Polugri AS di Asia Tenggara
Oleh : Budi Mulyana, MSi
Secretary of State Amerika Serikat Hillary Clinton 21 Juli 2011 lalu berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dia melawat dua hari ke India untuk ambil bagian dalam konferensi tingkat menteri ASEAN yang diselenggarakan di Bali 22 Juli. Dia juga hadir dalam pertemuan dengan para menteri luar negeri dari Pertemuan Puncak Asia Timur (East Asia Summit) untuk mempersiapkan keikutsertaan Presiden Barack Obama untuk pertama kalinya dalam pertemuan puncak 18 negara itu pada November mendatang.
Tentu kunjungan tersebut menarik untuk dianalisis. Pasalnya, dalam lawatannya ke Indonesia, Hillary Clinton ternyata juga menjadi ‘tuan rumah’ pertemuan tingkat menteri Lower Mekong Initiative (LMI) IV dengan para menteri luar negeri dari Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam. Di sini, Amerika Serikat juga mengadakan pertemuan tiga pihak dengan Jepang dan Korea Selatan. Pada 23 Juli, Hillary Clinton juga memimpin delegasi Amerika Serikat di Forum Regional ASEAN ke-18 untuk membicarakan masalah keamanan regional. Dia juga menyampaikan pidato pembukaan pada Pertemuan Puncak Entrepreneurship Regional yang pertama yang pernah diadakan. Barulah kemudian, kepala diplomat Amerika Serikat itu bertemu dengan tuan tumah, Menlu Indonesia Marty Natalegawa, untuk membicarakan masalah penting bilateral, regional dan global. Sebagaimana dinyatakan secara resmi, kunjungan Menlu Hillary Clinton ini tidak lain adalah untuk menunjukkan komitmen terus-menerus Amerika Serikat dalam peningkatan keterlibatan strategis di Asia Tenggara dan dengan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Namun, di balik itu semua, tentu ada kepentingan dan grand strategy Amerika Serikat di dunia, khususnya di Asia Tenggara. Karena itu, rakyat Indonesia semestinya tidak gampang berbesar hati seolah dikunjungi oleh pejabat penting sebuah negara besar. Rakyat Indonesia juga mesti waspada, apa hidden agenda dari kunjungan tersebut.
Strategi Regional Amerika Serikat
Dari lima strategi regional Amerika Serikat—Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah dan Asia Barat Daya, Asia Timur dan Pasifik serta Afrika—hanya 3 (tiga) wilayah memperoleh prioritas tertinggi:
1) Eropa. Di sini Amerika Serikat senantiasa berhadapan dengan negara-negara utama: Uni Sovyet (kini Rusia), Ingggris, Prancis, Jerman dan kini dengan Uni Eropa.
2) Asia Timur – Pasifik. Di wilayah yang sangat luas dan beragam ini, Amerika Serikat sebagai negara Pasifik juga berhadapan langsung dengan Uni Soviet (kini Rusia) sebagai negara Asia. Selain itu kini ada Jepang dan Cina yang walaupun kekuatannya belum sampai ke level dunia, secara historis dan potensial kedua negara ini pernah dan akan menjadi ancaman serius pada masa mendatang.
3) Timur-Tengah dan Asia Barat Daya. Wilayah ini menguasai lalu-lintas laut dan udara Eropa-Asia Pasifik-Afrika dan juga sebagai sumber energi yang besar. Amerika Serikat juga memiliki kepentingan untuk menjaga eksistensi Israel, sekutu kuat terpercaya satu-satunya di kawasan ini.
Selain itu, wilayah Amerika Latin yang strategis juga penting bagi Amerika Serikat karena merupakan kawasan yang sangat dekat. Namun, wilayah ini tidak stabil dan mengandung berbagai kerawanan, terutama Amerika Tengah dan Karibia. Adapun wilayah Afrika penting bagi Amerika Serikat terutama untuk akses ke sumber-sumber energi, sumberdaya alam kritital lainnya dan pasar luar negeri.
Kepentingan AS di Asia Tenggara
Kunjungan Hillary Clinton di Indonesia telah menjadikan Indonesia salah satu pusat perhatian Amerika Serikat dalam pemetaan politik regionalnya. Robert Wood, Jurubicara Deplu Amerika Serikat, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara penting di dunia karena berpenduduk Islam terbanyak sehingga dimasukkan dalam agenda lawatan Menlu.
Hal ini tentu mengundang pertanyaan. Pasalnya, lebih dari 40 tahun politik luar negeri Amerika Serikat lebih diarahkan ke Eropa dan Timur Tengah. Sebagai gambaran, lawatan pertama seorang Menlu Amerika Serikat kalau bukan ke Timur Tengah, pasti Eropa. Nyaris tak pernah terjadi sebelumnya, perjalanan pertama seorang Menlu Amerika Serikat dilakukan ke Asia, kecuali Menlu Dean Rusk di era pemerintahan John F Kennedy. Hillary Clinton tiba di Indonesia untuk kedua kalinya setelah kunjungan pertamanya di awal masa pemerintahan Obama. Dalam hirarki pemerintahan, Menlu menduduki urutan ketiga, setelah Presiden dan Wakil Presiden. Jelas ini semua menunjukkan bahwa offensive diplomacy yang dilakukan Amerika Serikat bukan sebuah teori.
Dari beberapa aspek, kawasan Asia Tenggara mungkin kehilangan signifikansi nilai strategisnya dibandingkan dengan kawasan lainnya. Meskipun demikian, Amerika Serikat tetap memiliki kepentingan yang sangat luas di bidang ekonomi, politik serta keamanan.
Sebagai sebuah kawasan dengan penduduk sekitar 600 juta dan Gross National Product (GNP) mencapai hingga 800 miliar dolar, letak geografis yang strategis, serta kekayaan sumber-sumber alamnya, awalnya Asia Tenggara sering mendapat perhatian yang kurang intensif dalam politik luar negeri Amerika Serikat. Padahal dengan jumlah penduduk yang sangat besar, secara otomatis kawasan ini menjadi pasar yang luas bagi produk-produk Amerika Serikat, termasuk industri jasa dan investasi lainnya. Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat diuntungkan oleh letaknya yang strategis. Posisi Asia Tenggara tepat di persimpangan antara konsentrasi industri, teknologi dan kekuatan militer di Asia Timur Laut ke utara, sub-kontinental dan sumber-sumber minyak di Timur Tengah ke Timur, dan Australia ke Selatan.
Secara ekonomi Asia Tenggara merupakan bagian perdagangan dengan volume yang tinggi dari negara Jepang, Korea, Taiwan dan Australia; termasuk impor minyak, transit Sea-lanes of Communications (SLOCs)1 negara-negara tersebut di Asia Tenggara. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, secara otomatis Asia Tenggara juga merupakan pasar yang luas. Asia Tenggara adalah mitra ekspor sekaligus impor AS. Asia Tenggara juga merupakan kawasan tujuan bagi investasi AS.
Dalam perspektif militer, jalur laut Asia Tenggara sangat penting untuk pergerakan militer Amerika Serikat dari Pasifik Barat ke Samudera Hindia dan Teluk Persia. Secara politik Asia Tenggara juga adalah tempat tinggal bagi sepertiga penduduk Muslim terbesar di dunia. Ketika kebijakan war on terrorism dikeluarkan, maka pendekatan soft power kepada komunitas Muslim menjadi sangat signifikan. Hal ini karena Amerika Serikat telah menjadikan Asia Tenggara sebagai medan kedua (the second front) bagi perang terhadap terorisme. Asia Tenggara dianggap representasi dari Islam Moderat. Islam Moderat ini bagi Amerika Serikat lebih dapat mengakomodasi kepentingan globalnya di Dunia Islam.
Perhatian Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara juga lebih diarahkan untuk menghadapi semakin besarnya kekuatan Cina di berbagai bidang, karena Amerika Serikat memprediksikan Cina dapat menjadi negara yang paling berpengaruh setelah AS dalam 20 tahun ke depan. Sekarang ini, Amerika Serikat berupaya keluar dari ketergantungannya pada minyak dan gas bumi. Amerika Serikat mendorong kerjasama di bidang energi melalui berdirinya Global Energy Forum. Upaya ini terkait dengan upaya pemulihan ekonomi dalam negeri yang diterpa krisis ekonomi global. Dalam konteks ini, seperti Australia, Amerika Serikat berulang-ulang menegaskan dukungannya terhadap pemberlakuan otonomi khusus bagi provinsi Papua dan Papua Barat. Menurut Doktrin Mac Arthur, wilayah Papua merupakan wilayah yang kaya sumberdaya alam dan sangat cocok untuk dijadikan Sub base Marine (pangkalan militer) Amerika Serikat dan sekutunya. Telah berkali-kali Amerika Serikat dan negara-negara Commonwealth mengintervensi masalah Papua melalui IPWP dan AWPA yang berkedok HAM.
Grand Strategy
Posisi Asia Tenggara terbentang di persimpangan dua jalur laut terbesar di dunia. Pertama: jalur Timur-Barat yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Kedua: jalur Utara-Selatan yang menghubungkan kawasan Asia Timur dengan Australia dan New Zealand serta pulau di sekitarnya.2
Tiga “pintu masuk” kawasan Asia Tenggara—Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok—merupakan titik penting dalam sistem perdagangan dunia. Ia menjadi sama pentingnya karena perselisihan politis dan ekonomis mengenai jalur laut yang melintasi kepulauan Spartly di Laut Cina Selatan. Selat Malaka merupakan selat yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, sekaligus sebagai jalur terpendek yang terletak di antara India, Cina dan Indonesia. Oleh karena itu, selat ini dianggap sebagai “chokepoints” Asia.
Secara garis besar ada dua kepentingan Amerika Serikat di Asia Tenggara. Pertama: Asia Tenggara membuka garis laut, karena sebagian besar perdagangan dunia melewati selat Malaka. Kedua: Asia Tenggara penting sebagai pos untuk pergerakan kehadiran militer Amerika Serikat di Pasifik Barat dan Samudera Hindia.
Asia Tenggara secara geopolitik sangat krusial tidak hanya untuk kepentingan nasional Amerika Serikat, tetapi juga secara global. Jalur laut yang melintasi kawasan Asia Tenggara mempunyai fungsi yang vital bagi ekonomi Jepang dan Republik Korea, Cina dan Amerika Serikat sendiri.
Selat Malaka, yang melintasi Singapura, Indonesia dan Malaysia, merupakan salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Lebih dari 50.000 kapal pertahunnya transit di Selat Malaka.3 Padahal lebar selat ini hanya 1,5 mil dengan kedalaman 19,8 meter.4 Atase komunikasi Indonesia Yuri Gunadi memperkirakan setiap hari sekitar 10000 kapal masuk ke Singapura yang melintasi Selat Malaka, di antaranya 4000 kapal dagang dari Indonesia.5 Kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka ini merupakan 1/3 bagian dari perdagangan dunia.6 Berdasarkan catatan Energy Information Administration (EIA), minyak bumi yang dibawa kapal-kapal tanker via Selat Malaka (2003E) adalah 11 juta barel perhari.7
Letak Asia Tenggara yang sangat strategis berdasarkan jalur ini tentu saja menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan yang sangat penting baik dari sisi ekonomi maupun keamanan. Oleh karena itu, Amerika Serikat memiliki sejumlah kepentingan untuk akses bebas dan terbuka di jalur di Asia Tenggara, baik untuk kepentingan ekonomi (prosperity) maupun militier (national security).
Kebangkitan pengaruh Cina di Asia Tenggara yang terus menguat baik secara ekonomi, politik maupun militer tentu memberikan tantangan yang signifikan secara ekonomi, militer dan politik tidak hanya bagi Asia Tenggara, tetapi secara tidak langsung merupakan ancaman bagi Amerika Serikat. Yang terdekat adalah tantangan ekonomi yang dihadapi ASEAN. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Cina membuat Cina terdorong untuk melakukan investasi di negara-negara berkembang seperti kawasan ASEAN. Hal ini tentu saja menjadi persaingan karena Amerika Serikat juga merupakan mitra penting perdagangan dan investasi ASEAN.
Jumlah penduduk yang besar, kondisi sosial-budaya yang beragam, sistem pemerintahan yang cenderung lemah, serta krisis ekonomi yang masih belum pulih adalah gambaran kondisi aktual yang dialami sebagian besar negara Asia Tenggara. Semua ini secara tidak langsung mempengaruhi kepentingan-kepentingan Amerika Serikat.
Peran Indonesia
Adanya kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara tentunya menjadikan Indonesia sebagai core state yang memiliki nilai penting bagi Amerika Serikat. Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia, berpenduduk Muslim terbesar di dunia, eksportir minyak dan gas terbesar di kawasannya dan merupakan titik tumpu ASEAN.
Dalam kunjungannya di Bali, Hillary mempersoalkan bagaimana meningkatkan perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Amerika Serikat. Pasalnya, perdagangan antara dua negara masih tertinggal antara lain di wilayah ini. Perdagangan Amerika Serikat tahun ini dengan Indonesia hanya $20 miliar, sementara dengan Malaysia adalah $40 miliar.
Sebagai negara eksportir minyak dan gas terbesar di Asia Tenggara, Amerika Serikat harus memiliki hubungan yang baik dan stabil dengan Indonesia. Bagaimanapun, kebutuhan energi Amerika Serikat sangat besar, dan Indonesia merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan tersebut. Ada anggapan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperlakukan kedatangan Hillary Clinton yang pertama bagai pemodal mengunjungi propertinya—untuk melakukan renegosiasi kontrak-kontrak migas dan tambang, seperti ExxonMobil di Aceh, Kepulauan Natuna dan Cepu, Unocal-Texaco di Kaltim, Chevron-Caltex di Riau, Conoco di Papua dan lainnya; belum lagi pengerukan emas dari dua tambang terbesar di Indonésia, milik PT Freeport dan Newmont. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Amerika Serikat untuk tidak memperhitungkan Indonesia dalam hal ini.
Selanjutnya dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia menjadi pemain kunci dalam keterikatan Amerika Serikat terhadap Dunia Islam. Ketika Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk meyakinkan dunia bahwa “war against terrorism” bukan sebuah perlawanan terhadap Islam, maka dukungan negara yang mayoritas berpenduduk Muslim moderat seperti Indonesia menjadi sangat penting.
Pendekatan baru Amerika Serikat terhadap Indonesia segera terlihat setelah terpilihnya Presiden Barack Obama, yang kemudian dilanjutkan lewat kunjungan Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton ke Indonesia Februari 2009 dan Juli tahun ini. Sekarang ini, Amerika Serikat sedang bekerja untuk mengetahui cara terbaik dalam mempengaruhi Junta militer di Burma agar bergerak menuju demokrasi (Roadmap to democracy). Oleh karena itu, berlakunya Piagam ASEAN akan menjadikan terbentuknya Badan Hak Azasi Manusia ASEAN sebagai prioritas utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Asia Tenggara, termasuk menguatkan hubungan people-to-people contact, dalam kerangka ASEAN Civil Society dan ASEAN Parliamentary Association. Amerika Serikat juga tetap mendukung bantuan dan fasilitas pelatihan untuk sekretariat ASEAN di Jakarta. WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Sea-lanes Communications (SLOCs) adalah jalur komunikasi yang luas untuk transportasi pelayaran. Hubungan komunikasi yang luas terjalin antara terminal pelabuhan dengan kapal-kapal yang melewati rute pelayaran internasional maupun antarkapal. Ramainya jalur pelayaran suatu perairan dapat dilihat melalui sibuknya komunikasi yang terjadi dengan menggunakn radiograph atau radiophone antarkapal maupun antar terminal pelabuhan dengan kapal. Lihat: Sumhiko Kawawura, “The International Conference on System Compliance: Maritime Transit Issues Revisited”, Manila 17-18 November 1999, hlm.1. dalam http://www.glocommet.or.jp/, diakses 10 Juni 2004.
2 Richard Sokolsky, Angel Rabasa, C.R. Neu., “The Role of Southeast Asia in U.S. Strategy Toward China”, (Santa Monica: Rand, 2000), hlm. 10.
3 “Malaysia Rejects Foreign Forces in Southeast Asia” dalam http://www.chinadaily.com.cn/
4 Henry J Kenny, “An Analysis of Possible Threats to Shipping in Key Southeast Asian Sea Lanes”, Center for Naval Analysis, (VA: Alexandria, 1996), hlm. 4.
5 “Selat Malaka di Tengah Ancaman”, Kompas, 24 Mei 2004.
6 Kenny, Op.Cit
7 http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/choke.html.
Secretary of State Amerika Serikat Hillary Clinton 21 Juli 2011 lalu berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, dia melawat dua hari ke India untuk ambil bagian dalam konferensi tingkat menteri ASEAN yang diselenggarakan di Bali 22 Juli. Dia juga hadir dalam pertemuan dengan para menteri luar negeri dari Pertemuan Puncak Asia Timur (East Asia Summit) untuk mempersiapkan keikutsertaan Presiden Barack Obama untuk pertama kalinya dalam pertemuan puncak 18 negara itu pada November mendatang.
Tentu kunjungan tersebut menarik untuk dianalisis. Pasalnya, dalam lawatannya ke Indonesia, Hillary Clinton ternyata juga menjadi ‘tuan rumah’ pertemuan tingkat menteri Lower Mekong Initiative (LMI) IV dengan para menteri luar negeri dari Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam. Di sini, Amerika Serikat juga mengadakan pertemuan tiga pihak dengan Jepang dan Korea Selatan. Pada 23 Juli, Hillary Clinton juga memimpin delegasi Amerika Serikat di Forum Regional ASEAN ke-18 untuk membicarakan masalah keamanan regional. Dia juga menyampaikan pidato pembukaan pada Pertemuan Puncak Entrepreneurship Regional yang pertama yang pernah diadakan. Barulah kemudian, kepala diplomat Amerika Serikat itu bertemu dengan tuan tumah, Menlu Indonesia Marty Natalegawa, untuk membicarakan masalah penting bilateral, regional dan global. Sebagaimana dinyatakan secara resmi, kunjungan Menlu Hillary Clinton ini tidak lain adalah untuk menunjukkan komitmen terus-menerus Amerika Serikat dalam peningkatan keterlibatan strategis di Asia Tenggara dan dengan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Namun, di balik itu semua, tentu ada kepentingan dan grand strategy Amerika Serikat di dunia, khususnya di Asia Tenggara. Karena itu, rakyat Indonesia semestinya tidak gampang berbesar hati seolah dikunjungi oleh pejabat penting sebuah negara besar. Rakyat Indonesia juga mesti waspada, apa hidden agenda dari kunjungan tersebut.
Strategi Regional Amerika Serikat
Dari lima strategi regional Amerika Serikat—Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah dan Asia Barat Daya, Asia Timur dan Pasifik serta Afrika—hanya 3 (tiga) wilayah memperoleh prioritas tertinggi:
1) Eropa. Di sini Amerika Serikat senantiasa berhadapan dengan negara-negara utama: Uni Sovyet (kini Rusia), Ingggris, Prancis, Jerman dan kini dengan Uni Eropa.
2) Asia Timur – Pasifik. Di wilayah yang sangat luas dan beragam ini, Amerika Serikat sebagai negara Pasifik juga berhadapan langsung dengan Uni Soviet (kini Rusia) sebagai negara Asia. Selain itu kini ada Jepang dan Cina yang walaupun kekuatannya belum sampai ke level dunia, secara historis dan potensial kedua negara ini pernah dan akan menjadi ancaman serius pada masa mendatang.
3) Timur-Tengah dan Asia Barat Daya. Wilayah ini menguasai lalu-lintas laut dan udara Eropa-Asia Pasifik-Afrika dan juga sebagai sumber energi yang besar. Amerika Serikat juga memiliki kepentingan untuk menjaga eksistensi Israel, sekutu kuat terpercaya satu-satunya di kawasan ini.
Selain itu, wilayah Amerika Latin yang strategis juga penting bagi Amerika Serikat karena merupakan kawasan yang sangat dekat. Namun, wilayah ini tidak stabil dan mengandung berbagai kerawanan, terutama Amerika Tengah dan Karibia. Adapun wilayah Afrika penting bagi Amerika Serikat terutama untuk akses ke sumber-sumber energi, sumberdaya alam kritital lainnya dan pasar luar negeri.
Kepentingan AS di Asia Tenggara
Kunjungan Hillary Clinton di Indonesia telah menjadikan Indonesia salah satu pusat perhatian Amerika Serikat dalam pemetaan politik regionalnya. Robert Wood, Jurubicara Deplu Amerika Serikat, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara penting di dunia karena berpenduduk Islam terbanyak sehingga dimasukkan dalam agenda lawatan Menlu.
Hal ini tentu mengundang pertanyaan. Pasalnya, lebih dari 40 tahun politik luar negeri Amerika Serikat lebih diarahkan ke Eropa dan Timur Tengah. Sebagai gambaran, lawatan pertama seorang Menlu Amerika Serikat kalau bukan ke Timur Tengah, pasti Eropa. Nyaris tak pernah terjadi sebelumnya, perjalanan pertama seorang Menlu Amerika Serikat dilakukan ke Asia, kecuali Menlu Dean Rusk di era pemerintahan John F Kennedy. Hillary Clinton tiba di Indonesia untuk kedua kalinya setelah kunjungan pertamanya di awal masa pemerintahan Obama. Dalam hirarki pemerintahan, Menlu menduduki urutan ketiga, setelah Presiden dan Wakil Presiden. Jelas ini semua menunjukkan bahwa offensive diplomacy yang dilakukan Amerika Serikat bukan sebuah teori.
Dari beberapa aspek, kawasan Asia Tenggara mungkin kehilangan signifikansi nilai strategisnya dibandingkan dengan kawasan lainnya. Meskipun demikian, Amerika Serikat tetap memiliki kepentingan yang sangat luas di bidang ekonomi, politik serta keamanan.
Sebagai sebuah kawasan dengan penduduk sekitar 600 juta dan Gross National Product (GNP) mencapai hingga 800 miliar dolar, letak geografis yang strategis, serta kekayaan sumber-sumber alamnya, awalnya Asia Tenggara sering mendapat perhatian yang kurang intensif dalam politik luar negeri Amerika Serikat. Padahal dengan jumlah penduduk yang sangat besar, secara otomatis kawasan ini menjadi pasar yang luas bagi produk-produk Amerika Serikat, termasuk industri jasa dan investasi lainnya. Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat diuntungkan oleh letaknya yang strategis. Posisi Asia Tenggara tepat di persimpangan antara konsentrasi industri, teknologi dan kekuatan militer di Asia Timur Laut ke utara, sub-kontinental dan sumber-sumber minyak di Timur Tengah ke Timur, dan Australia ke Selatan.
Secara ekonomi Asia Tenggara merupakan bagian perdagangan dengan volume yang tinggi dari negara Jepang, Korea, Taiwan dan Australia; termasuk impor minyak, transit Sea-lanes of Communications (SLOCs)1 negara-negara tersebut di Asia Tenggara. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, secara otomatis Asia Tenggara juga merupakan pasar yang luas. Asia Tenggara adalah mitra ekspor sekaligus impor AS. Asia Tenggara juga merupakan kawasan tujuan bagi investasi AS.
Dalam perspektif militer, jalur laut Asia Tenggara sangat penting untuk pergerakan militer Amerika Serikat dari Pasifik Barat ke Samudera Hindia dan Teluk Persia. Secara politik Asia Tenggara juga adalah tempat tinggal bagi sepertiga penduduk Muslim terbesar di dunia. Ketika kebijakan war on terrorism dikeluarkan, maka pendekatan soft power kepada komunitas Muslim menjadi sangat signifikan. Hal ini karena Amerika Serikat telah menjadikan Asia Tenggara sebagai medan kedua (the second front) bagi perang terhadap terorisme. Asia Tenggara dianggap representasi dari Islam Moderat. Islam Moderat ini bagi Amerika Serikat lebih dapat mengakomodasi kepentingan globalnya di Dunia Islam.
Perhatian Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara juga lebih diarahkan untuk menghadapi semakin besarnya kekuatan Cina di berbagai bidang, karena Amerika Serikat memprediksikan Cina dapat menjadi negara yang paling berpengaruh setelah AS dalam 20 tahun ke depan. Sekarang ini, Amerika Serikat berupaya keluar dari ketergantungannya pada minyak dan gas bumi. Amerika Serikat mendorong kerjasama di bidang energi melalui berdirinya Global Energy Forum. Upaya ini terkait dengan upaya pemulihan ekonomi dalam negeri yang diterpa krisis ekonomi global. Dalam konteks ini, seperti Australia, Amerika Serikat berulang-ulang menegaskan dukungannya terhadap pemberlakuan otonomi khusus bagi provinsi Papua dan Papua Barat. Menurut Doktrin Mac Arthur, wilayah Papua merupakan wilayah yang kaya sumberdaya alam dan sangat cocok untuk dijadikan Sub base Marine (pangkalan militer) Amerika Serikat dan sekutunya. Telah berkali-kali Amerika Serikat dan negara-negara Commonwealth mengintervensi masalah Papua melalui IPWP dan AWPA yang berkedok HAM.
Grand Strategy
Posisi Asia Tenggara terbentang di persimpangan dua jalur laut terbesar di dunia. Pertama: jalur Timur-Barat yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Kedua: jalur Utara-Selatan yang menghubungkan kawasan Asia Timur dengan Australia dan New Zealand serta pulau di sekitarnya.2
Tiga “pintu masuk” kawasan Asia Tenggara—Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok—merupakan titik penting dalam sistem perdagangan dunia. Ia menjadi sama pentingnya karena perselisihan politis dan ekonomis mengenai jalur laut yang melintasi kepulauan Spartly di Laut Cina Selatan. Selat Malaka merupakan selat yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, sekaligus sebagai jalur terpendek yang terletak di antara India, Cina dan Indonesia. Oleh karena itu, selat ini dianggap sebagai “chokepoints” Asia.
Secara garis besar ada dua kepentingan Amerika Serikat di Asia Tenggara. Pertama: Asia Tenggara membuka garis laut, karena sebagian besar perdagangan dunia melewati selat Malaka. Kedua: Asia Tenggara penting sebagai pos untuk pergerakan kehadiran militer Amerika Serikat di Pasifik Barat dan Samudera Hindia.
Asia Tenggara secara geopolitik sangat krusial tidak hanya untuk kepentingan nasional Amerika Serikat, tetapi juga secara global. Jalur laut yang melintasi kawasan Asia Tenggara mempunyai fungsi yang vital bagi ekonomi Jepang dan Republik Korea, Cina dan Amerika Serikat sendiri.
Selat Malaka, yang melintasi Singapura, Indonesia dan Malaysia, merupakan salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Lebih dari 50.000 kapal pertahunnya transit di Selat Malaka.3 Padahal lebar selat ini hanya 1,5 mil dengan kedalaman 19,8 meter.4 Atase komunikasi Indonesia Yuri Gunadi memperkirakan setiap hari sekitar 10000 kapal masuk ke Singapura yang melintasi Selat Malaka, di antaranya 4000 kapal dagang dari Indonesia.5 Kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka ini merupakan 1/3 bagian dari perdagangan dunia.6 Berdasarkan catatan Energy Information Administration (EIA), minyak bumi yang dibawa kapal-kapal tanker via Selat Malaka (2003E) adalah 11 juta barel perhari.7
Letak Asia Tenggara yang sangat strategis berdasarkan jalur ini tentu saja menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan yang sangat penting baik dari sisi ekonomi maupun keamanan. Oleh karena itu, Amerika Serikat memiliki sejumlah kepentingan untuk akses bebas dan terbuka di jalur di Asia Tenggara, baik untuk kepentingan ekonomi (prosperity) maupun militier (national security).
Kebangkitan pengaruh Cina di Asia Tenggara yang terus menguat baik secara ekonomi, politik maupun militer tentu memberikan tantangan yang signifikan secara ekonomi, militer dan politik tidak hanya bagi Asia Tenggara, tetapi secara tidak langsung merupakan ancaman bagi Amerika Serikat. Yang terdekat adalah tantangan ekonomi yang dihadapi ASEAN. Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi Cina membuat Cina terdorong untuk melakukan investasi di negara-negara berkembang seperti kawasan ASEAN. Hal ini tentu saja menjadi persaingan karena Amerika Serikat juga merupakan mitra penting perdagangan dan investasi ASEAN.
Jumlah penduduk yang besar, kondisi sosial-budaya yang beragam, sistem pemerintahan yang cenderung lemah, serta krisis ekonomi yang masih belum pulih adalah gambaran kondisi aktual yang dialami sebagian besar negara Asia Tenggara. Semua ini secara tidak langsung mempengaruhi kepentingan-kepentingan Amerika Serikat.
Peran Indonesia
Adanya kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara tentunya menjadikan Indonesia sebagai core state yang memiliki nilai penting bagi Amerika Serikat. Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia, berpenduduk Muslim terbesar di dunia, eksportir minyak dan gas terbesar di kawasannya dan merupakan titik tumpu ASEAN.
Dalam kunjungannya di Bali, Hillary mempersoalkan bagaimana meningkatkan perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Amerika Serikat. Pasalnya, perdagangan antara dua negara masih tertinggal antara lain di wilayah ini. Perdagangan Amerika Serikat tahun ini dengan Indonesia hanya $20 miliar, sementara dengan Malaysia adalah $40 miliar.
Sebagai negara eksportir minyak dan gas terbesar di Asia Tenggara, Amerika Serikat harus memiliki hubungan yang baik dan stabil dengan Indonesia. Bagaimanapun, kebutuhan energi Amerika Serikat sangat besar, dan Indonesia merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan tersebut. Ada anggapan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperlakukan kedatangan Hillary Clinton yang pertama bagai pemodal mengunjungi propertinya—untuk melakukan renegosiasi kontrak-kontrak migas dan tambang, seperti ExxonMobil di Aceh, Kepulauan Natuna dan Cepu, Unocal-Texaco di Kaltim, Chevron-Caltex di Riau, Conoco di Papua dan lainnya; belum lagi pengerukan emas dari dua tambang terbesar di Indonésia, milik PT Freeport dan Newmont. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Amerika Serikat untuk tidak memperhitungkan Indonesia dalam hal ini.
Selanjutnya dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia menjadi pemain kunci dalam keterikatan Amerika Serikat terhadap Dunia Islam. Ketika Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk meyakinkan dunia bahwa “war against terrorism” bukan sebuah perlawanan terhadap Islam, maka dukungan negara yang mayoritas berpenduduk Muslim moderat seperti Indonesia menjadi sangat penting.
Pendekatan baru Amerika Serikat terhadap Indonesia segera terlihat setelah terpilihnya Presiden Barack Obama, yang kemudian dilanjutkan lewat kunjungan Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton ke Indonesia Februari 2009 dan Juli tahun ini. Sekarang ini, Amerika Serikat sedang bekerja untuk mengetahui cara terbaik dalam mempengaruhi Junta militer di Burma agar bergerak menuju demokrasi (Roadmap to democracy). Oleh karena itu, berlakunya Piagam ASEAN akan menjadikan terbentuknya Badan Hak Azasi Manusia ASEAN sebagai prioritas utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Asia Tenggara, termasuk menguatkan hubungan people-to-people contact, dalam kerangka ASEAN Civil Society dan ASEAN Parliamentary Association. Amerika Serikat juga tetap mendukung bantuan dan fasilitas pelatihan untuk sekretariat ASEAN di Jakarta. WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
1 Sea-lanes Communications (SLOCs) adalah jalur komunikasi yang luas untuk transportasi pelayaran. Hubungan komunikasi yang luas terjalin antara terminal pelabuhan dengan kapal-kapal yang melewati rute pelayaran internasional maupun antarkapal. Ramainya jalur pelayaran suatu perairan dapat dilihat melalui sibuknya komunikasi yang terjadi dengan menggunakn radiograph atau radiophone antarkapal maupun antar terminal pelabuhan dengan kapal. Lihat: Sumhiko Kawawura, “The International Conference on System Compliance: Maritime Transit Issues Revisited”, Manila 17-18 November 1999, hlm.1. dalam http://www.glocommet.or.jp/, diakses 10 Juni 2004.
2 Richard Sokolsky, Angel Rabasa, C.R. Neu., “The Role of Southeast Asia in U.S. Strategy Toward China”, (Santa Monica: Rand, 2000), hlm. 10.
3 “Malaysia Rejects Foreign Forces in Southeast Asia” dalam http://www.chinadaily.com.cn/
4 Henry J Kenny, “An Analysis of Possible Threats to Shipping in Key Southeast Asian Sea Lanes”, Center for Naval Analysis, (VA: Alexandria, 1996), hlm. 4.
5 “Selat Malaka di Tengah Ancaman”, Kompas, 24 Mei 2004.
6 Kenny, Op.Cit
7 http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/choke.html.
Tidak ada komentar