Korupsi di Indonesia, Utopia Pemberantasan di Negeri Korup
Oleh : Hanif Kristianto
(Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)
Korupsi menjadi pembicaraan hangat tiada henti. Pembicaraan ini mengemuka tatkala lambat laun terkuak penyelewengan amanah oleh pemerintah. Ditengarai banyak dana yang seharusnya untuk rakyat, tetapi diembat oleh para koruptor. Belum lagi diperparah oleh sikap pejabat yang hipokrit dan manipulatif dalam setiap kebijakan yang dibuat. Dan ditambah mental korup dan syahwat untuk memperkaya diri yang masih melekat kuat. Korupsi kerap menjadi kambing hitam atas keterpurukan negeri ini. Tak jarang banyak orang bilang jika negeri ini miskin karena korupsi.
Belum lama ini masyarakat dunia memperingati hari anti-korupsi. Korupsi menjadi musuh bersama siapapun yang menginginkan pemerintahan bersih. Tak terkecuali pemerintah dalam hal ini presiden. Senin, 10 Desember 2012 SBY menyampaikan pidato kenegaraan terkait anti-korupsi dan penegakan HAM. Komentar, kritik, dan dukungan pun dialamatkan pada pidato presiden. Ada sisi pesimis dan optimis terkait niatan SBY untuk berada di garda terdepan pemberantasan korupsi. Tetapi yang harus diingat SBY adalah sebanyak 1.408 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum selama 2004-2011 menjadi salah satu bukti dampak buruk korupsi. Nilai kerugian negara mencapai Rp 39,3 triliun. Berdasarkan data Transparency International Indonesia masalah korupsi tak teratasi dengan baik dan menempatkan Indonesia di peringkat 100 dari 183 negara pada 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Belum terungkapnya beberapa kasus korupsi besar seperti mafia pajak Gayus Tambunan, skandal Bank Century, penyelewengan dana BLBI, dan Hambalang. Menjadi bukti bahwa korupsi kian menjadi-jadi di negeri Demokrasi ini. Kasus korupsi juga merebak di daerah. Berdasarkan data Kemendagri, sepanjang 2004 hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus kriminal. “Di antara kasus-kasus tersebut, kasus korupsi adalah kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala daerah. Sementara itu, KPK baru menyelesaikan 37 dari 155 kasus yang ada," lanjut data MNC Media Research Polling. (Okezone, Minggu 05/08/2012). Di Jawa Timur kasus korupsi mewabah di berbagai kota dan kebupaten. Kota-kota dengan laporan korupsi terbanyak di Jatim antara lain : Surabaya : 14, Sidoarjo : 10, Situbondo : 5, Probolinggo : 5, Lumajang : 4, Banyuwangi : 4, Mojokerto : 3, Bondowoso : 3, Blitar : 2, Tulungagung : 2, Malang : 2, Kediri : 2, Madiun : 2, Jombang : 2, Gresik : 2, Tuban : 2, Pasuruan : 1, Ponorogo : 1, Trenggalek : 1 dan Bondowoso : 1 (Sumber: surabayapost, Rabu, 25 Mei 2011).
Pidato SBY itu mengisyaratkan bahwa persoalan korupsi tak berkesudahan. Dan menunjukkan masih berkutatnya pengungkapan kasus korupsi di level kulit. SBY terlihat juga kurang tegas dan ambigu. Sesungguhnya pidato SBY, 10 Desember 2012 menggambarkan dengan jelas bagaimana utopisnya penanganan korupsi oleh pemerintah yang korup di negeri para koruptor ini. Sadar atau tidak SBY belum dapat memberangus korupsi secara total dan sistemik. Alih-alih menyejahterakan rakyat dalam skala luas. Justru gurita korupsi dan persoalan lainnya kian menjadi-jadi. Meski SBY bakal kembali mengumpulkan jajaran pemerintah, khususnya pejabat yang menyusun dan mengelola anggaran pada Januari 2013 untuk sosialisasi korupsi. Tetap saja tidak akan pernah menyelesaikan akar persoalan korupsi. Korupsi yang terjadi di negeri kapitalis ini bukan saja karena persoalan kultural melainkan juga struktural. Artinya persoalan korupsi bukan saja karena sikap mental pemerintah/pejabat melainkan karena sistem Demokrasi yang melahirkan peraturan perundang-undangan sekuler-liberal. inilah yang menjadi biang merebaknya korupsi.
Ambiguitas Penanganan Korupsi
Berikut beberapa petikan pidato presiden SBY.
“Pertama, korupsi memang masih terus terjadi di negeri kita. Berarti ini sebuah permasalahan dan gangguan yang serius dalam kehidupan dan pembangunan yang tengah kita lakukan. Itu gambar pertama.
Gambar kedua, sesungguhnya upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi juga terus dilakukan secara sunguh-sungguh bahkan boleh dikata masih dan agresif. Bandingkan dengan upaya pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini dalam perjalanan sejarah kita. Berarti, sesungguhnya tidak ada istilah pembiaran. Kita tidak akan pernah membiarkan kejahatan korupsi itu terus terjadi.”
Makna dari isi pidato tersebut menunjukkan jika korupsi senantiasa hidup. Hal ini menunjukkan jika korupsi memang sudah menggejala semenjak dulu. Korupsi ibaratkan barang piaraan sistem demokrasi yang senantiasa dijaga. Tidak ada pejabat yang bersih dalam sistem politik demokrasi. Sekalipun itu dari kalangan intelektual, agamis, aktivis, ataupun reformis. Sejarah korupsi di Indonesia sesungguhnya turun temurun. Semenjak masa orde lama hingga reformasi. Hal yang berbeda hanya modus pelakunya.
Sekuat apapun pemerintahan demokrasi untuk melenyapkan korupsi. Niscaya sia-sia semata. Pasalnya korupsi sudah menjadi budaya dan karakter demokrasi yang mahal. Jika SBY menyampaikan bahwa tidak ada pembiaran terhadap kejahatan korupsi. Yang terjadi saat ini adalah pemberantasan korupsi hanya pada tataran kulit. Sementara penguasa yang menduduki jabatan tinggi tidak pernah tersentuh. Hal ini berarti terjadi pembiaran di atas dan pemberantasan di bawah. Sebab ada superbody yang melindungi bahkan terkesan menutupi kebobrokannya. Hal ini menunjukan kebohongan bahwa hukum menjadi panglima. Nyatanya hukum yang ada saat ini seolah haram menyentuh pejabat tinggi. Sebagai contoh kasus bank Century yang mengindikasikan keterlibatan Wapres Boediono dan SBY serta Kasus Hambalang yang menyeret mantan Menpora Andi Malarangeng, Angie dan keterlibatan Anas Urbaningrum.
Dalam pidatonya SBY juga menyinggung kasus-kasus korupsi daerah di alinea berikutnya. Lagi-lagi menunjukkan bahwa hukum yang ada tidak membuat efek jera. Berikut petikan pidato SBY
“10 tahun terakhir ini kasus-kasus korupsi sesuai dengan surat izin yang saya keluarkan maupun yang diproses oleh KPK tanpa menunggu izin Presiden lebih banyak terjadi di daerah. Ini para gubernur hadir di sini. Dulu di era otoritarian, kasus korupsi lebih banyak terjadi di pusat dan lebih banyak dilakukan pejabat eksekutif, dulu.”
Kini, kasus-kasus korupsi tersebar. Ada di pusat, ada di daerah, ada di lembaga ekekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Ada di dunia usaha ataupun elemen kehidupan masyarakat yang lain. Mengapa? Ini menggambarkan bergesernya distribusi kekuasaan di Indonesia, the distribution of power. Era dulu adalah era kuat eksekutif dan era sentralisme. Disitulah kekuasaan berada. Power holders ada di Jakarta, sekarang ada di mana-mana, dan korupsi terjadi di antara pemegang kekuasaan itu ada yang menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya, sedangkan kekuasaan itu menggoda. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, itu tetap valid dan tetap berlaku. Saya berharap semua jajaran penegak hukum, jajaran lembaga audit, jajaran institusi pengawas agar memberikan atensi yang sungguh-sungguh dan betul-betul melihat di arena-arena yang rawan akan korupsi itu.”
Diakui atau tidak gurita korupsi kini dari hulu hingga hilir. Alirannya kian deras dan menghantam siapapun. Hal ini wajar terjadi akibat hilangnya peran penting negara. Negara saat ini telah borkolaborasi dengan korporasi (pengusaha). Seperti anekdot “loe jual gue beli”. Ada rasa saling menguntungkan dan membutuhkan. Tahu sama tahu dan butuh sama butuh sehingga muncul simbiosis mutualisme.
Gambaran sistem yang koruptif ini juga menunjukkan bahwa penguasa dan sistem yang juga bermental korup. Hanya gaya dan pencitraan saja yang selama ini dibangun. Citra positif ditebar dimana-mana untuk menutupi kebobrokan sistem ini. Selayaknya sebagai pemimpin tertinggi negeri, setelah tahu akar persoalan korupsi segera mengevaluasi. Apakah benar demokrasi-kapitalistik ini akan menghasilkan pejabat negara yang amanah ? Atau justru menghasilkan pejabat yang berfokus pada materi semata ? Maka sangat jelas sekali jika demokrasi-kapitalistik akan melahirkan bayi-bayi baru korupsi dengan berbagai dalih dan modus.
Hal yang lebih krusial dan menjadikan perdebatan adalah pernyataan terkait korupsi pejabat. SBY menyampaikan ada dua kategori Pertama, pejabat memang berniat korupsi. Kedua, tindak pidana korupsi terjadi karena ketidakpahaman pejabat terhadap peraturan perundang-undangan. Lantas apa bedanya? Apa tidak ada dosa jika yang melakukan korupsi itu tidak tahu ? Tidak diajari korupsi pun orang pun akan tahu jika menyelewengkan anggaran negara termasuk tindakan kriminal. Bukankah mereka orang-orang yang cerdas dan berakal ?
Maka dapat dianalisis keberadaan korupsi saat ini terjadi ada dua macam. Pertama, korupsi kultural artinya sudah menjadi hal yang jamak terjadi. Sehingga siapapun dalam benak pikiran penguasa hukumnya ‘wajib’ korupsi. Apakah itu pejabat hulu maupun hilir. Cara melakukannya saja yang seolah santun dan konstitusional. Ingat korupsi tidak hanya identik dengan menguntungkan diri sendiri ataupun partai. Termasuk hadiah, gratifikasi, uang pelicin dan sebagainyan juga tindak korupsi. Kedua, korupsi struktural. Korupsi ini melibatkan jumlah yang besar dan luas. Tahu sama tahu siapa yang melakukan korupsi. Sehingga akan ada yang jadi korban sebagai bentuk permainan kotor ini. Semua saling gigit-menggigit. Sebagai contoh kasus Hambalang ataupun bank Century. Jika penegak hukum punya keberanian sedikit saja untuk menusuk ke jaringan struktural. Maka pucuk pimpinan dan sumber kemunculan korupsi akan terungkap. Istilahnya menangkap ikan kakap, bukan yang teri saja. Kerja dari korupsi struktural ini lebih sistematis dan terlihat seolah bersih. Karena semua diuntungkan.
Utopia Pemberantasan Korupsi
Jika upaya pemberantasan korupsi hanya pada tataran retorika dan kulit saja. Apalagi berkutat kepada berapa jumlah penyidik yang ada di KPK. Semakin sedikit jumlah penyidik semakin lemah kekuatan penanganan korupsi. Bisa dipastikan akan menjadi utopia. Pasalnya akar persoalan tindak korupsi tidak pernah diurai. Hal ini mengingatkan jika standar dalam sistem hidup ini masih bertumpu pada materi. Sangat sulit untuk menghilangkan korupsi ini karena tercabut rasa malu di kalangan aparatur negara.
Apalagi lembaga negara juga tidak satu padu dalam memberantas akar korupsi. Bahkan saling melemahkan satu dengan yang lain seperti konflik KPK dan Polri. Saat ini yang masih terjadi hanya wacana “berani jujur hebat”. Padahal tak selamanya penguasa korup mau bertindak jujur. Sudah ketahuan belang korupsi saja masih membela diri. KPK dan Kepolisian yang diharapkan rakyat luas pun tidak menunjukan gigi taringnya untuk menggigit dan mencengkram koruptor. Malahan yang terjadi ribut terkait urusan penanganan korupsi. Kasus simulator SIM dan penarikan penyidik dari KPK bisa dijadikan contoh.
Lembaga legislatif dan yudikatif pun mendapatkan penilaian buruk dari rakyat. Khususnya lembaga legislatif ditengarai menjadi sarang korupsi terkait permainan anggaran dana. Suap menyuap kerap terjadi atas nama kepentingan sesaat. Lembaga yudikatif juga dinilai tidak tegas dalam memberikan hukuman apalagi menimbulkan efek jera. Paling-paling pelaku korupsi dihukum paling lama 5-10 tahun. Ada diantara koruptor mendapatkan keringanan hukuman. Bahkan para hakim dan hakim agung terjebak pada tindak kriminal jual beli perkara. Lantas hukum sejatinya berkuasa untuk siapa ?
Penanganan kasus korupsi ini sangat berbeda dengan terorisme. Jika pelaku terorisme saja yang masih ‘terduga’ bisa dieksekusi mati. Lantas kenapa korupsi yang jelas dan merugikan rakyat banyak begitu mbulet dan berbelit dalam menjatuhkan eksekusi hukuman. Sungguh ini bentuk ketidakadialan hukum. Maka jelas jika hukum yang ada saat ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah (rakyat). Inilah utopia memberantas korupsi dari hulu hingga hilir di negeri ini.
Untuk penanganan korupsi ini butuh solusi tuntas dan bukan berasal dari sistem demokrasi-kapitalistik. Justru kebobrokan yang terjadi saat ini diakibatkan penerapan sistem tersebut. Sistem demokrasi-kapitalistik tidak akan melahirkan pejabat yang taat pada hukum. Serta tidak akan memunculkan pejabat yang amanah. Maka butuh perombakan sistem yang lebih berkeadilan dan menyejahterakan. Tidak lain itulah sistem Islam.
Islam akan menegaskan jika jabatan adalah amanah dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Maka akan memanfaatkan jabatan itu dengan baik. Islam melarang para pejabat menerima hadiah atau apapun pemberian dari orang lain dalam rangka memuluskan kepentingan pribadi. Islam juga akan mencukupi kebutuhan dasar bagi pejabat. Agar mereka tidak berorientasi kepada materi semata. Lebih dari itu amal baktinya digunakan untuk beribadah dalam melayani umat. Maka sistem ini hanya dapat terwujud dengan mulia jika diemban oleh negara yang disebut Khilafah Islamiyah. Enyahkan demokrasi-kapitalistik yang kelam. Ganti dan terapkan Islam yang menyejahterahkan. Wallahu a’lam bisshwab. [al-khilafah.org]
Tidak ada komentar