Kritik Terhadap Multiakad ('Uqud Murakkabah, Hybrid Contract)
KRITIK TERHADAP MULTIAKAD (‘UQUD MURAKKABAH, HYBRID CONTRACT)*
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**
Pengertian Multiakad
Istilah multiakad (hybrid contract) adalah terjemahan bahasa Indonesia dari istilah-istilah aslinya dalam bahasa Arab, yaitu : al-‘uqud al-murakkabah, al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah, al-jam’u bayna al-‘uqud, damju al-‘uqud. Istilah al-‘uqud al-murakkabah digunakan oleh Nazih Hammad dalam kitabnya Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7. Istilah al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah digunakan oleh Abdullah al-’Imrani dalam kitabnya Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46. Istilah al-jam’u bayna al-‘uqud digunakan oleh AAOIFI dalam kitab Al Maa’yir Al Syar’iyyah / Shariah Standards, edisi 2010, hlm. 347. Sedangkan istilah damju al-‘uqud digunakan oleh Ismail Syandi dalam kitabnya Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 17-18.
Istilah multiakad menurut penggagasnya didefinisikan sebagai kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dan seterusnya, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Lihat : Nazih Hammad, Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7; Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46).
Aplikasi multiakad pada lembaga keuangan syariah cukup banyak dan beranekaragam. Di antaranya di bank syariah ada yang namanya akad Al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale). Akad ini melibatkan tiga pihak, yaitu pembeli, lembaga keuangan, dan penjual. Prosesnya : (1) pembeli (nasabah) memohon lembaga keuangan membeli barang, mis sepeda motor, (2) lalu lembaga keuangan membeli barang dari penjual (dealer motor) secara kontan, (3) lalu lembaga keuangan menjual lagi barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi, baik secara kontan, angsuran, atau bertempo. (Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hlm.107; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 412).
Pada Murabahah KPP ini terdapat dua akad yang digabungkan; Pertama, akad jual beli antara lembaga keuangan dengan penjual (dealer motor). Kedua, akad jual beli antara lembaga keuangan dengan pembeli (nasabah). Kedua akad ini digabungkan menjadi satu akad dalam sebuah multiakad yang diberi nama Murabahah KPP (yang sering disingkat Murabahah saja).
Perlu diberi catatan di sini, bahwa akad Murabahah KPP ini tidak sama persis dengan akad murabahah yang asli, yaitu jual beli pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan pembeli. Jadi dalam Murabahah asli hanya ada dua pihak, yaitu penjual dan pembeli, sedang Murabahah di bank syariah ada tiga pihak, yaitu penjual, pembeli, dan lembaga keuangan syariah. (Shalah Ash-Shawi & Abdullah Mushlih, Maa Laa Yasa'u At-Tajiru Jahlahu, hlm. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bai' fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 15; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 399 dst).
Contoh lain aplikasi multiakad adalah akad pembiayaan talangan haji, yang menggabungkan akad qardh (utang piutang) dengan akad ijarah (jasa pengurusan haji). Juga akad gadai syariah yang menggabungkan akad rahn (gadai) dengan akad ijarah (jasa penitipan barang gadai). Contoh lain adalah akad asuransi syariah, yang menggabungkan akad hibah (tabarru’) dengan akad ijarah (jasa pengelolaan dana premi asuransi), atau kadang digabung lagi dengan akad ketiga yaitu akad syirkah mudharabah. Contoh lain lagi adalah akad leasing syariah, atau IMBT (Ijarah Muntahiyah bi Tamlik), yang menggabungkan akad ijarah (sewa aset) dengan akad hibah atau jual beli aset pada akhir akad. Pendek kata, aplikasi multiakad memang cukup banyak dan beranekaragam dalam muamalah kontemporer.
Hukum Multiakad
Terdapat khilafiyah (perbeda pendapat) di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya multiakad. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat Imam Asy-hab dari mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masa`il Al Iltizam, hlm. 353), juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dari mazhab Hambali (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, 29/132), dan pendapat Imam At Tasuli, dalam kitabnya Al Bahjah, 2/14.
Dalil pendapat pertama ini antara lain kaidah fiqih yang berbunyi :
"Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya."
Berdasarkan kaidah ini, penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak dalil yang melarangnya. Adapun nash-nash yang secara zhahir melarang penggabungan dua akad, tidak dipahami sebagai larangan mutlak, melainkan larangan karena disertai unsur keharaman (mahzhurat), seperti gharar (ketidakpastian), riba, dan sebagainya. (Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).
Kedua, pendapat yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanafi (Al-Marghinani, Al-Hidayah, 3/53), dan pendapat ulama mazhab Syafi’i (As-Syarbaini, Mughni Al-Muhtaj, 2/42). Pendapat ini juga merupakan satu versi pendapat (riwayat) ulama mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masa`il Al Iltizam, hlm. 353), dan satu versi pendapat (riwayat) dari dua pendapat dalam mazhab Hambali (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 5/54). (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).
Dalil pendapat kedua ini adalah hadis-hadis yang melarang dua syarat atau dua akad. Antara lain adalah hadis Hakim bin Hizam RA, dia berkata :
"Nabi SAW telah melarangku dari empat macam jual beli, yaitu (1) menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, (2) dua syarat dalam satu jual beli, (3) menjual apa yang tidak ada di sisimu, (4) mengambil laba dari apa yang kamu tak menjamin [kerugiannya]" (HR Thabrani).
Dalil lainnya adalah hadis bahwa :
"Nabi SAW telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli." (HR Tirmidzi, hadis sahih)
Juga hadis bahwa Nabi SAW bersabda :
"Tidak halal menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, juga tak halal adanya dua syarat dalam satu jual beli." (HR Abu Dawud, hadis hasan sahih)
Juga hadis Ibnu Mas’ud RA bahwa :
"Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad]." (HR Ahmad, hadis sahih)
Hadis-hadis di atas telah menunjukkan adanya larangan penggabungan (ijtima’) lebih dari satu akad ke dalam satu akad. (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 19; Taqiyuddin Nabhani, As-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/308).
Tarjih
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang kuat (rajih) menurut kami adalah pendapat kedua, yaitu pendapat yang mengharamkan multiakad. Alasan pentarjihannya adalah sebagai berikut : Pertama, telah terdapat dalil-dalil hadis yang dengan jelas melarang penggabungan dua akad atau lebih ke dalam satu akad. Di antaranya adalah hadis Ibnu Mas’ud RA bahwa :
"Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad]." (HR Ahmad, hadis sahih)
Imam Taqiyuddin An Nabhani, menjelaskan bahwa yang dimaksud dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah wahidah) dalam hadis itu, artinya adalah adanya dua akad dalam satu akad. Misal menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/308).
Kedua, kaidah fiqih yang dipakai pendapat yang membolehkan, yaitu al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah tidak tepat. Karena ditinjau dari asal usul kaidah itu, kaidah fiqih tersebut sebenarnya cabang dari (atau lahir dari) kaidah fiqih lain yaitu :
"Hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan."
Padahal kaidah fiqih tersebut (al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah), hanya berlaku untuk benda (materi), tidak dapat diberlakukan pada muamalah. Sebab muamalah bukan benda, melainkan serangkaian aktivitas manusia. Mengapa dikatakan bahwa kaidah tersebut hanya berlaku untuk benda? Sebab nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah : 29) berbicara tentang hukum benda (materi), misalnya hewan atau tumbuhan, bukan berbicara tentang mu’amalah seperti jual beli.
Ketiga, kaidah fiqih al-ashlu fil muamalat al-ibahah juga bertentangan dengan nash syara’ sehingga tidak boleh diamalkan. Nash syara’ yang dimaksud adalah hadits-hadis Nabi SAW yang menunjukkan bahwa para sahabat selalu bertanya lebih dahulu kepada Rasulullah SAW dalam muamalah mereka. Kalau benar hukum asal muamalah itu boleh, tentu para shahabat akan langsung beramal dan tak perlu bertanya kepada Rasulullah SAW.
Sebagai contoh, perhatikan hadits yang menunjukkan sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebagai berikut :
Dari Hakim bin Hizam RA, dia berkata,"Aku bertanya,’Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku dan yang haram bagiku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjualnya lagi hingga kamu menerima barang itu." (HR Ahmad).
Dalam hadis di atas jelas sekali bahwa sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebelum berbuat. Andaikata benar hukum asal muamalah itu boleh, tentunya sahabat tersebut langsung saja melakukan muamalah dan tidak usah repot-repot bertanya kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian hadis Hakim bin Hizam RA ini dengan jelas menunjukkan bahwa kaidah al-ashlu fi al muamalat al-ibahah adalah kaidah yang batil.
Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa penggabungan akad (multiakad) hanya haram jika disertai unsur keharaman, tidak dapat diterima. Sebab dalil-dalil yang melarang penggabungan akad bersifat mutlak. Artinya, baik disertai unsur keharaman maupun tidak, penggabungan akad itu tetap haram. Perhatikan misalnya hadis Ibnu Mas’ud RA :
"Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad]." (HR Ahmad, hadis sahih).
Nash di atas mengungkapkan lafal shafqataini fi shaqah wahidah (dua kesepakatan dalam satu kesepakatan) secara mutlak, yakni tanpa disertai batasan atau sifat tertentu, misalnya kesepakatan yang disertai hal-hal yang haram. Jadi yang dilarang adalah penggabungan akad, secara mutlak. Tanpa melihat lagi apakah penggabungan akad ini disertai keharaman atau tidak.
Pemahaman nash yang demikian itu didasarkan pada kaidah ushul fiqih yang menyebutkan : al-muthlaqu yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil at-taqyid (lafal mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 1/208).
Dalam hal ini tidak terdapat nash yang memberikan taqyid (batasan) pada kemutlakan nash-nash tersebut, sehingga dengan demikian penggabungan akad secara mutlak adalah haram baik disertai unsur keharaman atau tidak.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua kesimpulan. Pertama, multiakad merupakan masalah khilafiyah. Ada sebagian ulama yang membolehkannya, sedang jumhur (mayoritas) ulama mengharamkannya. Kedua, pendapat yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan multiakad. Wallahu a’lam.
= = = =
*Makalah disampaikan dalam Halqah Syahriyah, diselenggarakan oleh DPC Hizbut Tahrir Indonesia Kraton DIY, di Masjid Ngadinegaran, Mantrijeron, Yogyakarta, Ahad, 15 Juli 2012.
**DPP HTI, Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**
Pengertian Multiakad
Istilah multiakad (hybrid contract) adalah terjemahan bahasa Indonesia dari istilah-istilah aslinya dalam bahasa Arab, yaitu : al-‘uqud al-murakkabah, al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah, al-jam’u bayna al-‘uqud, damju al-‘uqud. Istilah al-‘uqud al-murakkabah digunakan oleh Nazih Hammad dalam kitabnya Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7. Istilah al-‘uqud al-maliyah al-murakkabah digunakan oleh Abdullah al-’Imrani dalam kitabnya Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46. Istilah al-jam’u bayna al-‘uqud digunakan oleh AAOIFI dalam kitab Al Maa’yir Al Syar’iyyah / Shariah Standards, edisi 2010, hlm. 347. Sedangkan istilah damju al-‘uqud digunakan oleh Ismail Syandi dalam kitabnya Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 17-18.
Istilah multiakad menurut penggagasnya didefinisikan sebagai kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah dan seterusnya, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad. (Lihat : Nazih Hammad, Al-’Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 7; Abdullah al-’Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 46).
Aplikasi multiakad pada lembaga keuangan syariah cukup banyak dan beranekaragam. Di antaranya di bank syariah ada yang namanya akad Al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan Pembelian]/Deferred Payment Sale). Akad ini melibatkan tiga pihak, yaitu pembeli, lembaga keuangan, dan penjual. Prosesnya : (1) pembeli (nasabah) memohon lembaga keuangan membeli barang, mis sepeda motor, (2) lalu lembaga keuangan membeli barang dari penjual (dealer motor) secara kontan, (3) lalu lembaga keuangan menjual lagi barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi, baik secara kontan, angsuran, atau bertempo. (Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, hlm.107; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 412).
Pada Murabahah KPP ini terdapat dua akad yang digabungkan; Pertama, akad jual beli antara lembaga keuangan dengan penjual (dealer motor). Kedua, akad jual beli antara lembaga keuangan dengan pembeli (nasabah). Kedua akad ini digabungkan menjadi satu akad dalam sebuah multiakad yang diberi nama Murabahah KPP (yang sering disingkat Murabahah saja).
Perlu diberi catatan di sini, bahwa akad Murabahah KPP ini tidak sama persis dengan akad murabahah yang asli, yaitu jual beli pada harga modal (pokok) dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan pembeli. Jadi dalam Murabahah asli hanya ada dua pihak, yaitu penjual dan pembeli, sedang Murabahah di bank syariah ada tiga pihak, yaitu penjual, pembeli, dan lembaga keuangan syariah. (Shalah Ash-Shawi & Abdullah Mushlih, Maa Laa Yasa'u At-Tajiru Jahlahu, hlm. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bai' fi Al-Fiqh Al-Islami, hal. 15; Ayid Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hlm. 399 dst).
Contoh lain aplikasi multiakad adalah akad pembiayaan talangan haji, yang menggabungkan akad qardh (utang piutang) dengan akad ijarah (jasa pengurusan haji). Juga akad gadai syariah yang menggabungkan akad rahn (gadai) dengan akad ijarah (jasa penitipan barang gadai). Contoh lain adalah akad asuransi syariah, yang menggabungkan akad hibah (tabarru’) dengan akad ijarah (jasa pengelolaan dana premi asuransi), atau kadang digabung lagi dengan akad ketiga yaitu akad syirkah mudharabah. Contoh lain lagi adalah akad leasing syariah, atau IMBT (Ijarah Muntahiyah bi Tamlik), yang menggabungkan akad ijarah (sewa aset) dengan akad hibah atau jual beli aset pada akhir akad. Pendek kata, aplikasi multiakad memang cukup banyak dan beranekaragam dalam muamalah kontemporer.
Hukum Multiakad
Terdapat khilafiyah (perbeda pendapat) di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya multiakad. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat Imam Asy-hab dari mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masa`il Al Iltizam, hlm. 353), juga pendapat Imam Ibnu Taimiyah dari mazhab Hambali (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, 29/132), dan pendapat Imam At Tasuli, dalam kitabnya Al Bahjah, 2/14.
Dalil pendapat pertama ini antara lain kaidah fiqih yang berbunyi :
الأصل في المعاملات الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
"Hukum asal muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya."
Berdasarkan kaidah ini, penggabungan dua akad atau lebih dibolehkan karena tidak dalil yang melarangnya. Adapun nash-nash yang secara zhahir melarang penggabungan dua akad, tidak dipahami sebagai larangan mutlak, melainkan larangan karena disertai unsur keharaman (mahzhurat), seperti gharar (ketidakpastian), riba, dan sebagainya. (Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).
Kedua, pendapat yang mengharamkannya. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Ini adalah pendapat ulama mazhab Hanafi (Al-Marghinani, Al-Hidayah, 3/53), dan pendapat ulama mazhab Syafi’i (As-Syarbaini, Mughni Al-Muhtaj, 2/42). Pendapat ini juga merupakan satu versi pendapat (riwayat) ulama mazhab Maliki (Hithab, Tahrirul Kalam fi Masa`il Al Iltizam, hlm. 353), dan satu versi pendapat (riwayat) dari dua pendapat dalam mazhab Hambali (Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, 5/54). (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 18).
Dalil pendapat kedua ini adalah hadis-hadis yang melarang dua syarat atau dua akad. Antara lain adalah hadis Hakim bin Hizam RA, dia berkata :
نهاني رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أربع خصال في البيع عن سلف وبيع، وشرطين في بيع، وبيع ما ليس عندك، وربح ما لم تضمن
"Nabi SAW telah melarangku dari empat macam jual beli, yaitu (1) menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, (2) dua syarat dalam satu jual beli, (3) menjual apa yang tidak ada di sisimu, (4) mengambil laba dari apa yang kamu tak menjamin [kerugiannya]" (HR Thabrani).
Dalil lainnya adalah hadis bahwa :
نهى عن بيعتين في بيعة
"Nabi SAW telah melarang adanya dua jual beli dalam satu jual beli." (HR Tirmidzi, hadis sahih)
Juga hadis bahwa Nabi SAW bersabda :
لا يحل سلف وبيع، ولا شرطان في بيع
"Tidak halal menggabungkan salaf (jual beli salam/pesan) dan jual beli, juga tak halal adanya dua syarat dalam satu jual beli." (HR Abu Dawud, hadis hasan sahih)
Juga hadis Ibnu Mas’ud RA bahwa :
نهى عن صفقتين في صفقة واحدة
"Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad]." (HR Ahmad, hadis sahih)
Hadis-hadis di atas telah menunjukkan adanya larangan penggabungan (ijtima’) lebih dari satu akad ke dalam satu akad. (Lihat Ismail Syandi, Al-Musyarakah Al-Mutanaqishah, hlm. 19; Taqiyuddin Nabhani, As-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/308).
Tarjih
Dari dua pendapat di atas, pendapat yang kuat (rajih) menurut kami adalah pendapat kedua, yaitu pendapat yang mengharamkan multiakad. Alasan pentarjihannya adalah sebagai berikut : Pertama, telah terdapat dalil-dalil hadis yang dengan jelas melarang penggabungan dua akad atau lebih ke dalam satu akad. Di antaranya adalah hadis Ibnu Mas’ud RA bahwa :
نهى عن صفقتين في صفقة واحدة
"Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad]." (HR Ahmad, hadis sahih)
Imam Taqiyuddin An Nabhani, menjelaskan bahwa yang dimaksud dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fi shafqah wahidah) dalam hadis itu, artinya adalah adanya dua akad dalam satu akad. Misal menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad, atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah al-Islamiyah, 2/308).
Kedua, kaidah fiqih yang dipakai pendapat yang membolehkan, yaitu al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah tidak tepat. Karena ditinjau dari asal usul kaidah itu, kaidah fiqih tersebut sebenarnya cabang dari (atau lahir dari) kaidah fiqih lain yaitu :
الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يرد دليل التحريم
"Hukum asal segala sesuatu adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan."
Padahal kaidah fiqih tersebut (al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah), hanya berlaku untuk benda (materi), tidak dapat diberlakukan pada muamalah. Sebab muamalah bukan benda, melainkan serangkaian aktivitas manusia. Mengapa dikatakan bahwa kaidah tersebut hanya berlaku untuk benda? Sebab nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah : 29) berbicara tentang hukum benda (materi), misalnya hewan atau tumbuhan, bukan berbicara tentang mu’amalah seperti jual beli.
Ketiga, kaidah fiqih al-ashlu fil muamalat al-ibahah juga bertentangan dengan nash syara’ sehingga tidak boleh diamalkan. Nash syara’ yang dimaksud adalah hadits-hadis Nabi SAW yang menunjukkan bahwa para sahabat selalu bertanya lebih dahulu kepada Rasulullah SAW dalam muamalah mereka. Kalau benar hukum asal muamalah itu boleh, tentu para shahabat akan langsung beramal dan tak perlu bertanya kepada Rasulullah SAW.
Sebagai contoh, perhatikan hadits yang menunjukkan sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebagai berikut :
عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أنه قال قلت يا رسول الله إني أشتري بيوعاً فما يحل لي منها وما يحرم عَلي قال
: فإذا اشتريت بيعاً فلا تبعه حتى تقبضه
: فإذا اشتريت بيعاً فلا تبعه حتى تقبضه
Dari Hakim bin Hizam RA, dia berkata,"Aku bertanya,’Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku banyak melakukan jual beli, apa yang halal bagiku dan yang haram bagiku?’ Rasulullah SAW menjawab,’Jika kamu membeli suatu barang, jangan kamu menjualnya lagi hingga kamu menerima barang itu." (HR Ahmad).
Dalam hadis di atas jelas sekali bahwa sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW dalam masalah muamalah sebelum berbuat. Andaikata benar hukum asal muamalah itu boleh, tentunya sahabat tersebut langsung saja melakukan muamalah dan tidak usah repot-repot bertanya kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian hadis Hakim bin Hizam RA ini dengan jelas menunjukkan bahwa kaidah al-ashlu fi al muamalat al-ibahah adalah kaidah yang batil.
Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa penggabungan akad (multiakad) hanya haram jika disertai unsur keharaman, tidak dapat diterima. Sebab dalil-dalil yang melarang penggabungan akad bersifat mutlak. Artinya, baik disertai unsur keharaman maupun tidak, penggabungan akad itu tetap haram. Perhatikan misalnya hadis Ibnu Mas’ud RA :
نهى عن صفقتين في صفقة واحدة
"Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan [akad] dalam satu kesepakatan [akad]." (HR Ahmad, hadis sahih).
Nash di atas mengungkapkan lafal shafqataini fi shaqah wahidah (dua kesepakatan dalam satu kesepakatan) secara mutlak, yakni tanpa disertai batasan atau sifat tertentu, misalnya kesepakatan yang disertai hal-hal yang haram. Jadi yang dilarang adalah penggabungan akad, secara mutlak. Tanpa melihat lagi apakah penggabungan akad ini disertai keharaman atau tidak.
Pemahaman nash yang demikian itu didasarkan pada kaidah ushul fiqih yang menyebutkan : al-muthlaqu yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil at-taqyid (lafal mutlak tetap dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang membatasinya). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 1/208).
Dalam hal ini tidak terdapat nash yang memberikan taqyid (batasan) pada kemutlakan nash-nash tersebut, sehingga dengan demikian penggabungan akad secara mutlak adalah haram baik disertai unsur keharaman atau tidak.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua kesimpulan. Pertama, multiakad merupakan masalah khilafiyah. Ada sebagian ulama yang membolehkannya, sedang jumhur (mayoritas) ulama mengharamkannya. Kedua, pendapat yang rajih (kuat) menurut kami adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan multiakad. Wallahu a’lam.
= = = =
*Makalah disampaikan dalam Halqah Syahriyah, diselenggarakan oleh DPC Hizbut Tahrir Indonesia Kraton DIY, di Masjid Ngadinegaran, Mantrijeron, Yogyakarta, Ahad, 15 Juli 2012.
**DPP HTI, Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.
Tidak ada komentar