Header Ads

Thariqah Syar’iyyah Dalam Menegakkan Syari’ah

Pendahuluan 
 
Bukti keimanan kepada Allah SWT adalah terikat pada syariat Islam. Oleh karenanya syariat Islam harus diterapkan pada semua lini kehidupan, baik dalam konteks kehidupan pribadi, kelompok maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semestinya hal ini tidak perlu lagi diperdebatkan mengingat semua itu merupakan perkara yang telah jelas kewajibannya dalam agama Islam. Bahkan sejatinya perwujudan utama dari misi hidup seorang muslim beribadah kepada Allah adalah dengan sebaik-baiknya menjalankan syariah baik dalam ibadah, akhlaq, makanan-minuman, pakaian, maupun dalam muamalah dan dakwah, dan seharusnya keberadaan sebuah negara dengan segenap struktur dan kewenangannya dalam pandangan Islam, agar tetap dalam konteks ibadah, tidak lain adalah untuk menyukseskan penerapan syariah itu. 


Maka perjuangan bagi tegaknya syariat Islam di manapun termasuk di negeri ini jelas sangatlah penting. Secara imani, perjuangan itu merupakan tuntutan aqidah Islam. Secara faktual, dalam konteks Indonesia, sistem apalagi yang diharapkan mampu menyelesaikan krisis multidimensi yang kini tengah dihadapi Indonesia bila bukan syariat Islam, setelah sosialisme hancur dan kapitalisme terbukti makin loyo? Dan secara operasional, pemberlakuan syariat Islam kiranya juga akan nyambung dengan denyut nadi iman atau keyakinan mayoritas penduduk negeri ini yang muslim. 

Adapun kenyataan sekarang ini di Indonesia ada penolakan cukup keras terhadap gagasan penerapan syariah yang dilakukan bukan hanya oleh kelompok non muslim tapi bahkan juga ormas dan tokoh-tokoh Islam, merupakan realitas yang segetir apapun tetap harus dihadapi. Setiap gagasan mulia memang kadang tidak mudah untuk diujudkan. Ganjalan yang dihadapi selalu saja cukup berat. Mengapa begitu? Pertama, adanya sejumlah kesalahpahaman terhadap syariah sedemikian sehingga dalam bayangan mereka, syariah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, mencengkeram kebebasan dan bahkan seolah akan memundurkan kehidupan masyarakat modern sekarang ini ke jaman batu. Kedua, memang ada kesengajaan dari kalangan tertentu untuk menciptakan stigma negatif terhadap syariah dan melakukan berbagai upaya untuk terus memelihara ketakutan dan ketidaksukaan masyarakat pada syariat Islam, sekaligus memelihara kepentingan pribadi, kelompok dan negara asing yang menjadi patron politiknya, dan Ketiga, pada kenyataannya, apapun yang dikatakan sebagai kebaikan-kebaikan yang akan diberikan oleh syariah, belumlah terwujud secara utuh dalam kehidupan masyarakat. Semua itu masih sebatas wacana atau sebagian-sebagian, kecuali pada realitas sejarah dimana tidak semua orang dapat menghayatinya, oleh karena hal itu memang terjadi di masa lampau. 

Lepas dari segenap kontroversi di atas, berkenaan dengan gagasan penerapan syariah, terdapat dua persoalan pokok, yakni: Pertama, terkait dengan masalah konsepsi tentang syariah itu sendiri baik menyangkut filosofi dasar, sumber-sumber, dalil, ruang lingkup, ketentuan hukum, maupun kemampuan syariah dalam menyelesaikan problema kehidupan manusia modern, dan Kedua terkait dengan metode atau cara bagaimana penerapan syariah bisa diujudkan. Pemahaman atas konsepsi syariah penting dimiliki oleh masyarakat karena akan menentukan tingkat apresiasi mereka terhadap syariah. Salah satu sebab yang menimbulkan penolakan terhadap gagasan penerapan syariah memang adalah ketidak pahaman atau kesalahpahaman terhadap syariah. Logikanya, bagaimana mungkin orang akan setuju pada syariah kalau ia tidak paham atau bahkan salah paham? Di sinilah letak pentingnya menjelaskan syariah kepada masyarakat. Sementara, pemahaman tentang metode atau cara bagaimana syariah diterapkan akan memberikan gambaran tentang unsur-unsur apa dengan segenap sifat dan karakter yang diperlukan yang harus terlibat dalam penerapan syariah, serta bagaimana mewujudkan unsur-unsur tersebut. Dengan memahami metode penerapan syariah, masyarakat diharapkan menjadi tahu proses-proses yang harus dilalui dalam perjuangan penegakan syariah dan di mana ia bisa turut serta dalam perjuangan itu. 

Pilar Penegakan Syariah 
 
Secara faktual, penegakan syariah memerlukan tiga pilar, yakni ketaqwaan individu, kontrol masyarakat dan kewenangan negara. Untuk mewujudkan penerapan syariah secara optimal diperlukan ketiga pilar itu sekaligus. 

Ketaqwaan individu adalah pilar dasar. Dari sinilah dorongan penerapan syariah Islam berasal. Individu yang bertaqwa adalah muslim yang dengan dorongan imannya tunduk kepada syariah. Melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan baik di saat sendiri maupun dan bersama orang lain. Ia menyadari bahwa dengan melaksanakan syariah misi hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT dapat diujudkan secara nyata. Dan dengan itu pula ia bisa mengharapkan keridhaan Allah, ampunan, pertolongan dan kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Bila ada yang paling ditakuti, maka itu adalah murka Allah. Dan bila ada yang paling diingini, maka itu adalah ampunan dan keridhaan-Nya. Maka bagi orang yang bertaqwa, melaksanakan syariah sama sekali tidak dirasakan sebagai beban. Justru sebaliknya, ia akan merasa amat berat bila harus meninggalkan syariah. Dengan melaksanakan syariah ia merasakan kelezatan dan kenikmatan. Orang seperti ini akan menjemput syariah dengan penuh rasa gembira, sebagaimana tampak pada wanita al-Ghamidiyah dan lelaki bernama Maiz bin Malik al-Aslami. 

Dalam Shahih Muslim diceritakan bahwa dengan dorongan taqwanya, Maiz bin Malik al-Aslami mendatangi Rasulullah sambil mengatakan “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Rasulullah menjawab: 

وَيْحَكَ ارْجِعْ فَاسْتَغْفِرْ اللَّهَ وَتُبْ إِلَيْهِ

“Celaka kamu! Pulang dan mintalah ampun kepada Allah, dan bertaubatlah kepada-Nya.” Namun tidak berapa lama Maiz datang dan mengatakan hal yang sama dan Rasulullah menjawab dg jawaban yang sama, sampai pada kali yang keempat Rasulullah saw bertanya: “Dari hal apakah kamu harus aku sucikan?” Ma’iz menjawab, “Dari dosa zina.” Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat yang ada di sekitar beliau: “Apakah Ma’iz ini mengidap penyakit gila?” lalu beliau diberitahu bahwa dia tidaklah gila.” Beliau bertanya lagi: “Apakah dia habis minum Khamr?” lantas seorang laki-laki langsung berdiri untuk mencium bau mulutnya, namun dia tidak mendapati bau khamr darinya. Kemudian Rasulullah saw bertanya: “Betulkah kamu telah berzina?” Dia menjawab, “Ya, benar.” Lantas beliau memerintahkan untuk ditegakkan hukuman rajam atas dirinya, lalu dia pun dirajam. Berkaitan dg Maiz Rasulullah bersabda: 

لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ أُمَّةٍ لَوَسِعَتْهُمْ

”Sungguh ia telah bertaubat, yang jika dibagi diantara ummat maka akan mencukupi mereka” (Shahih Muslim, Juz 9 hal. 68, Maktabah Syâmilah) 

Begitu pula seorang wanita dari suku Ghâmid datang kepada Rasul menyatakan penyesalannya atas perbuatan maksiyatnya di masa lalu dan karenanya ia meminta untuk dirajam. “Ya Rasûlallah tahhirniy (sucikan aku)”, serunya kepada Nabi. Untuk meyakinkan, wanita ini menunjukkan kehamilannya. Rasul yang semula kurang percaya, akhirnya memintanya datang setelah melahirkan. Benar, setelah melahirkan ia datang membawa bayi. Tapi hukuman tidak langsung dilakukan, Rasul memintanya menyelesaikan susuannya. Kira-kira dua tahun kemudian, wanita tsb datang lagi kepada Rasul seraya menggandeng anak kecil yang sudah bisa berjalan. Barulah Rasul benar-benar melaksanakan hukuman rajam. 

Maiz dan dan wanita tsb ngotot menyongsong hukuman rajam, bukan menghindarinya karena yakin hanya dengan cara seperti itu (melaksanakan syariah rajam) sajalah mereka terbebas dari hukuman yang lebih berat di akhirat nanti. 

Demikianlah ketaqwaan mendorong seseorang untuk tunduk pada syariah dengan penuh kerelaan. Sementara itu, kontrol masyarakat hanya mungkin lahir dari individu-individu yang bertaqwa, demikian juga lahirnya negara yang menerapkan syariah juga berawal dari dorongan individu yang bertaqwa. Tapi taqwa individu saja tidak cukup karena tanpa kontrol dari masyarakat bisa saja individu yang semula taat pada syariah, oleh karena berbagai faktor dengan mudah melakukan maksiyat. 

Adapun pilar kedua, kontrol masyarakat timbul dari semangat amar ma’ruf nahi mungkar, yakni keinginan agar orang lain juga bersedia tunduk pada syariah dan terhindar dari maksiyat. Salah satu ciri keimanan seorang muslim memang adalah adanya keinginan pada orang itu agar orang lain merasakan kebaikan sebagaimana yang ia rasakan. Tegasnya, kontrol masyarakat sesungguhnya berpangkal pada cinta dan rasa solidaritas pada sesama. Dengan kontrol dari masyarakat orang yang akan melanggar syariah tidak mungkin dapat melakukan secara leluasa. Apalagi kontrol masyarakat tersebut bukan semata lahir dari keperluan melainkan mewujud dari akidah. Allah SWT dalam banyak ayat menunjukkan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Secara spesifik Allah SWT menegaskan: 

﴿وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾

Dan hendaklah ada sekelompok umat diantara kalian yang mendakwahkan kebaikan (Islam), beramar ma’ruf dan melakukan nahi munkar; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung(TQS. Ali Imrân [3]:104).
 
Pilar ketiga, kewenangan negara. Sudah dimaklumi bahwa hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan pidana, sebagian hukum ekonomi, perang, damai, pengeloaan sumber daya alam, perjanjian internasional dsb pelaksanaannya tidak boleh diserahkan kepada individu, karena Islam telah memberikan wewenang pelaksanaannya kepada negara. Kedudukan negara dalam Islam adalah untuk mengatur dan melaksanakan pemerintahan, berdasarkan hukum syara’. 

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. Al Ma’idah : 48) 

Dalam sistem Islam, negara mempunyai bangunan yang kokoh dan menyatu dengan tingkah laku individu dan sikap masyarakat. Hal ini terjadi karena ummat secara keseluruhan merupakan penyangga bagi negara; dimana negara diberi wewenang penuh untuk menerapkan hukum-hukum syara’ tanpa melihat tinggi-rendah kedudukan seseorang. 

Suatu ketika diajukan kepada Nabi Saw seorang wanita yang mencuri untuk diadili dan dijatuhkan hukuman/had potong tangan terhadapnya. Beliau tidak menerima permohonan grasi dari Usamah bin Zaid untuk wanita tersebut, bahkan menegur Usamah seraya berkata: “Apakah kamu mengajukan keringanan/grasi terhadap salah satu hukuman dari Allah SWT? Demi Allah kalau saja Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya”. (HR. Bukhari, Muslim) 

Abu Bakar As-Shiddiq ra, khalifah pertama, berkata dalam pidatonya selepas dibai’at kaum muslimin:“Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat menurut pandanganku sampai aku berikan haknya kepadanya. Orang yang kuat menurut kalian adalah lemah menurut pandanganku sampai aku ambil hak tersebut darinya”. ( Ibnu Katsir, Al-Bidâyah Wan-Nihâyah, VI: 340). 

Oleh karena itu ketika nampak adanya kemurtadan, sesaat setelah Rasulullah saw wafat, dan kejahatan merajalela serta menunjukkan tanda-tanda membahayakan stabilitas negara khilafah yang masih muda umurnya itu, dengan segera Abu Bakar mengambil tindakan menumpasnya tanpa ragu-ragu. Sampai akhirnya para murtaddin itu kembali kepada kebenaran (Islam) semula. Kemudian Allah SWT menghinakan para pemimpin kafir yang mengibarkan bendera kemurtadan lalu kembalilah Islam menjadi kuat dan mulia. 

Berdasarkan hal tersebut, agar dapat menerapkan syariat Islam secara kaffah haruslah diwujudkan individu-individu yang taqwa. Bukan sekedar individu-individu yang sholih secara pribadi melainkan juga berupaya untuk membuat sholih orang lain (mushlih) dan bersama-sama mewujudkan kehidupan Islam dalam rangka membentuk individu-individu sholih tadi. Tidak sekedar itu, wajib diwujudkan masyarakat yang terbiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Tanpa itu kontrol sosial tidak akan terlaksana. Kemudian setiap komponen umat Islam berjuang bersama mewujudkan kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Khilafah. 

Perangkat Penerapan Islam [1]
 
Penerapan syariat Islam secara praktis harus dimulai dengan pembai’atan seorang khalifah atas dasar Al-Quran dan Sunnah. Setiap muslim yang berakal, baligh, adil, merdeka dan laki-laki bisa dibai’at menjadi seorang khalifah bagi kaum muslim. Setiap negara muslim yang kekuasaannya ada di tangan kaum muslim saja dan tidak berada di bawah kekuasaan negara lain, dan keamanannya intern maupun eksternnya berada dalam keamanan Islam dan kaum muslim, maka, negeri semacam ini layak dijadikan tempat untuk melangsungkan ‘bai’at pengangkatan’ khalifah (bai’at in’iqad), serta layak menjadi pusat Daulah Islamiyyah. 

Jika di negeri tersebut khalifah telah dibai’at dengan bai’at in’iqad atas dasar keridloan dan pilihan oleh ahlul halli wal ‘aqdi; selanjutnya ia dibai’at dengan bai’at ta’at oleh kaum muslim, dimana dalam bai’at ta’at itu, kaum muslim berjanji untuk tidak melakukan kemaksiyatan (membangkang) khalifah; maka, syarat–syarat berdirinya Daulah Khilafah telah terpenuhi. Terpenuhi dari sisi, (1) kedaulatan ada di tangan syara’, (2) kekuasaan ada di tangan umat, (3) diangkatnya seorang khalifah saja yang akan melegalkan hukum-hukum syara’ yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah, Ijma’ shahabat dan qiyas. Ketika Daulah Khilafah telah tegak, dengan segara hukum-hukum Islam diberlakukan secara menyeluruh dan praktis di tengah-tengah umat. Hukum Islam tidak akan diterapkan secara berangsur-angsur dan gradual. 

Setelah proses pembai’atannya selesai, khalifah segera menyusun struktur negara. Struktur negara dalam Islam berbeda dengan struktur pemerintahan yang ada di dalam sistem kenegaraan kapitalistik dan sosialistik. Aturan-aturan yang diterapkan di Daulah Islam juga berbeda dengan aturan-aturan lainnya. Struktur negara yang telah ditetapkan Islam adalah sebagai berikut: 

1. Khalifah adalah kepala negara sekaligus wakil rakyat dalam hal kekuasaan dan pelaksanaan hukum syara’. 

2. wazir atau mu’awin tafwidl dg syarat haruslah seorang laki-laki, muslim, berakal, baligh, merdeka, adil, dan termasuk orang yang mampu melaksanakan tugas-tugas yang dilimpahkan kepadanya. Pengangkatan mu’awin tafwidl oleh seorang khalifah harus memenuhi dua perkara. Pertama, kewenangan yang diberikan kepada mu’awin tafwidl harus bersifat umum (‘umum al-nadhr). Kedua, harus ada aspek perwakilan (niyabah). Oleh karena itu, mu’awin tafwidl akan membantu khalifah pada semua urusan negara. Ia juga akan melaksanakan semua perintah khalifah. Tugasnya adalah, menyampaikan seluruh laporan mengenai tugas-tugas kenegaraan kepada khalifah. Ia juga bertugas melaksanakan tugas-tugas yang dilimpahkan khalifah. Sebab, mu’awin tafwidl merupakan pembantu khalifah dalam urusan kekuasaan. 

3. Wuzara’ at Tanfîdz yakni wazir yang ditunjuk oleh Khalifah sebagai pembantunya dalam implementasi kebijakan, dalam menyertai Khalifah, dan dalam menunaikan kebijakan Khalifah. Wazîr at-Tanfîdz merupakan penghubung Khalifah dengan struktur dan aparatur negara, rakyat, dan pihak luar negeri. Ia bertugas menyampaikan kebijakan-kebijakan Khalifah kepada mereka dan menyampaikan informasi dari mereka kepada Khalifah.Akan tetapi, ia hanya membantu khalifah dalam perkara-perkara operasional administratif, bukan dalam perkara-perkara kekuasaan. Syarat wazir tanfidz haruslah seorang muslim. Sebab, ia termasuk orang kepercayaan dari khalifah. 

4. Wali. Khalifah mengangkat seorang wali pada wilayah Daulah Khilafah, dari kalangan laki-laki muslim yang merdeka, baligh, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan, bertaqwa dan memiliki kekuatan. Wali memiliki wewenang kekuasaan dan kontrol untuk seluruh departemen-departemen di wilayahnya, sebagai wakil dari khalifah. Wali memiliki wewenang untuk memerintah masyarakat di wilayahnya, kecuali dalam masalah keuangan, peradilan, dan pasukan yang berhubungan dengan khalifah dan struktur negara lainnya. Akan tetapi, dari sisi pelaksanaan bukan dari sisi administratif, kepolisian berada di bawah komandonya (wali). Hendaknya khalifah tidak memberikan jabatan kewalian kepada seseorang dalam jangka waktu yang lama. Akan tetapi, khalifah harus mengganti seorang jika wali tersebut mulai memiliki pengaruh luas di wilayahnya, dan masyarakat mulai memberikan loyalitas kepadanya. 

5. Amirul Jihad; departemennya tersusun oleh empat departemen, (1) Departemen Dalam Negeri, (2) Departemen Luar Negeri, (3) Departemen Keamanan Dalam Negeri, (4) Departemen Perindustrian. Empat departemen ini dikontrol dan dipimpin oleh amirul jihad. Sebab, empat departemen ini didirikan dengan asas jihad. Perang dan keamanan dalam negeri mutlak membutuhkan kekuatan pasukan yang terrefleksi pada kekuatan tentara dan polisi. Untuk masalah luar negeri, landasan hubungan antara Daulah Islamiyyah dengan negara-negara lain adalah menyebarkan dakwah Islam. Metode dasar untuk menyebarkan dakwah Islam adalah jihad. Untuk masalah perindustrian, semua jenis industri harus didirikan di atas dasar kepentingan politik luar negeri. Pengawasan perindustrian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara lain harus berjalan sesuai dengan asas di atas (jihad). 

Di dalam Islam, jihad merupakan unsur terpenting. Bahkan ia merupakan pilar paling pokok bagi negara Islam. Oleh karena itu, negara harus memberikan porsi perhatian yang sangat besar dalam masalah ini. Negara bisa memberlakukan wajib militer bagi laki-laki muslim umurnya telah mencapai 15 tahun. Sebab, negara wajib membuat persiapan untuk melakukan jihad. Atas dasar itu, Daulah Islamiyyah harus berusaha semaksimal mungkin untuk mempersiapkan persenjataan, akomodasi dan perlengkapan, serta hal-hal yang dibutuhkan oleh pasukan. Ini dilakukan agar mereka bisa menunaikan tugasnya sebagai tentara Islam. Tentara Islam yang selalu menjaga negaranya, mengokohkan kekuasaannya, serta mengibarkan panji “La Ilaha Illa al-Allah” ke seluruh penjuru alam. Metode untuk meraih semua ini adalah dengan jihad! 

6. Departemen Keamanan Dalam Negeri, merupakan departemen yang mengurusi segala bentuk gangguan keamanan. Departemen ini juga mengurusi penjagaan keamanan di dalam negeri melalui satuan kepolisian dan ini merupakan sarana utama untuk menjaga keamanan dalam negeri. Departemen Keamanan Dalam Negeri berhak menggunakan satuan kepolisian kapan pun dan seperti yang diinginkannya. Perintah departemen ini harus segera dilaksanakan. 

7. Al-Kharijiyah (Luar Negeri) mengurusi apapun jenis perkara dan bentuk hubungan luar negeri itu; baik perkara yang berkaitan dengan aspek politik dan turunannya—seperti perjanjian, kesepakatan damai, gencatan senjata, pelaksanaan berbagai perundingan, tukarmenukar duta, pengiriman berbagai utusan dan delegasi, serta pendirian berbagai kedutaan dan konsulat—ataupun perkara yang berkaitan dengan aspek ekonomi, pertanian, perdagangan, pos, telekomunikasi, komunikasi nirkabel dan satelit, dan lain sebagainya.

8. Ash-Shina’ah (Industri), mengurusi semua masalah yang berhubungan dengan perindustrian, baik yang berhubungan dengan industri berat seperti industri mesin dan peralatan, pembuatan dan perakitan alat transportasi (kapal, pesawat, mobil, dsb), industri bahan mentah dan industri elektronik, maupun yang berhubungan dengan industri ringan; baik industri itu berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Industri dengan berbagai jenisnya itu semuanya harus dibangun dengan berpijak pada politik perang. Sebab, jihad dan perang memerlukan pasukan, sementara pasukan, agar mampu berperang, harus memiliki persenjataan. 

9. Peradilan adalah penyampaian hukum yang bersifat mengikat. Qadli ada tiga macam; Pertama, qadliy yang bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara masyarakat, baik dalam perkara mu’amalat, pidana, kedua, qadliy yang bertugas menyelesaikan perkara yang menyangkut pelanggaran terhadap hak-hak umum (muhtasib). Ketiga, qadliy madzalim, yakni qadliy yang bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan negara. Syarat untuk qadliy-qadliy di atas adalah, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, dan faqih dalam menerapkan hukum di atas kasus yang terjadi. Sedangkan dua syarat yang harus dimiliki oleh qadliy madzalim adalah laki-laki dan mujtahid. 

Peradilan dalam Islam ditinjau dari sisi keputusan peradilannya merupakan keputusan tingkat pertama. Tidak ada keputusan tingkat banding, ataupun keputusan tingkat kasasi. Setiap qadli diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau qadliy qudlah. Kecuali pemberhentian qadliy madzalim. Tak seorangpun memiliki wewenang untuk memberhentikan qadliy madzalim. Yang berhak memberhentikan qadliy madzalim adalah mahkamah madzalim. Sebab, tugas qadliy madzalim berhubungan dengan penyelesaian kedzaliman yang menimpa seseorang yang hidup di bawah kekuasaan negara Islam. Sama saja apakah kedzaliman itu berasal dari khalifah, penguasa negara lain, ataupun pegawai negara. Mahkamah madzalim juga memiliki wewenang mengontrol penyimpangan khalifah terhadap hukum syara’. Termasuk juga penyimpangan khalifah dalam menafsirkan nash-nash syara’ atau hukum-hukum syara’ yang dilegalkan oleh khalifah, maupun penyimpangan lainnya. 

10. Struktur Administrasi. Struktur administrasi merupakan perwujudan (refleksi) dari kemashlahatan departemental dan administratif yang mengurusi seluruh administrasi urusan negara serta kepentingan rakyat. Setiap orang warga negara yang memiliki kemampuan, baik laki-laki maupun wanita, muslim maupun non muslim layak diangkat menjadi direktur untuk mengurusi suatu urusan negara, atau untuk mengurus administrasi urusan negara. Mereka juga berhak menjadi pegawai dalam departemen ini. 

11. Baitul Maal yang secara langsung diatur dan dikontrol oleh khalifah. Khalifah berwenang mengangkat seseorang untuk mengurus Baitul Maal. 

Departemen Baitul Maal akan mengumpulkan semua input berupa harta yang akan didistribusikan kepada kaum muslim berdasarkan keputusan khalifah. Adapun input-input yang akan dikoleksi oleh departemen Baitul Maal adalah sebagai berikut: 

a. Harta rampasan perang, ghanimah, fai’, dan khumus.
b. Kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
c. ‘Usyur, harta gelap yang disita dari penguasa dan pejabat negara, harta sitaan yang diperoleh dari pekerjaan yang tidak disyariatkan, denda, atau seperlima harta dari rikaz dan barang tambang, serta harta-harta yang tidak memiliki ahli waris, harta orang murtasd, dan sebagainya.
d. Pajak yang dibebankan negara kepada rakyat dalam kondisi yang darurat, harta-harta yang diperoleh dari sedekah, dan hadiah. 

12. Al-I’lam (Penerangan) dibawah kontrol langsung khalifah. Khalifah berwenang mengangkat seseorang untuk mengontrol radio dan televisi agar tetap berada dalam kerangka aturan-aturan Islam 

13. Majelis Umat yang merupakan akumulasi dari kaum muslim dalam urusan pengambilan pendapat yang akan disampaikan kepada khalifah. Non muslim boleh menjadi anggota Majelis Umat namun sekedar untuk menyampaikan dakwaan-dakwaan yang berkenaan dengan kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa; atau menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan buruknya penerapan hukum Islam oleh negara. Oleh karena itu, setiap warga negara, laki-laki maupun wanita, muslim ataupun kafir, berhak menjadi anggota majelis umat, jika ia telah baligh, dan berakal. Akan tetapi, keanggotan non muslim dalam majelis umat hanya sebatas menyampaikan dakwaan-dakwaan yang berkenaan dengan kedzaliman yang dilakukan oleh penguasa, atau hal-hal yang berhubungan dengan buruknya penerapan hukum Islam. 

Kewenangan majelis Umat:
1. Setiap perkara-perkara internal negara yang berhubungan dengan musyawarah, maka pendapat Majelis Umat harus diambil. Misalnya, dalam perkara pengaturan urusan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain-lain, pendapat Majelis Umat bersifat mengikat. Akan tetapi, semua perkara yang tidak berhubungan dengan musyawarah, maka pendapat Majelis Umat tidak harus diambil, misalnya dalam hal kebijakan politik luar negeri, finansial, dan tentara. 

Majelis Umat memiliki hak untuk mengoreksi seluruh kerja yang terjadi secara langsung di dalam negara, baik perkara internal, eksternal , finansial, maupun tentara. Pendapat Majelis Umat mengikat selama tidak bertentangan dengan hukum syara’. Jika Majelis Umat berselisih dengan pemerintah dalam suatu aktivitas yang ditinjau dari hukum syara’, masalah semacam ini dikembalikan kepada mahkamah madzalim. 

2. Majelis Umat berhak memperlihatkan keberatannya atas (diangkatnya) wali, ataupun pembantu-pembantu khalifah. Pendapat Majelis umat dalam masalah ini bersifat mengikat. Dalam kondisi semacam ini Khalifah harus memberhentikan pengangkatan wali dan pembantu-pembantu yang tidak disetujui oleh Majelis Umat. 

3. Keputusan-keputusan yang akan dilegalkan dalam perundang-undangan atau konstitusi negara disampaikan khalifah kepada Majelis Umat (MU). Kaum muslim yang menjadi anggota MU berhak mendiskusikan keputusan-keputusan tersebut dan memberikan pendapatnya dalam masalah ini. Namun, pendapat MU dalam masalah ini tidak mengikat khalifah. 

4. mengoreksi Khalifah atas semua aktivitas yang secara praktis terjadi di dalam negara, baik urusanurusan dalam negeri maupun luar negeri, masalah finansial, pasukan, atau selainnya. Pendapat majelis bersifat mengikat dalam masalah yang di dalamnya pendapat mayoritas bersifat mengikat. Sebaliknya, pendapat Majelis bersifat tidak mengikat dalam masalah yang di dalamnya pendapat mayoritas tidak bersifat mengikat. 

5. Kaum muslim yang menjadi anggota Majelis Umat berhak membatasi jumlah orang yang akan diangkat menjadi khalifah. Pendapat mereka dalam masalah ini mengikat. 

Setelah struktur tersebut terbentuk, tinggallah Khalifah menyusun dustûr (UUD) syariah. Sebab, pada dasarnya, penerapan syariat Islam adalah upaya menjadikan syariat Islam sebagai konstitusi (dustûr) dan undang-undang negara (qânûn). Konstitusi syariah adalah, upaya untuk menjadikan syariah Islam sebagai undang-undang dasar negara. Sedangkan undang-undang negara adalah seluruh aturan yang lahir dari konstitusi negara. Konstitusi syariah hanya memuat pokok-pokok terpenting dari syariat Islam yang bisa menggambarkan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh, meskipun dengan redaksi yang global dan ringkas. Di situlah sebenarnya metode penerapan Islam dalam berbagai bidang dipaparkan. 

Metode Penyelesaian Persoalan
Berbagai akad, transaksi (muamalah), dan perkara peradilan yang telah dilangsungkan dan telah selesai penerapannya sebelum berdirinya Khilafah dinilai sah diantara pihak-pihak yang ada hingga berakhir penerapannya sebelum Khilafah berdiri. Peradilan Khilafah tidak akan membatalkannya dan tidak pula memperbaruinya. Demikian pula, tuntutan-tuntutan seputar hal-hal itu tidak diterima lagi setelah berdirinya Khilafah. 

Dikecualikan dari ketentuan tersebut dua kondisi: 1. Jika perkara yang telah ditetapkan dan selesai penerapannya itu memiliki pengaruh (akibat) bersifat kontinu yang menyalahi Islam. 2. Jika perkara tersebut berkaitan dengan orang-orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim. 

Adapun ketiadaan pembatalan berbagai akad, transaksi, dan perkara yang telah ditetapkan dan selesai penerapannya sebelum berdirinya Daulah Khilafah, dan tidak adanya pembaruan atas semua itu di luar dua kondisi yang telah disebutkan, hal itu karena Rasulullah saw. tidak membatalkan berbagai transaksi, akad, dan perkara yang telah diputuskan dan diterapkan pada masa Jahiliah ketika negeri mereka berubah menjadi Dâr al-Islâm. Dari Usamah bin Zaid, Imam Bukhori menceritakan bahwa setelah pembebasan Makkah, Rasulullah saw. tidak kembali ke rumah yang Beliau tinggalkan ketika berhijrah. Itu terjadi ketika ’Aqil bin Abi Thalib—sesuai ketentuan undang-undang Quraisy—mewarisi rumah keluarga Beliau yang telah masuk Islam dan ikut berhijrah. ‘Aqil telah mengelolanya dan telah menjualnya, termasuk rumah Rasulullah saw. Pada saat itu dikatakan kepada Beliau, “Di rumah yg mana Anda akan tinggal (sementara)?” Rasulullah saw. bersabda, “Apakah ‘Aqil meninggalkan rumah untuk kami?” Dalam riwayat lain Beliau bersabda, “Apakah ‘Aqil meninggalkan tempat tinggal untuk kami?”
 
‘Aqil ketika itu telah menjual rumah Rasulullah saw, dan Rasul tidak membatalkan penjualan rumah Beliau itu. Demikian pula, telah dinyatakan bahwa Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’ pada saat masuk Islam dan berhijrah ke Madinah, ketika istrinya, yaitu Zainab binti Rasulullah saw., telah lebih dulu masuk Islam dan telah berhijrah setelah Perang Badar, sementara ia sendiri ketika itu masih musyrik dan tinggal di Makkah. Ketika ia berhijrah ke Madinah, Rasulullah saw. mengembalikan istrinya, yaitu Zainab binti Rasulullah saw. kepadanya tanpa memperbarui akad pernikahannya, sebagai pengakuan atas akad yang telah sempurna dilangsungkan pada masa Jahiliah (HR Ibn dari Ibn Abbas). 

Adapun pembaharuan perkara-perkara yang memiliki pengaruh/konsekuensi kontinu yang menyalahi Islam, dalilnya adalah karena Rasulullah saw. telah membatalkan riba yang masih tersisa atas orang-orang, setelah mereka tinggal di Daulah Islam, dan Beliau menetapkan hak mereka hanya harta pokoknya saja. Artinya, setelah mereka tinggal di Daulah Khilafah, maka riba yang masih tersisa atas mereka menjadi batal. Dalam hal ini, Abu Dawud telah menuturkan riwayat dari Sulaiman bin Amru dari bapaknya yang mengatakan: Aku mendengar Rasulullah saw., pada saat Haji Wada’, pernah bersabda: 

Ingatlah, setiap riba dari riba Jahiliah telah batal. Bagi kalian adalah harta pokok kalian. Kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi.
 
Demikian pula orang yang beristri lebih dari empat orang menurut undang-undang Jahiliah, setelah tinggal di Dâr al-Islâm, mereka diharuskan hanya mempertahankan empat orang saja dari istri-istrinya itu. Imam at-Tirmidzi telah menuturkan riwayat dari Abdullah bin Umar: 

Sesungguhnya Ghilan ibn Salamah ats-Tsaqafi telah masuk Islam. Ia memiliki sepuluh orang istri pada masa Jahiliah. Istriistrinya itu turut masuk Islam bersamanya. Nabi saw. lalu memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja dari sepuluh orang istrinya itu (untuk tetap menjadi istrinya).
 
Atas dasar ini, setiap akad yang memiliki pengaruh/ konsekuensi terus-menerus yang menyalahi Islam, maka pengaruh/konsekuensi itu dibatalkan pada saat Daulah Khilafah berdiri. Misalnya, seandainya seorang wanita muslimah menikah dengan pria Nasrani sebelum khilafah tegak, maka setelah Khilafah berdiri akad pernikahan tersebut dibatalkan sesuai dengan ketentuan hukum syariah (karena Muslimah haram dinikahi oleh laki-laki non-Muslim). 

Adapun hukuman berkaitan dengan orang-orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim, dalilnya adalah karena Rasulullah saw., pada saat Pembebasan Makkah, tetap memutuskan untuk menghukum sekelompok orang yang menyerang Islam dan kaum Muslim pada masa Jahiliah. Beliau memutuskan darah mereka ditumpahkan hingga meskipun mereka bergelantungan di kain penutup Ka’bah. Di samping itu, Rasulullah saw. juga memberi pengampunan kepada sebagian dari mereka seperti pengampunan yang Beliau berikan kepada Ikrimah bin Abi Jahal. Karena itu, Khalifah boleh tetap mengeksekusi perkara mereka yang menyerang Islam dan kaum Muslim sebelum Khilafah berdiri atau memberikan pengampunan kepada mereka. 

Sementara itu, di luar dua kondisi tersebut, berbagai akad, transaksi, dan perkara-perkara yang berlangsung sebelum Khilafah berdiri tidak dibatalkan dan tidak dieksekusi kembali. Syaratnya, semua itu telah berlangsung dan berakhir penerapannya sebelum Khilafah berdiri. 

Adapun jika seseorang dijatuhi hukuman sepuluh tahun dan telah berlangsung dua tahun, kemudian Khilafah berdiri, maka dalam hal ini Khalifah akan memeriksa perkara tersebut. Khalifah bisa menghapuskan sanksi hukuman secara total, mengeluarkan orang tersebut dari penjara, dan membebaskannya dari apa yang telah menimpanya. Bisa juga Khalifah mencukupkan dengan hukuman yang sudah dijalani, yaitu bahwa hukuman yang dikeluarkan Khalifah untuk orang itu adalah dua tahun dan telah selesai dijalani, lalu Khalifah mengeluarkan orang tersebut dari penjara. Bisa juga dipelajari hukuman yang masih tersisa dan dalam perkaranya itu diperhatikan hukum syariah yang memiliki kaitan dengan apa yang memberikan kemaslahatan kepada rakyat, khususnya perkara-perkara yang berkaitan dengan hak-hak perorangan, juga yang berkaitan dengan apa saja yang dapat memberikan kemaslahatan bagi kebaikan keluarga. Allahu Ta’ala A’lam. [Taufik] [www.al-khilafah.org]

Disampaikan di Kandangan, 1 Januari 2013 

[1] Ulasan lebih detail berikut dalilnya bisa dibaca di kitab Ajhizatu Dawlati Al Khilafah


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.