Header Ads

Perang Lawan Koruptor: Bubarkan KPK atau Bubarkan Demokrasi?

Kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini dipertanyakan. Lembaga independen pemberantas korupsi yang digadang-gadang sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ini, menuai banyak kecaman dan kritikan. Ini membuat eksistensi KPK terancam, seperti apa yang dikatakan oleh Ketua DPR-RI Marzuki Ali bahwa ketika KPK tidak layak dipercaya lagi, sebaiknya lembaga ad hoc itu dibubarkan saja. Tak ayal apa yang dikatakan Marzuki Ali sangat kontrofersi itu mengundang pro kontra.

Kita juga mengetahui bahwa yang membuat carut-marut negeri ini adalah Demokrasi. Demokrasi yang membuat tatanan kehidupan sembraut. Dengan biaya politik yang sangat mahal mengakibatkan siapa saja yang berkuasa mempunyai pikiran kotor untuk Korupsi. Bubarkan KPK atau Bubarkan Demokrasi?

Hal ini mengemuka saat Acara Halqoh Islam Peradaban edisi 32 yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Ahad, 14 Agustus 2011 di Auditorium Adhiyana Wisma Antara Jakarta. Menghadirkan pembicara Prof. Said Zainal Abidin, MPIA (penasehat dan anggota komisi Etik KPK), Abdullah Dahlan (Peneliti Indonesia Corupption Watch), dan Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI).

“Banyak yang mengatakan di DPR banyak Koruptor dan bahkan sarang koruptor, kalau kita menggunakan logika Ketua DPR Marzuki Ali, maka DPR pun patut untuk di bubarkan. Partai-partai Politik pun juga menjadi sarang koruptor. Nah, jika kita pakai lagi logika ketua DPR maka partai-partai politik pun sepatutnya dibubarkan. Negara yang tidak mampu memberantas korupsi dan banyak Gubernur, Bupati tersangkut kasus korupsi. Jika kita pakai lagi logika sebagai mana komentar Marzuki Ali, Apakah Negara ini pun Patut dibubarkan?” Ujar Rahmat S Labib saat membuka acara Halqah Islam dan Peradaban.

Bicara tentang korupsi dalam dimensi apa pun, siapa pun dan dimana pun sangat sulit untuk terlepas dari problem korupsi ini. Problem korupsi adalah kejahatan luar biasa. Karena menyentuh semua level yang terjadi. “Kita lihat yang ditangkap Hakim, ada Jaksa, ada Polisi. Ini dilevel penyelenggara. Namun praktek korup juga tidak lepas dari keseharian kita,” jelas Abdullah Dahlan.

“Konsep pemerintah mana pun kalau ada kekuasaan dan menumpuk praktek kekuasaan maka praktek korupsi akan subur. Harus ada gerakan melawan korupsi, dan gerakan-gerakan keagamaan yang ada sudah menjadikan korupsi sebagai musuh bersama,” lanjutnya.

Dalam penjelasanya Prof. Said Zainal, MPIA mengatakan KPK melaksanakan tugasnya benar-benar dari keinginan rakyat. Ada sekitar lima pulu ribu laporan yang masuk ke KPK dan tidak kurang sepuluh ribu laporan yang masuk tiap tahunnya. Sehingga untuk menangani seluruhnya, KPK harus memilih yang strategis dan lebih besar dampaknya di masyarakat.

“Tanpa Demokrasi kita tidak tahu ada korupsi, zaman Soekarno ada korupsi kita tidak bisa bicara apa-apa bukan karena tidak ada korupsi, apa lagi zaman Soeharto. Maka jelas tanpa Demokrasi kita tidak bisa berbuat apa-apa, Deokrasi pun sama seperti Islam” Tuturnya.

Korupsi di Indonesia begitu kronis, lalu berkembang sedemikian kompleks, ruwet seakan tidak berujung tidak jelas mau diselesaikan seperti apa. Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail yusanto menjelaskan “ada dua faktor utama penyebab persoalan korupsi di Indonesia. Pertama, rapuhnya kepemimpinan. Tidak adanya keinginan kuat oleh para pemimpin untuk memberantas korupsi, bisa jadi tidak ada komitmen yang kuat dikarenakan presiden pun korupsi!. Kedua, Sistem yang membuat orang korup. Dalam sistem rusak seperti ini Gubernur mengeluarkan uang kampanye 200 miliar saat pemilihan bagaimana ia mengembalikan dananya kembali dengan jangka waktu lima tahun kalau tidak dengan praktek-praktek kotor.”

“kita acap kali menyamakan dua hal berbeda. Disebabkan hanya ada unsur-unsur yang sama dari dua yang berbeda itu. Kita tidak bisa menyamakan Duren dan Timun walau keduanya memiliki daun ataukah monyet punya kaki dan manusia mempunyai kaki juga kemudian ingin disamakan. Tentulah keduanya sangat berbeda. Begitu pun Islam dan Demokrasi sangat jauh berbeda. Rasul sangat suka bermusyawarah namun hal itu dalam pelaksanaan teknis berbeda dengan demokrasi yang semuanya dimusyawarahkan. Kedaulatan ditangan Allah bukan di tangan rakyat.” Jelas Ismail Yusanto.[]fatih mujahid/mediaumat.com


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.