Banyak Pasal Krusial di RUU Kamnas
Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Eva Kusuma Sundari, berpendapat draf Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional masih terdapat pasal-pasal krusial, bahkan di antaranya berpotensi menimbulkan distorsi kekuasaan.
“Draf RUU Kamnas terbaru, yang diserahkan oleh Pemerintah pada tanggal 16 Oktober 2012, ternyata masih banyak pasal krusial walaupun pasal penangkapan dan penyadapan sudah ditiadakan,” katanya saat dihubungi Minggu (9/12).
Eva yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum, Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Kemanan) DPR RI mencatat ada enam pasal krusial, yakni Pasal 14 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (4), Pasal 22 Ayat (1), Pasal 30 Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 32 Ayat (2).
Di dalam Pasal 14 Ayat (1) disebutkan darurat militer dapat dilakukan bila ada kerusuhan sosial. “Hal ini melampaui ketentuan dan hukum yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Undang-Undang Darurat RI Nomor 12/DRT/1951,” katanya.
Selain itu, Pasal 17 Ayat (4) tentang ancaman potensial dan aktual yang ditentukan dan diatur oleh Pemerintah. Dalam hal ini, lanjut Eva, ancaman aktual hanya diputuskan oleh Presiden sehingga dapat menimbulkan distorsi kekuasaan pada era demokrasi seperti sekarang ini.
Selanjutnya, Pasal 22 Ayat (1) mengatur penyelenggaraan kamnas melibatkan peran intelijen di depan. Hal ini, menurut Eva, banyak menimbulkan pertanyaan seperti apa perannya.
“Pada era reformasi, peran intelijen mengatasi masalah-masalah sosial, apakah suatu keharusan melibatkan intel dalam menangani persoalan itu?,” katanya.
Presiden, sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 30 Ayat (2), dapat mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menanggulangi ancaman bersenjata dalam keadaan tertib sipil. “Ini bertentangan dengan UU Darurat dan UU lainnya,” kata Eva.
Di sisi lain, di dalam Pasal 27 Ayat (1), Panglima TNI dapat membuat kebijakan operasi berdasarkan kebijakan kamnas, sementara Ayat (2) mengatur Polri hanya melaksanakan fungsi kepolisian saja. Hal ini bertentangan dengan fungsi TNI sebagaimana ketentuan di dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, paparnya.
Pasal baru di dalam RUU Kamnas, yakni Pasal 32 Ayat (2), dinilai Eva juga termasuk pasal krusial karena dalam menghadapi ancaman dapat dikerahkan komponen cadangan (komcad).
Sementara itu, di dalam Pasal 48 Ayat (1) Huruf c , komando dan kendali tingkat operasional di provinsi adalah panglima/komandan satuan. “Artinya, bukan gubernur atau bupati, melainkan di bawah komando dan kendali komandan militer setempat,” kata Eva. [mediaindonesia/htipress/www.al-khilafah.org]
“Draf RUU Kamnas terbaru, yang diserahkan oleh Pemerintah pada tanggal 16 Oktober 2012, ternyata masih banyak pasal krusial walaupun pasal penangkapan dan penyadapan sudah ditiadakan,” katanya saat dihubungi Minggu (9/12).
Eva yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum, Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Kemanan) DPR RI mencatat ada enam pasal krusial, yakni Pasal 14 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (4), Pasal 22 Ayat (1), Pasal 30 Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 32 Ayat (2).
Di dalam Pasal 14 Ayat (1) disebutkan darurat militer dapat dilakukan bila ada kerusuhan sosial. “Hal ini melampaui ketentuan dan hukum yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Undang-Undang Darurat RI Nomor 12/DRT/1951,” katanya.
Selain itu, Pasal 17 Ayat (4) tentang ancaman potensial dan aktual yang ditentukan dan diatur oleh Pemerintah. Dalam hal ini, lanjut Eva, ancaman aktual hanya diputuskan oleh Presiden sehingga dapat menimbulkan distorsi kekuasaan pada era demokrasi seperti sekarang ini.
Selanjutnya, Pasal 22 Ayat (1) mengatur penyelenggaraan kamnas melibatkan peran intelijen di depan. Hal ini, menurut Eva, banyak menimbulkan pertanyaan seperti apa perannya.
“Pada era reformasi, peran intelijen mengatasi masalah-masalah sosial, apakah suatu keharusan melibatkan intel dalam menangani persoalan itu?,” katanya.
Presiden, sebagaimana ketentuan di dalam Pasal 30 Ayat (2), dapat mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menanggulangi ancaman bersenjata dalam keadaan tertib sipil. “Ini bertentangan dengan UU Darurat dan UU lainnya,” kata Eva.
Di sisi lain, di dalam Pasal 27 Ayat (1), Panglima TNI dapat membuat kebijakan operasi berdasarkan kebijakan kamnas, sementara Ayat (2) mengatur Polri hanya melaksanakan fungsi kepolisian saja. Hal ini bertentangan dengan fungsi TNI sebagaimana ketentuan di dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, paparnya.
Pasal baru di dalam RUU Kamnas, yakni Pasal 32 Ayat (2), dinilai Eva juga termasuk pasal krusial karena dalam menghadapi ancaman dapat dikerahkan komponen cadangan (komcad).
Sementara itu, di dalam Pasal 48 Ayat (1) Huruf c , komando dan kendali tingkat operasional di provinsi adalah panglima/komandan satuan. “Artinya, bukan gubernur atau bupati, melainkan di bawah komando dan kendali komandan militer setempat,” kata Eva. [mediaindonesia/htipress/www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar