Header Ads

Pembunuhan Karakter FPI dibalik pembubaran Kajian Irshad Mandji di Teater Salihara Jakarta Selatan

Ini gerakan perlawanan, ini seperti apa yang dikatakan sebuah band Rage Againts The Machine dalam sebuah lagunya “We Don’t Need The Key. We’ll Break in!”. Itulah yang terjadi Jum’at malam (04/05/2012) dalam diskusi buku Irshad Mandji “Allah Liberty And Love” ini di Teater Salihara Jakarta Selatan terpaksa dibubarkan.



Akselerasi generasi muda Islam yang berkordinasi secara kolektif untuk menghentikan acara berhasil dilakukan tanpa melanggar prosedur hukum. Adalah Iqbal atau yang lebih dikenal sebagai Aqse Syahid, salah satu kordinator gerakan mengatakan kondisi panas yang terjadi antara masa penentang kegiatan ini dan para peserta dikarenakan provokasi dari pihak peserta yang menyahuti nyahuti kehadiran Kompol Adri Desas Furyanto dari pihak Polsek Pasar Minggu yang meminta acara dihentikan karena keberatan warga atas kehadiran Irshad Madjid di kampong mereka.

“Kitakan udah datang baik – baik, dari awal kita udah peringatkan bahwa Irshad ini tokoh lesbian yang mengajarkan liberalism dan merusak agama dan jati diri bangsa. Mana buktinya kita melakukan perusakan? Kita mengikuti prosedur. Gue justru bingung masa pihak kepolisian minta acara diberhentikan malah disorak sorakin begitu” Jelas Aqse kepada UndergroundTauhid.com

Foto – foto Aqse sendiri berkeliaran di beberapa portal berita internet yang mengatakan bahwa beliau adalah utusan Front Pembela Islam (FPI) faktanya tidak benar. Karena Aqse sendiri lebih dikenal sebagai aktivis yang banyak melakukan diskusi dunia maya, dan rutin berdakwah lewat mengkounter pemikiran pemikiran liberal baik lewat twitter maupun facebook dan tidak memiliki sangkut paut dengan FPI.

“Gue datang atas nama warga, ini kampong gue, dan warga ngak suka ada ajaran yang merusak agama kite dibiarkan bebas di kampung ini, jadi ngak usah sebut sebut ormas tertentu disini. Karena ini kerja kolektif yang sudah terkordinasi lama dan sesuai prosedur yang ada di Indonesia sebagai negara hukum” Jelasnya

Aqse sendiri dalam beberapa foto yang disebarluaskan juga ada yang mengatakan beliau sedang berdebat dengan Polisi, padahal kenyataannya beliau marah karena lebih dulu dicaci maki oleh peserta kajian tersebut.

FPI kembali jadi kambing hitam

FPI sendiri kembali jadi kambing hitam di media – media internet. Tidak sedikit portal berita yang memprovokasi pembaca mengatakan bahwa FPI berada dibalik pembubaran kegiatan bedah buku Irshad Mandji ini. Padahal yang terjadi adalah pembubaran itu terjadi atas inisiatif warga.

Kompol Adri Desas Furyanto sendiri mengatakan bahwa banyak SMS masuk dari warga yang meminta acara itu dihentikan. Warga juga tahu bahwa Salihara yang izinnya ingin mendirikan tempat teater, namun tiba-tiba kerap melaksanakan diskusi-diskusi liberal hingga Festival Film Homoseks.

Banyak berita foto yang dishare dengan sangat subjektif dan jelas tendensius. Salah satunya foto Ustadz Abdurrahman salah satu perwakilan warga yang hadir memfasilitasi agar konflik bisa reda tanpa adanya chaos dari masyarakat, justru diberitakan didepan peserta diskusi yang ditulis sedang “Berdebat”. Padahal yang terjadi adalah beliau meminta peserta (yang seorang pemuda) untuk bicara sopan kepada salah seorang tua yang dihardiknya, yang tidak ada lain adalah aparat setempat.

“Semua orang jelas marah dong, masa orang tua udah gitu aparat dihujat – hujat begitu. Kapolsek lagi, itukan pelanggaran hukum karena melecehkan aparat negara, dibilangin baik baik malah ngeyel” Jelas Aqse

Pada akhirnya, ruangan – ruangan aspirasi yang terus diacuhkan tentu akan melahirkan semakin banyak perlawanan. Sah – sah saja kalau kelompok liberal juga merasa di ‘dzalimi’ dengan aksi pembubaran ini. Tapi aktivis sejenis Aqse juga memiliki hak untuk mentafsirkan apapun kebebasa berpendapat. Sama dengan Irshad dengan gagasan gagasan kebebasannya, begitu pula dengan hak berpendapat orang – orang seperti Aqse.

Masalahnya adalah ketika kebenaran itu begitu sulit untuk diterjemahkan oleh liberal secara absolut, maka menyebarkan sebuah berita dengan kepalsuan cerita adalah bukti bahwa kebatilan sesungguhnya sedang berkamuflase, maka tidak akan pernah ada kebenaran diatas ketidakjujuran. Sejujur suara hati mereka yang meminta acara ini dibatalkan, atau sedusta mereka yang berharap simpati dengan menyebarkan berita palsu tentang apa yang terjadi dilapangan sambil mengkambing hitamkan FPI dan sebagainya.

Percayalah walau kebatilan akan selalu mudah bersatu, pada faktanya kebenaran akan selalu menang tanpa membutuhkan sekutu. Begitulah kebenaran sejati tidak pernah takut pada investigasi. Malam ini, pintu masuk memang telah didobrak setelah kuncinya tak kunjung diberikan walaupun telah berulang kali diminta secara santun. Kegiatan yang juga dihadiri tokoh – tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Absar Abdallah, Saidiman, Guntur Romli hingga Gunawan Moehammad akhirnya membuat kami harus menutup berita ini dengan sebuah kalimat sederhana “Media Independent Itu Cuma Ada Di Dalam Komik!”

Foto : Aqse Syahid yang disinyalir anggota FPI ternyata cuma warga biasa dan tidak mewakili ormas manapun sedang bersikap tegas kepada seorang peserta mengejeknya dengan kata – kata yang tidak pantas. Di beberapa berita lainnya dijelaskan beliau sedang menantang polisi padahal tidak seperti itu fakta sebenarnya. Aqse justru sangat menghormati pihak kepolisian dan membelanya. [undergroundtauhid/al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.