Header Ads

RUU Keamanan Nasional (Kamnas) 2011: Pemerintah Bingung dan Paranoid

Pengantar
Tidak ada satu negarapun di muka bumi ini yang tidak menghendaki kedaulatan atas segenap wilayah dan seluruh hal yang ada didalamnya. Setiap entitas bangsa dan negara senantiasa dihadapkan pada persoalan bagaimana menjaga eksistensinya secara utuh. Karena keberadaannya bukan entitas tunggal, tapi bersama yang lain dan interpendensi tidak bisa dielakkan.

Karena itu, ketika rumusan sistem yang memastikan keamanan negara dibuat, masing-masing tergantung dari ideologi yang menjadi pijakannya. Ada negara besar dengan sebuah ideologi, dia mengembannya serta membuat negara lain menjadi satelit yang mengorbit sesuai kepentingan negara besar. Misalkan Amerika Serikat, merumuskan konsep keamanan nasionalnya dalam posisi ini, Merujuk pada dokumen The National Security Strategy of The United States of America, March 2006 strategi keamanan nasional Amerika Serikat bertumpu pada dua pilar.

Secara garis besar adalah : Pertama, mengembangkan faham demokrasi untuk mempromosikan kebebasan, keadilan, dan harkat martabat manusia, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat serta membangun perdamaian dan stabilitas internasional atas dasar kebebasan. Kedua, mengutamakan komunitas demokrasi dan upaya multinasional untuk menghadapi berbagai tantangan dan ancaman dunia, seperti ancaman pandemik, pengembangan senjata pemusnah massal, terorisme, human trafficking, bencana alam, dan sebagainya.

Tujuan utamanya adalah menciptakan demokrasi di dunia, pemerintahan yang mampu me¬menuhi kebutuhan warga negara, serta bertanggung jawab Keamanan dalam sistem internasional. Semua itu sebagai cara terbaik untuk menciptakan keamanan yang abadi bagi rakyat Amerika Serikat.

Dari sini, terlihat tipikal Negara pengemban ideologi, seperti Amerika Serikat sistem keamanan nasionalnya yang outward looking berorientasi global dalam kerangka memajukan faham demokrasi. Beda dengan Australia yang menggarisbawahi kemajuan yang telah dicapai dan stabilitas keamanan kawasan Asia-Pasifik, seperti yang dijelaskan di dalam The First National Security Statement to The Australian Parliament, 4 December 2008, bahwa yang dimaksud dengan keamanan nasional adalah: Freedom from attack or the threat of attack; the maintenance of our territorial integrity; the maintenance of our political sovereignty; the preservation of our hard won freedoms; and the maintenance of our fundamental capacity to advance economic prosperity for all Australian (Bebas dari ancaman atau ancaman serangan; menjaga integritas teritorial; menjaga kedaulatan politik, melestarikan kebebasan yang telah diperoleh dengan susah payah; memelihara kemampuan fundamental ekonomi untuk memajukan kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat Australia).

Beda halnya dengan negara pengekor (satelit), arah kebijakan politik dalam dan luar negerinya mengikuti road map dari negara besar yang menghegemoninya. Namun secara tobi’i bagi negara besar maupun ”satelit” tetaplah sebagai entitas yang membutuhkan seperangkat piranti lunak dan keras untuk menjaga eksistensi sebagai sebuah negara dan bangsa. Dari sinilah para pemangku kebijakan akan berusaha merumuskan stretegi-strategi yang paling relevan dan available dalam kontek kekinian sebagai jawaban dinamika yang berpengaruh terhadap nilai keamanan dari sebuah negara. Sekaligus juga rumusan yang akan menjawab tantangan kedepan, berdasarkan paradigma dasar ideologi yang melandasi.

Jika dalam konstalasi politik global maupun regional sebuah negara tidak mengemban ideologi tertentu, maka cenderung membangun strategi pertahanan dan keamanan yang insklusif. Keselamatan kedaulatan dan segenap tumpah darahnya menjadi prioritas utama, sebagai modal untuk mewujudkan misi sebuah kehidupan yang makmur, tentram dan berkeadilan bagi warga negaranya versi ideologi yang dianutnya. Misalkan rumusan sistem keamanan nasional Indonesia, dominan orentasinya adalah menyelenggarakan keamanan nasional bertujuan ”mewujudkan kondisi bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia secara fisik dan psikis setiap individu warga negara, masyarakat, pemerintah dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional yang bebas dari segala ancaman.”

Indonesia, arah politik luar negeri bukan dalam konteks mempengaruhi dan membangun dominasi dengan visi yang besar tapi lebih banyak pada posisi sebagai pengekor kebijakan negara besar, atau paling ideal yang digariskan adalah sebagai negara ”pendukung” dan atau ”mitra”.

Negara ketika pada posisi inferior, justru acapkali menemukan kenihilan konsep kedaulatan serta pertahanan dan keamanannya yang dirumuskan. Karena faktor kooptasi dan intervensi politik dari negara besar membuat strategi pertahanan dan keamanan tumpul.

Keputusan dan kebijakan politik yang diambil para penguasa melahirkan implikasi kedaulatan dan kemerdekaan sebagai sebuah negara menjadi pepesan kosong. Dimensi ancaman ketika dalam bentuk jenis fisik, mudah terindra dan menumbuhkan perlawanan dengan spirit ”nasionalisme”. Tapi, ketika ancaman bermetamorfosa dalam bentuk intervensi politik (non fisik/militer), akhirnya kedaulatan atas pengelolaan negara plus segenap sumberdaya manusia dan SDA yang tertuang dalam sistem imunitas (pertahanan dan keamanan) negara menjadi absurd, atau pepesan kosong.

Dari sini, kita bisa mencatat beberapa kelemahan konseptual (seperti yang tertuang dalam RUU Kamnas), kecakapan pemerintah Indonesia dalam merumuskan blue print strategi Keamanan Nasionalnya. Sebuah konsepsi operasional yang mampu menjamin keamanan negara (state se¬curity), keamanan masyarakat (public security), dan keamanan manusia (human security) serta mampu mengeliminasi ancaman riil dan potensial baik fisik maupun non fisik, ancaman konvensional maupun asimetris yang lebih komplek, baik dari dalam maupun luar negeri.

Sekilas RUU Kamnas

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan sebagai penjuru telah mengajukan RUU Kamnas kepada DPR untuk dibahas dan disahkan. Saat ini RUU Kamnas masuk dalam prolegnas 101, INPRES 2010 yang proses legislasinya di DPR diharapkan selesai pada tahun 2011. Pada 23 Mei 2011 telah dikeluarkan surat Presiden yang ditujukan kepada DPR dalam hal Pembahasan RUU Kamnas dan penunjukkan Menhan, Mendagri, dan Menkumham sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Kamnas.

Sebenarnya pemerintah sendiri menyadari, yang melatarbelakangi penyusunan RUU Kamnas adalah lahirnya wilayah abu-abu dalam penyelenggaraan keamanan nasional serta belum ada lembaga atau badan yang berperan untuk mengkoordinasikan segenap komponen yang terlibat dalam persoalan keamanan nasional pada berbagai tingkatan kesertaan (degree of magnitude) yang berbeda-beda menurut relevansi kondisi ancaman dihadapkan pada kepentingan nasional.

Karena itu, RUU Kamnas diperlukan untuk mengatur sistem secara komprehensif karena piranti lunak yang terkait dengan Keamanan Nasional dalam aplikasi operasional diantaranya mengalami kesulitan.

Sejauh ini, belum ada UU yang mengatur tentang Kamnas dan UU yang ada belum dapat mewadahi muatan Kamnas menurut kebutuhan saat ini dan tantangan ke depan. UU yang ada saat ini dianggap belum dapat mengakomodasikan penanggulangan keadaan darurat secara terpadu dan bersinergis. Masih terdapat tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah yang tumpang tindih serta masih ada bentuk ancaman yang belum terwadahi pada UU yang ada. Juga belum adanya regulasi yang mengatur tentang mekanisme penanggulangan berbagai ancaman secara terpadu melibatkan potensi SDM termasuk masyarakat.

RUU Kamnas diharapkan dapat menerjemahkan amanat UUD 1945 pada bagian Pembukaan dan Bab XII mengenai Pertahanan Negara dan Keamanan Negara. RUU ini juga menjadi payung bagi UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, serta UU sektoral lainnya yang menyangkut keamanan negara.

Dalam RUU Kamnas ini juga dijelaskan mengenai pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang bertugas membantu Presiden dalam mengambil keputusan dalam penentuan status hukum/keadaan dinyatakan tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, atau perang, dimana penanganannya akan melibatkan seluruh unsur keamanan nasional, yang kemudian dilaksanakan unsur utama dan unsur pendukung. (Lihat, www.dephan.go.id 28/6)

Selain itu, ada alasan sosiologis yang melatarinya, yaitu globalisasi menjadikan ancaman terhadap Indonesia mengalami peningkatan kuantitatif dan kualitatifnya (Lihat, Makalah M.Fachrudien, Dirkumstrahan Ditjenstrahan Kemhan, 31 Mei 2011)

RUU Kamnas ini dibuat dalam 7 Bab dan 60 pasal plus penjelasan pasal-pasalnya. Bab I (1 pasal) berisi ketentuan umum, Bab II (3 pasal)- Hakekat, tujuan dan fungsi Kamnas. Bab III (11 pasal)-Ruang lingkup Kamnas, Bab IV(2 pasal)- Ancaman Kamnas, Bab V (39 pasal)- Penyelenggaraan Kamnas, Bab VI (2 pasal)- Ketentuan Peralihan dan Bab VII (2 pasal)- Ketentuan penutup.

Pro kontra dan kelemahan RUU

Namun demikian, RUU Kamnas masih juga menuai pro dan kontra dari banyak kalangan dengan masing-masing prespektif dan paradigmanya. Wajar, karena realitas substansi RUU Kamnas masih mengandung potensi yang melahirkan masalah. Begitu juga pada tataran implementasi, berpeluang muncul sejumlah persoalan. Implikasinya adalah ketidaklayakan RUU Kamnas menjadi sebuah UU yang bisa diaplikasikan dan bisa dijadikan sebagai payung hukum untuk merealisasikan tujuan nasional Negara Indonesia.

Kita bisa mencatat beberapa poin persoalan, yang menyebabkan publik wajib mewaspadai supaya tidak menjadi UU yang kontraproduktif bagi kehidupan sosial politik warga negara Indonesia yang mayoritas penghuninya adalah umat Islam.

1. Ada Paradigma di dalam pasal yang multitafsir dan ambigu
2. Belum sinkron dengan UU yang sudah ada dan operasionalnya masih berpeluang tumpang tindih dengan: UU KUHAP No. 8/1981, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU HAM No 39/1999, UU No 2 tahun 2002 tentang Polri,UU No 3 tahun 2003 tentang Pertahanan Negara,UU No 34 tahun 2004 Tentang TNI,UU No. 15/2003, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang merupakan pengesahan/penetapan Perpu No. 1/2002.
3. Berpotensi Merugikan Hak dan Privasi Publik
4. Berpotensi Digunakan Alat represi Pemerintah

Empat poin di atas sangat beralasan, sebab di antaranya adalah adanya sejumlah pasal yang bersifat karet, multipersepsi dan abu-abu. Keberadaan pasal dan ayat-ayat ini jelas ditujukan untuk mengeliminir pihak yang dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi keamanan nasional. Namun tidak terdefinisikan dengan baik dan terukur frase “ancaman” tersebut.

Tidak hanya itu, kewenangan-kewenangan yang terkesan pengulangan dari RUU Intelijen yang berbau represif juga menjadi substansi dalam RUU Kamnas. Berikut persoalan yang krusial;

1. Ancaman terhadap keamanan nasional didefinisikan bukan saja dalam bentuk militer tetapi juga selain militer yang membahayakan keselamatan serta mengancam keutuhan bangsa. Dijelaskan dalam RUU Kamnas bahwa salah satu yang dianggap sebagai ancaman bukan bersenjata adalah radikalisme dan ideologi asing. Artinya ketika Indonesia tidak clear terhadap ideologinya maka penilaian terhadap sebuah ideologi itu asing atau tidak menjadi absurd. Seperti pepatah “kuman disebrang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak tampak”, Indonesia punya pengalaman menterjemahkan “ideologi” Pancasila ke warna kiri bahkan seperti saat ini sangat kapitalis-sekuler-liberal. Pertanyaanya, apakah ini ideologi asing atau bahkan sudah menjadi ideologinya?

2. Ancaman terhadap keamanan nasional yang dibahas dan akan dieliminir nantinya bukan saja ancaman aktual, tetapi ancaman yang bersifat potensial. Artinya sangat memungkinkan untuk memberangus individu maupun kelompok yang dianggap berpotensi sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Apalagi diberikannya wewenang khusus kepada DKN (dewan keamanan nasional) untuk melakukan cegah dini baik berupa penyadapan hingga penangkapan. Ini sangat berpeluang lahirnya tirani baru atas nama UU.

3. Dalam RUU Kamnas ini yang dikategorikan ancaman bukan saja terhadap negara dan penyelenggara pemerintahan, tetapi terhadap perorangan atau kelompok. Artinya, bisa saja seseorang atau kelompok akan ditindak secara hukum bila dianggap telah mengancam seseorang atau kelompok lain, baik secara aktual maupun potensial. Pasal ini akan memberi ruang yang luas bagi individu maupun kelompok liberal atau sesat untuk tetap eksis dan mengembangkan ajaran mereka asal sejalan dengan keamanan nasional. Sebaliknya, kalangan muslim yang kritis apalagi melakukan aksi penentangan terhadap kelompok-kelompok tersebut, bisa ditindak secara hukum karena mengancam seseorang/kelompok lain.

4. Selain itu, memberikan kewenangan “khusus” kepada Dewan Keamanan Nasional untuk melakukan langkah kongkrit, penyadapan, penindakan, dengan memberikan wewenang kepada TNI dan BIN untuk melakukan penangkapan, pemeriksaan dan penyadapan sebagaimana diatur dalam Pasal 54 huruf e jo Pasal 20 RUU Kamnas. Tentu ini akan berpotensi lahirnya penguasa yang represif dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Maka menjadi persoalan serius, ketika dalam RUU ini tidak mampu menjadikan amunisi “ancaman” dilesatkan pada sasaran yang tepat menemukan rumusan aktual ancaman yang hakiki. Maka dengan RUU ini, alih-alih bisa menjaga kedaulatan, pertahanan dan keamanan nasional, yang terjadi bisa sebaliknya; distabilitas politik dan keamanan. Sikap Rakyat yang kritis dan berharap perubahan ke arah lebih baik bisa menjadi musuh dan di stempel sebagai ancaman. Karena negara tipe non-ideologis berpotensi represif terhadap rakyat, karena kecondongan melihat ancaman adalah setiap individu atau kelompok masyarakat yang kritis terhadap status quo.

Sebagai refleksi, saat ini banyak forum grup diskusi yang mengambil kesimpulan bahwa pemerintah yang selama ini dianggap paling banyak melanggar “ideologi” bangsa Indonesia. Dan para penguasalah yang selama ini menjadikan negara Indonesia tidak dijajah secara fisik tapi terjajah secara politik, ekonomi, budaya dan hukumnya.

Lantas, siapa sebenarnya yang akan menjadi obyek bidikan dari RUU Kamnas ini? Realitas politik mengatakan; Indonesia dibawah cengkraman kapitalis liberal telah menjadikan dalam keterpurukan dan hanyut dalam berbagai problem. Problem multidimensi seperti tak terurai dan tidak ada ujung pangkalnya.
Jika salah satu bentuk ancaman potensial itu adalah ideologi asing, maka yang dimaksudkan itu adalah Kapitalis, Komunis atau Islam? Atau persoalan yang paling mendasar adalah sudahkah Indonesia memiliki jenis kelamin ideologi yang jelas, sehingga memiliki parameter yang kongkrit untuk mengkategorikan ideologi itu asing atau tidak asing, mengancam atau tidak mengancam?

Bahkan, betul-betul ideologi itu bisa dijadikan sumber konseptual lahirnya sistem keamanan nasional yang holistik dan tangguh. Bisa jadi, sebenarnya rumusan RUU KAMNAS persoalan yang paling fundamental adalah tidak adanya basis ideologi yang jelas.

Ruang lingkup pengaturan RUU Kamnas terlalu luas, belum terfokus dan belum terstruktur secara sistematis. Secara umum, RUU ini masih memiliki banyak kelemahan dan perlu pembahasan lebih dalam, berikut di antara beberapa pasal yang perlu dikritisi:

Pertama; Pasal 1 ayat 2
Ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional.

(Tidak adanya definisi yang jelas tentang ‘ancaman’ memungkinkan untuk mengeliminasi setiap kelompok dan ideologi yang dipandang sebagai ancaman. Hal ini sejalan dengan paradigma ketahanan nasional yakni memandang ancaman bukan sekedar militer tetapi juga “tidak bersenjata” yang AKTUAL maupun POTENSIAL.)

Kedua; Pasal 1 ayat 13
Ancaman tidak bersenjata adalah ancaman selain ancaman militer dan ancaman bersenjata yang membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok, kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.

(Ayat ini sejalan dengan ayat di atas, bahkan lebih spesifik lagi bahwa siapapun dan apapun yang “membahayakan keselamatan individu dan/atau kelompok”, artinya ayat ini bisa digunakan untuk mengeliminir kelompok-kelompok Islam yang pemikiran dan aksinya dianggap “membahayakan keselamatan” kelompok aliran sesat semisal Ahmadiyah, JIL, Kerajaan Eden, dsb.)

Ketiga;Pasal 4 huruf c & d
memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan pemulihan; dan menunjang dan mendukung terwujudnya perdamaian dan keamanan regional serta internasional.

(Pasal ini akan membatasi ruang gerak kelompok yang dikategorikan dan dianggap sebagai ancaman bukan saja terhadap nasional, tetapi juga regional dan internasional)

Keempat; Pasal 5 jo Pasal 9 point a huruf 4 jo Pasal 1 ayat 12 jo pasal 17 jo Pasal 20.
Unsur keamanan nasional terdiri atas:
1. Tingkat Pusat yang meliputi: a. Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kementerian Negara; b. Tentara Nasional Indonesia (TNI); c. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri); d. KejaksaanAgung; e. Badan Intelijen Negara (BIN); f. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); g. Badan Nasional Narkotika (BNN); h. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT); dan i. Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait.


(Ruang lingkup keamanan nasional, identifikasi ancaman dan unsur keamanan nasional yang diatur dalam RUU ini terlalu luas sehingga menimbulkan ruang dan peluang terjadinya tumpang tindih kerja dan fungsi antar aktor keamanan. Hal itu dapat dilihat dari Pasal tersebut)

Kelima; Pasal 17 ayat 1
Ancaman keamanan nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis ancaman yang terdiri atas: a. ancaman militer; b. ancaman bersenjata; dan c. ancaman tidak bersenjata.

(Pasal ini mendudukkan hal yang mengancam negara bukan saja secara militer atau bersenjata, tetapi juga yang tidak bersenjata berupa ideologi dan pemikiran. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan pasal 17 ayat 1 huruf c.)

Keenam; Pasal 54 huruf e jo 20
Unsur Keamanan Nasional tingkat pusat meliputi :
“TNI, BIN, BNPT dan Polisi……..”

Penjelasan Pasal 54 huruf e:
“Kuasa khusus yang dimiliki oleh unsur keamanan nasional berupa hak menyadap, memeriksa, menangkap dan melakukan tindakan paksa ………..”


(Keinginan untuk meminta kewenangan menangkap itu sesungguhnya pengulangan dari kewenangan yang diminta dalam RUU Intelijen. Hal ini menunjukkan adanya rencana yang terselubung dan terencana dari pemerintah dalam membuat RUU bidang pertahanan dan keamanan (RUU Keamanan Nasional dan RUU Intelijen) dengan tujuan yang politis yakni berkeinginan mengembalikan posisi dan peran aktor keamanan (TNI dan BIN) seperti pada format politik orde baru yakni meletakkan kedua institusi itu sebagai bagian dari aparat penegak hukum. Sikap pemerintah yang berkeinginan memberikan kewenangan menangkap kepada BIN dan TNI bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan membajak sistem penegakkan hukum itu sendiri)

Ketuju; Pasal 25 huruf b dan d
Dewan Keamanan Nasional mepunyai tugas;
b. Menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional sesuai dengan eskalasi ancaman; d. mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional;


(Tidak jelasnya batasan ancaman dan pengertian radikalisme, serta ideologi transnasional menjadikan pasal ini bisa mengancam siapa saja dan membuat Dewan Kamnas punya wewenang penuh untuk menetapkan kondisi keamanan dan batasan eskalasinya, serta mengendalikan keamanan nasional. Pasal ini mengarahkan pemerintahan menuju militeristik.)

Kedelapan;Pasal 55 dan 56
Pembiayaan:
1. Biaya penyelenggaraan keamanan nasional dibebankan pada anggaran pendapatan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(Pasal 55 dan pasal 56 sebaiknya dihapus karena membuka ruang adanya pembiayaan kepada aktor keamanan selain dari APBN. Karena fungsi pertahanan dan keamanan adalah terpusat dan tidak didesentralisasikan maka pembiayaan untuk aktor keamanan hanya diperbolehkan melalui APBN). Wallahu a’lam

Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.