Header Ads

Belajar Sejarah Untuk Membuat Sejarah

BELAJAR SEJARAH UNTUK MEMBUAT SEJARAH*

Oleh: Yuana Tri Utomo, MSI**

PENGANTAR

Generasi sekarang tidak pernah mengalami dan menyaksikan daulah Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Begitu pula generasi yang hidup pada masa-masa menjelang keruntuhan Khilafah Utsmaniyah (seiring dengan revolusi Industri di Barat) pada tanggal 24 Maret 1924 yang lalu. Mereka hanya dapat menyaksikan cuilan dari sisa-sisa negara adidaya pada masanya. Karena itu sulit bagi seorang muslim sekarang ini untuk bisa menggambarkan secara jelas kemajuan sejarah dalam seluruh aspek kehidupannya, sama sulitnya mendapatkan gambaran fakta yang sebenarnya tentang kondisi perekonomian, sistem budaya, sistem pemerintahan dan lain-lain sehingga gambaran-gambaran itu dapat disimpan dalam benak mereka.


Demikian tadi terjadi karena pola berfikir kaum muslimin sekarang terbelenggu oleh pola berfikir gaya Barat yang notabene dia telah meruntuhkan daulah Islam dengan berbagai konspirasi keji penjajahan yang mereka lakukan kepada Islam dan umatnya melalui tangan keturunan Yahudi, Kemal Attaturk dengan menikamkan senjata beracun ke tubuh daulah Islam sampai tersungkur mematikan. Racun pemikiran barat itu berupa tsaqofah-tsaqofah yang berakar dari ajaran pemisahan agama dari kehidupan (fashlu ad-diini ‘anil hayati), seperti: penggambaran setiap transisi kekuasaan di “ke-kaisar-an” Islam selalu dengan cara berdarah-darah, melalui perebutan kekuasaan yang anarkhis, raja seumur hidup, dan lain-lain.

Kaum muslimin telah lupa tentang bahaya tsaqofah ini, sehingga ketika mereka ditanya tentang bagaimana bentuk pemerintahan Islam (misalnya), mereka tidak bisa menjawab kecuali dengan kaca mata demokrasi. Ketika mereka ditanya tentang bagaimana sistem perekonomian Islam, mereka tidak bisa menjawab kecuali dengan kaca mata kapitalisme. Bahkan, mereka latah menyuarakan gagasan-gagasan baru yang tidak dikenal di masa nenek moyang mereka, seperti HAM, radikalisme-moderatisme, nasionalisme, dan isme-isme yang lain. 

BELAJAR SEJARAH

Dari uraian pengantar diatas, menjadi penting bagi kaum muslimin untuk mengetahui sejarah mereka. Bahwa nenek moyang mereka dulu adalah para intelektual seperti al-Khawarizmy, Ibnu Sina, dan lain sebagainya harus bisa mereka ketahui. Bahwa nenek moyang mereka dulu adalah para pemberani seperti Salahuddin al-Ayubi, Muh. al-Fatih dan lain sebagainya juga harus bisa mereka ketahui. Mereka pernah memiliki peradaban yang cemerlang yang lahir darinya tokoh-tokoh kaliber Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan bahkan hampir 2/3 dunia menjadi bagian dari wilayah mereka. Mereka adalah pewaris dari kejayaan Islam itu. 

Lalu bagaimana mereka akan mewarisi kejayaan tersebut jika mereka lalai dengan kejayaan-kejayaan itu? Maka “JAS MERAH” menjadi penting untuk bisa kembali berkuasa mewarisi peradaban mulia, jangan sampai melupakan sejarah. Untuk itu penting diketahui tentang sejarah itu sendiri apa? Antara siroh dan tarekh? Kalau siroh adalah sejarah tentang kehidupan, misalnya Siroh Rasulullah saw yaitu sejarah kehidupan Rasulullah saw dari sejak kelahirannya, masa pertumbuhannya, masa kenabian sampai wafatnya beliau saw. Sedangkan tarikh, yaitu perspektif tentang siroh, dengan kata lain tarikh adalah siroh yang sudah dipersepsikan. Misalnya sejarah Pangeran Diponegoro, menurut bangsa Indonesia dia adalah pahlawan nasional, tapi menurut penjajah Belanda, dia adalah pemberontak.

Bagaimana seharusnya kaum muslimin mendapatkan sejarah mereka? Maka mereka harus tahu; sejarah yang dimaksudkan itu masuk dalam kategori siroh atau tarikh yang terkait dengan ini yaitu ilmu atau tsaqafah? Kalau ilmu bersifat universal untuk seluruh umat manusia didapat dengan tela-ah, eksperimen dengan metode ilmiah yang ada. Sementara kalau sejarah itu terkait dengan tarikh yang tentu tidak bisa dilepaskan dari tsaqafah maka ini ada pengaruhnya dengan pandangan hidup tertentu, sehingga tidak bersifat universal untuk seluruh umat melainkan dinisbatkan kepada umat tertentu yang memiliki ciri khas yang berbeda dengan umat yang lain. Cara mendapatkan tsaqafah ini melalui sebuah proses yang biasa disebut oleh kalangan ulama dengan istilah talaqqiyan fikriyan seperti hadits, fiqh, dan tsaqafah-tsaqafah Islam yang lain.

MEMBANGUN SEJARAH

Sejarah akan berulang. Kalimat ini mungkin ada benarnya, sebab kenyataan sejarah itu sendiri adalah kehidupan yang berjalan seiring dengan zamannya masing.  Yang namanya makan, dari sejak Nabi Adam as sampai sekarang sama saja, yaitu memasukkan makanan lewat mulut kedalam perut. Hanya saja yang membedakan adalah sarana yang digunakan untuk makan itu apa? Kalau dulu mungkin tidak menggunakan sarana apa-apa, hanya tangan saja terus kemudian berkembang menggunakan serok (semacam sendok dari kayu) terus berkembang sendok dari almunium malah pakai garpu, pisau dan lain sebagainya. Intinya, secara substantif sejarah tidak berkembang yang berkembang adalah sarana-prasarana yang menyertai sejarah tersebut.

Ketika kaum muslimin ingin mengembalikan sejarah kejayaan yang dulu pernah mereka raih, maka mereka tidak boleh terjebak kepada kemajuan sarana-prasarana atau tekhnologi, sekalipun itu tekhnologi tercanggih. Kaum muslimin dalam membangun sejarahnya kembali harus ingat dan berfikir ulang tentang tsaqafah-tsaqafahnya, bahkan tentang ilmu terutama yang terkait dengan teori berfikir dalam menemukan eksistensi keimanannya.

Masa-masa kenabian dimana Rasulullah saw masih hidup adalah sejarah emas kaum muslimin dimulai. Pada saat itu pondasi sejarah dibangun oleh Rasul saw sejak beliau menerima wahyu di Goa Hira sampai beliau mendirikan negara di Madinah. Kemudian tongkat estafet sejarah dilanjutkan oleh para sahabatnya dengan yang termasyhur empat orang Kholifah: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib ridwanullahi ‘alaihim. Periode awal keemasan Islam berlangsung kurang lebih sekitar tiga puluh tahun, namun tidak berhenti disitu. Bani Umayyah melanjutkan tongkat estafet tersebut sampai Islam tersebar ke seantero penjuru dunia. Kemudian Bani Abassiyah melanjtukannya dengan fokus kepada ilmu dan saint sebagai agenda utama membangun negara. Terakhir dimasa Turki Utsmani yang berhasil menaklukkan konstantinopel dibawah Panglima Perang sekaligus kepala negara Muhammad al-Fatih.

Dengan keimanan yang produktif buah dari proses berfikir yang mustanirlah sejarah peradaban Islam akan kembali, sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad dalam kitab musnadnya nomor 17680 berikut ini: Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada.  Lalu  Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.  Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada.  Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.  Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada.  Lalu  Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.  Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada.  Selanjutnya  akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam

URGENSI BELAJAR SEJARAH

Dari uraian diatas maka bisa dimengerti bahwa belajar sejarah itu sangat penting. Paling tidak ada beberapa hal, pertama: dengan belajar sejarah kaum muslimin menjadi mengerti sejarah kejayaannya dahulu. Mereka menjadi tahu tentang siapa penemu angka nol (al-Kawarizmy), siapa penemu pesawat terbang pertama kali (bukan Wright Brother tapi Ibnu Firnas), siapa peletak pondasi ilmu-ilmu kedokteran (Ibnu Sina) dan lain-lain. Mereka juga lebih mengetahui pemikir sekaligus ulama kaliber Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Bukhori dan lain sebagainya.

Kedua: dengan belajar sejarah kaum muslimin jadi bisa membedakan mana sejarah yang obyektif dan sejarah yang telah dibelokkan karena kepentingan hipokrit penguasa. Misalnya, dengan belajar sejarah mereka menjadi tahu kalau sistem pemerintahan dalam Islam itu bukan kerajaan atau ke-kaisar-an sebagaimana yang dituduhkan kepada mereka, tetapi khilafah sekalipun pernah dalam periodenya menganut manhaj kerajaan. Mereka menjadi tahu bahwa mata uang yang digunakan dalam transaksi muamalah sejak sebelum perjanjian Bretton Wood (1944) menggunakan standar emas dan perak, apakah itu dimasa Romawi maupun Persia, lebih-lebih masa Islam.

Ketiga: dengan belajar sejarah kaum muslimin jadi berfikir ulang tentang eksistensi ke-Islam-annya.  Mereka akan mengkaji ulang tsaqafah-tsaqafah Islamiyah yang bertebaran di turats-turats klasik semisal kitab-kitab hadits, kitab Muqoddimah Ibnu Khaldun, al-Kharraj Abu Yusuf dan lain-lain sehingga dengan begitu mereka akan bangga dengan ke-Islam-annya. Mereka menjadi semakin bertakwa karena mengetahui lebih banyak perintah-perintah Allah yang akan mereka jalankan dan larangan-larangan Allah yang akan mereka tinggalkan.

Dan yang lebih penting adalah kelima, dengan belajar sejarah secara baik dan benar kaum muslimin akan bangkit kembali sebagaimana janji Allah yang tidak bisa diragukan. Jalan kebangkitan Islam sudah menghampar dihadapan mereka seiring dengan masa-masa yang mereka lalui setiap waktunya, tinggal mereka sendiri, apakah mau membuat sejarah ataukah tenggelam ditelan sejarah.

PENUTUP

Setelah mengetahui pentingnya belajar sejarah maka kini saatnya kaum muslimin membangun sejarahnya kembali.  Proses membangun sejarah kembali itu tidak akan terjadi jika tidak diiringi dengan sebuah kesadaran komunal akan eksistensi mereka selama ini dan kesiapan mereka menghadapi hari-hari pertanggungjawaban kelak di yaumil hisab. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat, dan terimakasih (wallahu a’lam).


*Makalah disampaikan dalam kajian di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta
**Penulis adalah dosen di STEI Hamfara, Yogyakarta
    Pengelola blog: yuana1453.blogspot.com
-----------------------------

Referensi:
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad, edisi Maktabah Syamela
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Akbar Media, Jakarta
Taqyuddin an-Nabhany, Syakhsiyyah Juz 1, HTI Press, Bogor, 2003
----------------------------, Daulah Islam, HTI Press, Bogor, 2002
Fahmi Amhar, Technoscience Spiritual Quotiens (TSQ) Stories, al-Azhar Press, Jakarta
Abdul Qodim Zallum, Malapetaka Runtuhnya Khilafah, al-Azhar Press, Jakarta[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.