Header Ads

Muslim India Dipenjarakan Secara Diskriminatif

Muslim India penghuni penjara di Maharashtra dikabarkan telah mencapai 36% dari jumlah narapidana yang ada. Padahal Muslim merupakan kelompok minoritas di negara bagian itu.
 
Dilansir The Times of India (3/6/2012), berdasarkan survei tahun 2001 oleh lembaga pemerintah Komisi Minoritas, jumlah penduduk Muslim Mharashtra mencapai 10,6% dari total populasi, dengan jumlah penghuni penjara mencapai 32,4% dari total populasi penjara. Kini jumlah Muslim penghuni penjara mencapai 36%.


Tingginya angka Muslim penghuni penjara tersebut dikonfirmasi dua ilmuwan, yaitu Dr Vijay Raghvan dan Roshni Nair dari Centre for Criminology and Justice di Tata Institute of Social Sciences (TISS).

Tingginya angka tersebut tidak lepas dari diskriminasi yang diterima oleh Muslim India yang harus hidup di tengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu.


Sebuah sumber mengatakan, pertama kali saat TISS akan menghitung jumlah Muslim yang ada di penjara, mereka mendapat halangan dari petugas di Mantralaya, yang tidak memperbolehkan tim TISS untuk melakukan perhitungan dan mewawancarai penghuni Muslim.


Namun setelah Komisi Minoritas dan TISS mendesak, akhirnya pihak Mantralaya memperbolehkan dengan syarat bahwa pernyataan yang akan diajukan harus diperiksa terlebih dahulu.


“Mereka menghapus pertanyaan-pertanyaan terkait dugaan adanya penganiayaan dan diskriminasi oleh polisi,” kata sumber itu.


Akibatnya, TISS yang mewawancarai 339 Muslim di 15 penjara tidak berhasil mendapatkan laporan legkap mengenai kondisi mereka.


Raghvan dan pengacara pidana senior Majid Memon menegaskan bahwa Muslim yang berada di penjara mengetahui adanya Prohibition of Offenders Act 1958, yang memungkin para pelanggar kasus ringan tidak selalu harus langsung dijebloskan ke penjara. Seperti kasus aktor John Abraham yang dibebaskan dan mendapat masa percobaan dalam kasus mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi.


“Hanya jika dia terbukti bersalah mengulangi pelanggarannya maka orang itu baru dihukum penjara,” jelas Memon.


Hasil penelitian Raghvan menunjukkan, seharusnya sebagian besar Muslim tersebut tidak perlu masuk penjara, karena pelanggaran yang mereka lakukan kecil. Menurut Raghvan, 75,5% Muslim dipenjara untuk pertama kalinya dan hanya 24,5% yang lebih dari satu kali.


“Ini menunjukkan bahwa mayoritas reponden bukan pelaku kriminal karir,” tulis hasil laporan penelitian Raghvan.


“Kami menemukan bahwa lebih dari 30% (Muslim) penghuni penjara tidak diperbolehkan berbicara dengan keluarganya pada saat pertama kali ditahan. Ini melanggar hak tersangka,” tegas Raghvan.


Dr Raghvan enggan mendiskusikan lebih lanjut mengenai diskriminasi yang diterima warga Muslim. Namun, pengakuan salah seorang Muslim penghuni penjara kepada tim peneliti membuktikan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh aparat India.


“Saya berusaha memulai hidup baru. Setiap kali saya mulai bekerja, polisi selalu menangkap saya dengan tuduhan satu diikuti tuduhan lainnya. Mereka juga meminta uang dari saya. Mereka yang bisa membayar dibebaskan. Polisi sangat berkuasa dan bisa melakukan apa saja,” kata Sajid, seorang Muslim yang memiliki catatan kriminal.


Aktivis HAM Shabnam Hashmi memiliki contoh diskriminasi polisi India atas Muslim lainnya. Bilal Shaikh, penduduk Kaylan, harus menderita patah tulang pada lengan kanannya, setelah diserang polisi dengan alasan “berdebat” dengan petugas saat melanggar lampu lalulintas. Shaikh harus dipenjara empat hari dan tidak dapat bebas dengan membayar uang jaminan. Sementara empat polisi yang menghajarnya langsung dibebaskan, dengan alasan tindakan brutal yang dilakukan para petugas itu tidak termasuk pelanggaran yang harus dimasukkan dalam FIR [First Information Report sistem pelaporan kasus yang dipakai oleh polisi India dan beberapa negara lain].


“Ini menunjukkan bias yang nyata oleh polisi terhadap Muslim yang melakukan pelanggaran,” kata Hashmi.
Muslim yang menjadi penghuni penjara sejalan dengan pendapat Hashmi. Dalam laporan TISS tentang Muslim penghuni penjara disebutkan, “Mereka memandang polisi sebagai sistem yang tidak adil yang menggunakan cara-cara tidak jujur dalam melaksanakan tugasnya.” [hidayatullah/al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.