Header Ads

Syaikh Al-Azhar Mungkin Lupa, Syariah Menghukumi Setiap Perbuatan

Syaikh Al-Azhar, Syaikh Ahmad Tayyib berkata dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari  Kamis, 20/12/2012, mengomentari proses referendum konstitusi, “Al-Azhar menegaskan bahwa referendum tidak ada hubungannya dengan ketentuan syariah, atau dengan halal dan haram. Bahkan Al-Azhar memuji para imam dan khatib yang menjaga kesucian mimbar dan masjid, serta menjauhkannya dari pertempuran dan hiruk-pikuk politik. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping  Allah.” (TQS. Al-Jin [72] : 18).


Syaikh Al-Azhar meminta semua warga negara untuk menjaga hati nurani mereka ketika pemungutan suara pada referendum, sebagai “kewajiban nasional, hingga membuat Mesir menjadi model bagi negara-negara nasionalis, demokratis, konstitusional modern”. Bahkan ia mengatakan, “dengan ini, insya Allah, kapal nasional akan berlabuh di daratan dengan aman dan stabilitas, guna memulai Mesir menuju kebangkitan dan kemajuan, serta mengambil tempatnya di antara negara-negara lain”.

Rasulullah Saw bersabda: “Agama itu nasihat.” Kami bertanya, bagi siapa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: “Bagi Allah, Rasulullah, para pemimpin kaum Muslim, dan kaum Muslim pada umumnya.” (HR. Muslim).

Untuk itu, kami Hizbut Tahrir wilayah Mesir, menyampaikan nasihat kepada Syaikh Al-Azhar, dengan memohon kepada Allah Azza wa Jalla, agar membimbing kami semua menuju jalan yang lurus dan benar. Kami sampaikan kepadanya:

Pertama, perkataan bahwa proses referendum tidak ada hubungannya dengan ketentuan syariah atau dengan halal dan haram, adalah perkataan yang bathil dan tertolak, yang tidak akan keluar dari mulut seorang Muslim yang awam sekalipun, lalu bagaimana hal itu bisa keluar dari lisan Imam Besar dan Imam masjid Al-Azhar, serta mercusuar ilmu pengetahuan dan para ulama? Bukankah referendum itu perbuatan manusia yang membutuhkan penjelasan hukum syara’nya? Bukankah hukum asal dari setiap perbuatan manusia itu terikat dengan hukum syara’?

Kedua, konstitusi adalah ketentuan umum yang menunjukkan bentuk negara, dan aktivitas setiap kekuasaan di dalamnya; serta aturan dasar yang mengatur setiap aktivitas manusia dalam segala bidang, seperti ekonomi, sosial, politik dan lainnya. Jika kita dalam aktivitas-aktivitas furu’ (cabang) yang bersifat pribadi, seperti haramnya minum khamer atau riba, wajib terikat dengan hukum syara’, tentu kita akan lebih wajib terikat dengan hukum syara’ terkait peraturan dasar yang akan mengatur aktivitas jutaan orang? Semua itu harus diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah berdasarkan kekuatan dalil, bukan berdasarkan referendum atau voting. Oleh karena itu, tidak boleh pergi ke tempat pemungutan suara untuk memilih, sebab hal itu sama saja dengan menerima prinsip voting terkait penetapan hukum, dan ini tidak dapat diterima, serta tidak boleh menurut syara’. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, dengan sesat yang nyata.” (TQS. Al-Ahzab [33] : 36). Dengan demikian, dalam hal ini orang yang datang untuk memberikan suaranya adalah berdoasa.   Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa proses referendum tidak ada hubungannya dengan ketentuan syariah, atau dengan halal dan haram?

Ketiga, tentang pujian Al-Azhar kepada para imam dan khatib yang menjaga kesucian mimbar dan masjid, serta menjauhkannya dari pertempuran dan hiruk-pikuk politik, maka dipahami darinya bahwa para imam dan khatib tidak boleh terlibat dalam politik, dan dengan ini sepertinya Al-Azhar menyerukan pemisahan agama dari politik, padahal dalam Islam tidak ada pemisahan seperti ini sama sekali.

Keempat, adapun seruan Syaikh Al-Azhar kepada semua warga negara untuk berpartisipasi dalam pemungutan suara pada referendum, dan menyebutnya sebagai “kewajiban nasional, hingga membuat Mesir menjadi model bagi negara-negara nasionalis, demokratis, konstitusional modern”, maka itu adalah seruan yang tidak memiliki nilai di dunia dan di akhirat, sebab itu adalah seruan untuk menjauhkan dimensi Islam. Sementara Islam telah menetapkan model negaranya, yaitu Khilafah, dan bukan negara nasional demmokratis konstitusional. Sesungguhnya hanya Khilafah saja yang merupakan sistem pemerintahan dalam Islam, yang telah dilegitimasi oleh Allah, Tuhan semesta alam, bahkan kaum Muslim tidak mengenal selain sistem Khilafah, dan tidak menyimpang darinya meski sehelai ambut. Khilafah adalah satu-satunya cara untuk menerapkan hukum Allah dengan sempurna dan komprehensif, dan yang akan mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah kehidupan, serta dengan Khilafah ini Islam akan diemban ke seluruh penjuru dunia. Khilafah merupakan satu-satunya cara untuk menyatukan umat Islam, mengembalikan kemuliaan dan kekuatannya, serta menebarkan keadilan di antara mereka dan semua umat manusia. Sungguh, hanya dengan ini saja wahai Syaikh yang terhormat, insya Allah, kapal nasional akan berlabuh di daratan dengan aman dan stabilitas, guna memulai Mesir menuju kebangkitan dan kemajuan, serta mengambil tempatnya di antara negara-negara lain, sebagai negara yang memiliki misi internasional.

Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat  dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari  kiamat  dalam keadaan buta.” (TQS. Thaha [20] : 123-124).

Ketua Media Informasi Hizbut Tahrir wialayah Mesir
Syarif Zayad

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 22/12/2012.
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.