Artinya, jika seorang Khalifah terjatuh dalam tindakan kekufuran yang nyata, maka kaum Muslim wajib memisahkan diri dan memakzulkannya dengan pedang, jika hal itu memungkinkan. Oleh karena itu, tidak semua aktivitas memisahkan diri dari penguasa itu berhukum haram. Bahkan, dalam keadaan tertentu, kaum Muslim justru diwajibkan untuk memisahkan diri dari penguasa yang telah terjatuh ke dalam kekufuran yang nyata. Adapun terhadap penguasa-penguasa yang fasik dan zalim, kaum Muslim telah diwajibkan untuk mengoreksi mereka atau memakzulkan mereka jika hal tersebut memang memungkinkan dan tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar. Namun, terhadap penguasa zalim dan fasik, kaum Muslim dilarang memisahkan diri dari mereka.

Jika terjadi silang pendapat antara pengunjuk rasa dengan Khalifah mengenai tindakan atau kebijakan Khalifah; apakah sudah terkategori kezaliman ataukah belum, maka masalah ini akan diselesaikan oleh Mahkamah Madzalim. Mahkamah Madzalimlah yang berhak menentukan apakah kebijakan dan tindakan Khalifah termasuk kezaliman ataukah tidak. Jika Mahkamah Madzalim memandang bahwa kebijakan dan tindakan Khalifah adalah kezaliman, maka Khalifah harus melenyapkan kezaliman tersebut dari dirinya. Jika Khalifah tetap bersikukuh dengan pendiriannya, maka kaum Muslim wajib mengoreksinya atau jika mungkin memakzulkannya. Di dalam sejarah dituturkan bahwasanya, Abdullah bin Handzalah ra dan sebagian penduduk Madinah mendatangi Yazid bin Mu'awiyyah ra untuk menasihatinya. Namun, nasihat itu tidak bermanfaat bagi Yazid. Akhirnya mereka kemballi ke Madinah dan memisahkan diri dari Yazid bin Mu'awiyyah. Lalu mereka membaiat kepada Abdullah bin al-Zubair ra. Penduduk Madinah pun menyetujui mereka. Lalu, meletuslah perang al-Harrah, pada bulan Dzulhijjah 63 H. [Lihat Imam Ibnu Atsir, Usud al-Ghaabah, juz 2/100, bab 'Abdullah bin Handzolah ra].

Demi kemashlahatan umum yang lebih besar, Khalifah boleh saja mengambil "sikap pasif" terhadap para pengunjuk rasa. Pada masa fitnah, Khalifah Utsman bin Affan ra pernah dikepung dan dituntut untuk lengser dari kedudukan Khalifah. Tidak hanya itu saja, ia juga mendapatkan ancaman pembunuhan dari orang-orang yang mengepungnya. Pada saat itu, Mughirah bin Syu'bah memberikan tiga tawaran kepada Utsman ra, yakni pertama, agar beliau memerangi para pengepung, kedua, melarikan diri ke kota Mekah, dan ketiga, pergi ke wilayah Syams. Namun, Utsman bin Affan menolak tiga opsi tersebut dan memilih tetap dalam pendiriannya. [al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7/211]

Inilah beberapa tindakan yang akan dilakukan oleh Negara Khilafah terhadap para pengunjuk rasa. Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa Negara Khilafah bukanlah negara yang anti kritik atau tidak mau menerima kritik. Semua kritik, nasihat, dan protes,jika memang sejalan dengan akidah dan syariat Islam dan ditujukan untuk kemashlahatan kaum Muslim, maka, Negara Khilafah akan menerimanya dengan lapang dada. Pasalnya, Khilafah Islamiyyah ditegakkan untuk menegakkan syariat. Oleh karena itu, jika penguasa telah menyimpang dari akidah dan syariat Islam atau telah mengabaikan syariat Islam, maka kaum Muslim wajib me-ngoreksi mereka secara terang-terangan. Tidak hanya itu saja, syariat juga mewajibkan kaum Muslim untuk memakzulkan penguasa tersebut dengan pedang, jika mereka telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata. Hukum-hukum ini digariskan, agar para penguasa senantiasa berjalan di atas akidah dan syariat Islam.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.