Header Ads

Kembalikan Kekayaan Alam Milik Rakyat

Setelah UU Migas, giliran UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU itu dinilai merugikan rakyat. Sumber daya alam dikeruk sektor privat untuk kepentingan sesaat.



Dominasi asing dan privat bidang pertambangan mineral dan batubara harus dikoreksi agar substansi amanat konstitusi UUD 1945 tidak dikangkangi.

Untuk diketahui, amanat muktamar Muhammadiyah menegaskan agar PP Muhammadiyah mengajukan judicial review sejumlah undang-undang, khususnya dalam bidang ekonomi dan energi, yang setelah dikaji selama setahun oleh tim pakar diyakini merugikan negara, rakyat, serta bertentangan dengan amanat konstitusi.

Sejauh ini neoliberalisme mencekam UU pertambangan, mineral dan migas. Sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi minyak dan gas dikuasai asing. Penguasaan asing di sektor pertambangan, perkebunan, dan perikanan juga meningkat. Ironisnya, eksploitasi berlebihan terhadap alam dilakukan demi memenuhi kebutuhan konsumsi negara lain.

Batu bara sebagai misal; 82,52 persen dari 246 juta ton batu bara Indonesia diekspor. Bandingkan dengan China yang memproduksi 2.761 juta ton dan hanya mengekspor 1,7 persen. Sisanya, 98,3 persen, digunakan untuk kepentingan domestik (World Coal Institute, 2008).

Muhammadiyah bersama sejumlah ormas Islam menggugat UU Migas yang berujung pembubaran BP Migas. Selain UU Minerba, selanjutnya yang akan digugat adalah UU mengenai investasi serta UU Air dan Biotermal.

“Ini didorong komitmen Muhammadiyah terhadap negara agar berdaulat secara ekonomi, karena negara yang kaya raya sumber daya alam ini harus didayagunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Itu yang belum terjadi,” tegas Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Jumat (16/11).

Terkait pembentukan badan baru oleh pemerintah sebagai pengganti BP Migas, Din akan meminta penjelasan MK. Semua harus jelas, jangan sampai lembaga baru itu juga tidak jauh beda dari BP Migas.

Pola yang diterapkan pemerintah dengan membentuk lembaga lain di bawah Kementerian ESDM tapi pada dasarnya sama dengan BP Migas dan itu sebenarnya bertentangan secara substantif dengan putusan MK. “Kami akan meminta MK menjelaskan putusannya, apakah langkah pemerintah itu bisa dibenarkan atau tidak, meskipun sifatnya cuma sementara,” tegasnya.

Salah satu penggugat UU Migas, KH Hasyim Muzadi kecewa atas penerbitan Perpres 95 Tahun 2012. Perpres itu tak akan memperbaiki keadaan perminyakan di Indonesia. Dengan Perpres itu, Indonesia justru akan terus bergantung kepada asing.

Para analis menilai, kalau Perpres itu hanya mengubah nama BP Migas menjadi unit kerja tanpa langkah lanjutan mengurangi ketergantungan asing, keadaan akan tambah buruk.

Menurut Hasyim, kontrak-kontrak dengan pihak asing sebenarnya tidak dirugikan sama sekali dengan keluarnya putusan MK. “Jadi cukup klarifikasi bahwa semuanya diambil alih pemerintah. Kalau diberikan lagi ke pihak lain, artinya setali tiga uang,” jelas Hasyim, mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Yang sangat diperlukan kini adalah konsep ke depan, bagaimana mengurangi ketergantungan kepada pihak asing. Karena itu, para penggugat sebaiknya segera berkumpul untuk melakukan evaluasi dengan mengundang para negarawan yang tidak lagi punya interest pribadi selain kepentingan negara.

Pertemuan itu untuk menyatukan langkah mengawal proses selanjutnyan sampai kelahiran UU Migas yang baru, yang tidak lagi dikuasai neoliberalisme yang sangat menguntungkan asing dan merugikan bangsa ini.[inilah/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.