Indonesian Idol : Idiot Audition Is Idiot
Oleh: Andhika Putra Dwijayanto
Merasa judulnya terlalu keras? Terlalu kasar?
Mungkin sebagian orang akan menilai begitu, tapi kalau kita melihat fakta
tentang audisi ini, rasanya penyebutan tersebut tidak berlebihan. Lho,
memangnya kenapa? Apa yang salah dari audisi indonesian Idol? Bukankah itu hal
yang bagus, bisa menyalurkan bakat seseorang dalam bermusik? Selain itu,
bukannya audisi seperti ini bisa membantu seseorang menjadi orang sukses? Atau
membantu seseorang untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarganya? Well, kalau
kita lihat secara sekilas, pernyataan-pernyataan di atas sepertinya benar. Tapi
sebenarnya, menilai benar-salahnya sesuatu bukan sekadar dilihat dari asas manfaat-maslahat saja,
apalagi hanya melihat sekilas dari permukaannya saja, melainkan juga seharusnya
dinilai dari apakah perbuatan ini sesuai dengan syariat atau tidak berdasarkan
fakta yang ada.
Indonesian Idol sebenarnya bukan acara yang orisinil dari Indonesia, melainkan
merupakan acara adaptasi dari American Idol. Acara ini sendiri merupakan ajang
pencarian bakat dalam kemampuan tarik suara alias menyanyi. Mereka menyeleksi
bakat dari seluruh penjuru tempat untuk kemudian dilombakan dalam babak Final,
dimana beberapa kontestan yang lolos audisi akan bersaing satu sama lain untuk
menjadi juara. Dalam prosesnya, mereka akan melalui sebuah karantina, dilatih
segala sesuatunya untuk mempersiapkan mereka menjadi penyanyi yang hebat.
Sedangkan dalam proses kompetisi itu sendiri, mereka diharuskan bernyanyi di
depan banyak audiens di dalam sebuah panggung pentas, disaksikan jutaan
masyarakat yang menontonnya lewat layar kaca. Lalu untuk menentukan siapa yang
berhak lolos ke babak berikutnya, mereka menggunakan layanan SMS Premium yang
tarifnya jauh di atas tarif SMS normal. Apalagi sekarang banyak paket SMS dan
promo gratis SMS, jadi makin jauh saja perbedaan tarifnya. Dengan penentuan
dari perolehan SMS inilah, seseorang ditentukan apakah mereka lolos ke babak
berikutnya atau tidak.
Dari fakta-fakta di atas, jika kita telusuri
lebih mendalam, maka sebenarnya kita akan menemukan banyak hal yang tidak beres
di dalamnya, ditinjau dari perspektif syariat. Masalah hukum menyanyi itu
sendiri, meski sebenarnya ada pertentangan di kalangan ulama tentang hukumnya,
apakah halal atau haram, dalam konteks ini bukan hal itu yang ditinjau. Dalam
kompetisi Indonesian Idol ini, mayoritas lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu
bertemakan cinta monyet (kenapa tidak cinta simpanse saja sekalian?) ,
perselingkuhan, patah hati, cemburu, dan sejenisnya. Terus masalahnya dimana?
Ya dari jenis lagu itu. Lagu-lagu bertema percintaan seperti itu mengarahkan
orang-orang untuk melakukan tindakan yang diharamkan yaitu pacaran. Coba lihat
saja liriknya, hampr semuanya merujuk pada hubungan antar laan jenis di luar
ikatan nikah. Sementara kita tahu sendiri bahwa perkara yang dapat mengarahkan
pada keharaman hukumnya haram. Nah, dari sini terlihat kalau menyanyikan
lagu-lagu bertema cinta simpanse itu dihukumi haram.
Terus bagaimana kalau masih ada yang
menyanyikan lagu yang tidak mengandung unsur demikian? Peluangnya sangat kecil,
kurang dari 1%. Mengapa? Sebab yang tipenya seperti itu jarang yang laku di
pasaran. Okelah, kalau kita mengasumsikan masalah itu bisa ditoleransi, yaitu
dengan mengasumsikan bahwa lagu-lagu yang memiliki lirik yang “wajar” yang
dinyanyikan, maka setidaknya kita dihadapkan pada 2 perkara: 1. Fakta
menunjukkan bahwa lagu-lagu seperti itu memang hampir tidak pernah dipakai; 2.
Yang menjadi masalah bukan sekadar di lagu yang dinyanyikan itu sendiri,
melainkan masih banyak aspek lain yang perlu ditinjau.
Dalam masa kompetisi, para kontestan
Indonesian Idol akan melalui masa karantina. Dalam masa ini, mereka diputus
dari interaksi dengan dunia luar, dan dilatih benar-benar untuk memantapkan
kualitas vokal dan olah panggung. Celakanya, dalam masa ini terjadi ikhtilath antara laki-laki dan perempuan
yang terlibat dalam karantina tersebut. Entah itu sesama kontestan audisi, atau
antara kontestan dengan trainernya. Kalau dilihat dari tayangan yang sering
ditampilkan tentang masa karantina mereka, seringkali mereka terlibat dalam
interaksi yang tidak perlu seperti candaan dan bahkan interaksi yang bersifat
tertutup antara kontestan dan trainer yang berlainan jenis ketika latihan.
Belum lagi, jenis pakaian yang digunakan, terutama perempuannya, bisa dikatakan
(kalau saya boleh ngomong kasar) seronok.
Hal ini jelas saja bermasalah ditinjau dari
sudut pandang syara’. Islam sendiri telah menetapkan bahwa interaksi antara
laki-laki dan perempuan itu pada dasarnya terpisah, tidak boleh disatukan. Baik
itu dalam kehidupan khusus maupun kehidupan umum. Pada kasus ini, jelas sekali
fakta bahwa telah terjadi ikhtilath
dalam kehidupan umum maupun khusus dalam proses karantina ini. Terlebih,
percampurbauran seperti itu memiliki kecenderungan untuk membangkitkan gharizatun nau’ pada diri mereka. Belum
lagi ditambah bahwa pakaian yang digunakan pada saat ini juga sama sekali tidak
syar’i. Namanya kehidupan di dalam rumahan, jelas sekali bahwa jarang ada yang
menggunakan pakaian syar’i di dalamnya, apalagi dalam sistem sekular saat ini.
Masih mending kalau tidak ada interaksi antar lawan jenis atau tidak
dipublikasikan lewat kamera, lha tapi ini apa?
Justru dijadikan bahan konsumsi publik. Padahal syari’at telah menegaskan
dengan pasti larangan menampakkan aurat kepada mereka yang bukan mahramnya (QS
24:31), serta perintah untuk mengenakan kerudung (khimar) dan jilbab (QS
24:31 dan 33:59)kepada wanita dalam kehidupan umumnya. Parahnya, hal ini sama
sekali tak disadari oleh mereka para kontestan dan penyelenggara acara,
sehingga yang seperti itu dianggap biasa saja. Na’udzubillah..
Tidak berhenti sampai disitu, penampilan
mereka di atas panggung pun patut dikritisi. Dalam pentas para kontestan
Indonesian Idol di atas panggung, mereka melakukannya di depan audiens dan
dewan juri yang berada dalam gedung pertunjukkan, serta disiarkan secara
langsung melalui stasiun televisi untuk disaksikan jutaan penonton di seluruh
penjuru negeri. Di panggung inilah mereka menampilkan hasil dari karantina
mereka selama ini. Lalu adakah masalah di dalamnya? Oh, tentu saja ada. Banyak,
malah.
Pada pentas tersebut terjadi ikhtilath di dalam gedung pertunjukkan,
dimana tempat duduk audiens laki-laki dan perempuan sama sekali tidak dipisah
alias dibiarkan bercampur baur. Dari fakta ini saja sudah terlihat ada yang
tidak beres, mengingat seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya adalah
haram hukumnya untuk berikhtilath tanpa
adanya uzur yang dibenarkan syara’. Yah, mungkin yang mendapat masalah adalah
penontonnya. Tapi kalau tidak ada penyanyi yang mengakibatkan mereka duduk di
gedung tersebut, tentunya mereka (para penonton) tidak akan datang, bukan?
Artinya, sebenarnya secara tidak langsung, para kontestan Indonesian Idol juga
telah berperan dalam memunculkan ikhtilath
ini, selain memang dibiarkan saja oleh penyelenggara.
Belum lagi ketika para kontestan sudah beraksi
di atas panggung. Lirik-lirik lagu yang dinyanyikan, seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, mengundang pada kemaksiatan. Tema cinta simpanse yang biasa menjadi
tema utama musik dewasa ini seolah menjadi hal wajib untuk ditampilkan di depan
khalayak ramai. Untuk apa? Supaya populer. Kalau tidak lagu seperti itu pasti
jarang menarik minat mayoritas pendengar yang sudah teracuni jenis musik yang
demikian. Jelas sekali bahwa yang seperti ini diharamkan oleh syari’at, apalagi
fakta menunjukkan bahwa lagu-lagu seperti itu meningkatkan jumlah orang-orang
yang berpacaran, sebuah tindakan maksiat abad 21.
Lebih parah lagi, penampilan para kontestan di
atas panggung juga tidak syar’i. Untuk kontestan laki-laki, mungkin tak ada
masalah. Tapi untuk kontestan perempuan, saya
jamin 100%, tidak ada di antara mereka yang menutup auratnya dengan
benar. Semua kontestan perempuan pasti menggunakan pakaian yang, dalam
perspektif sekular, menampilkan “kecantikan” mereka. Saya rasa tak perlu
dijelaskan lagi bagaimana, sudah cukup terbaca kok seperti apa mereka
berpenampilan. Sekali lagi, ini merupakan pelanggaran besar terhadap syari’at
yang telah mewajibkan untuk menutup aurat secara sempurna.Lantas kenapa tidak
ada kontestan perempuan yang menutup aurat secara sempurna? Ya mana bisa laku
kalau begitu? Perspektif mereka kan penampilan juga jadi barang dagangan untuk
meningkatkan daya jual acara. Lagipula, saya ragu sekali ada perempuan yang menutup
aurat dengan sempurna mau ikut acara seperti ini. Dengan demikian, bukan hanya
para kontestan yang mendapat dosa, tapi juga mereka yang menontonnya secara live di gedung pertunjukkan dan lewat
siaran televisi. Artinya apa? Terjadi dosa berantai akibat kemaksiatan dalam
acara ini.
Sistem penentuan kontestan yang berhak lolos
ke babak berikutnya dan menjadi juara adalah dengan layanan SMS Premium.
Dulunya sih sempat pakai mekanisme telpon juga, tapi saya belum tahu pasti
apakah tahun ini digunakan lagi atau tidak. Dengan mekanisme seperti ini, para
audiens di seluruh Indonesia akan mengirimkan SMS bertarif Rp. 2000,-/SMS untuk
memberikan dukungannya kepada kontestan yang diidolakannya. Jumlahnya berapa?
Bisa jauh lebih banyak dari jumlah audiens itu sendiri. Jarang audiens yang
mengirim hanya sekali untuk mendukung jagoannya (kecuali dia pelit pulsa). Bisa
dibayangkan berapa pulsa yang terbuang hanya untuk mendukung seseorang yang
belum pasti menjadi juara. Pas jagoannya tersingkir, sia-sia saja pengorbanan
pulsanya demi mendukung sang jagoan. Memangnya bakal dapat apa? Nothing, Cuma
rasa kecewa. Terus yang untung siapa? Ya penyelenggara, bisa dibayangkan berapa
pendapatan mereka lewat SMS Premium. Keuntungannya bisa dipastikan luar biasa
besar, apalagi dengan banyaknya sponsor. Kontestan? Mungkin hanya dapat porsi
kecil saja. Penonton? Tidak dapat apa-apa. Bahkan sekalipun yang dijagokannya
menjadi juara, lantas apa manfaat yang mereka dapat? Sudah banyak kejadian
mereka yang kecewa gara-gara merasa pengorbanannya dianggap sia-sia belaka
ketika sang juara, yang mereka dukung selama ini melalui pemubadziran pulsa
(yang berarti pemubadziran uang juga) tidak memperdulikan mereka (baca:
dikacangin). Suara-suara bernada seperti itu banyak terlihat di majalah-majalah
remaja setelah kompetisi Indonesian Idol berakhir.
Dengan adanya sikap mendukung seseorang yang
dijagokan dalam kompetisi, tidak patut dipungkiri bahwa akan terjadi sejenis
kefanatikan terhadap dukungannya itu. Yah, mungkin ada juga yang mendukung secara
normal-normal saja, namun dalam acara seperti ini faktanya menunjukkan bahwa
lebih banyak yang terkesan fanatik kepada idola yang mereka jagokan. Entah
mereka berkumpul di luar gedung sambil teriak-teriak menyebut nama idola
mereka, berjuang gila-gilaan untuk bisa sekadar berfoto bareng idolanya, dan
sejenisnya. Hal ini lumrah terjadi dalam dunia entertainment, sehingga tidak aneh kalau ini juga terjadi dalam
Indonesian Idol. Jelas, ini termasuk pengagungan yang berlebihan kepada para
idola mereka. Sehingga dapat dikatakan, acara ini sebenarnya membentuk
Idol-Idol (Berhala, Eng.) baru, yang dipuja dan dikenal secara berlebihan oleh
banyak orang, bahkan mungkin lebih dikenal daripada Tuhan mereka sendiri. Na’udzubillah..
Sementara para kontestan yang sukses menjadi
juara sekalipun, paling-paling hanya tenar sebentar. Tidak sampai setahun,
sudah tenggelam lagi namanya. Menurut pengakuan salah satu alumnus Indonesian
Idol edisi lampau, kebanyakan alumnus acara itu cepat merasa angkuh dan sombong
akibat kesuksesan mereka. Ini wajar saja, mengingat popularitas sekejap yang
mereka dapatkan secara instan.
Begitulah fakta tentang audisi Indonesian Idol
yang biasa menghasilkan popularitas semu yang tak bermakna, serta menimbulkan
kefanatikan dan pemborosan yang luar biasa di kalangan masyarakat, terutama
remaja yang memang menjadi sasaran empuk bagi mereka yang punya kepentingan di
belakangnya. Lantas siapa yang berkepentingan dalam acara seperti ini?
Indonesian Idol, dan acara-acara sejenisnya
sebenarnya merupakan bagian dari proyek busuk sekularisasi remaja yang
dikomandoi kaum kapitalis dan sekutu-sekutunya, selain untuk meraup keuntungan
yang sebesar-besarnya dari masyarakat yang dibodohi oleh acara menyesatkan ini.
Proyek mereka memang menghancurkan remaja muslim agar semakin jauh dari Islam
dan menuju kehidupan sekular, hedonis, dan liberal. Banyaknya (kalau tidak
dibilang hampir semuanya) unsur yang tidak syar’i dalam acara ini menunjukkan
bahwa para remaja memang disetting agar
mereka tidak bisa menjalankan aturan Islam dalam kehidupan mereka dengan
ditawari popularitas dan kenyamanan semu. Apalagi basis remaja yang dipilih
sebagai kontestan juga memang berbasis sekular, sehingga memuluskan rencana
kaum Kapitalis untuk makin merusak remaja muslim. Adanya kecenderungan
fanatisme dalam diri para penggemar membuat mereka cenderung di mengikuti apa yang idola mereka lakukan,
terlepas dari benar atau salah. Akibatnya, saat idola mereka bertingkah
negatif, para penggemar pun ikut-ikutan bertingkah negatif. Ketika para idola
mereka berpacaran, hampir bisa dipastikan para penggemarnya juga (bagi yang
tidak patah hati gara-gara itu). Ketika idola mereka menggunakan tren pakaian
ala jahiliyah, para penggemar juga hampir pasti ikut-ikutan. Terbiasa melihat
dan mengikuti pola hidup jahiliyah, akhlak dan moral pun pada akhirnya akan
semakin turun. Islam pun hanya sebagai penghias di KTP saja. Jelas saja ini
benar-benar merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan umat Islam ke depan.
Sebab ketika remaja,yang merupakan generasi penerus umat Islam ke depannya,
sudah rusak, lantas bagaimana jadinya ketika mereka yang menjadi pemimpin di
masa depan?
Selain itu, agenda ini juga jelas
menguntungkan untuk para Kapitalis. Dengan fitur SMS Premium, ditambah ratusan
sponsor yang menyertai acara ini, jelas saja merupakan ladang uang yang subur
bagi mereka. Akhirnya, yang dapat enak ya pihak Kapitalis, sementara masyarakat
cuma dapat tontonan murahan sementara kekayaan mereka dikuras tanpa sadar.
Ini semua dilakukan dengan maksud mencegah
agar Islam bangkit lagi. Mereka tahu, jika Islam berhasil bangkit, maka
eksistensi kaum kapitalis itu akan terancam. Penjajahan mereka atas dunia bisa
terhenti sepenuhnya. Itulah mengapa mereka semua berusaha sekuat tenaga untuk
menghancurkan Islam dan kaum muslimin dari segala penjuru, termasuk dengan
Indonesian Idol ini. Maka, buat para remaja muslim yang masih ingin ikutan,
atau setidaknya menyaksikan acara ini, pikir-pikir lagi deh. Daripada kalian
dirusak dan jadi korban pembodohan para Kapitalis, ya mending jangan nonton.
Sudah waktunya bagi kita untuk menerapkan
kembali syari’at Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Sebab hanya dengan
itu saja, proyek perusakan ini bisa dihentikan secara total, bukan sekadar
himbauan belaka. Khilafah akan mencegah segala acara yang merusak akidah umat
Islam dan menguntungkan Kapitalis seperti ini. Selain itu, Khilafah juga akan
menjamin pendidikan Islam yang mengakar pada remaja muslim, sehingga membentuk
mereka men jadi muslim yang tangguh dan tidak mudah terjebak pada kegiatan yang
tidak bermanfaat dan merusak jati diri mereka sebagai muslim.
Wallahu a’lam bish shawwab[al-khilafah.org]
Rujukan:
Muhammad Shiddiq Al Jawi, 2006, Hukum Menyanyi Dan Musik, http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=158&Itemid=47
Taqiyuddin An Nabhani, 2007, Sistem Pergaulan Dalam Islam, Jakarta,
Hizbut Tahrir Indonesia
Tidak ada komentar