Header Ads

Majelis Mujahidin tolak RUU Ormas

Berikut tanggapan Majelis Mujahidin atas upaya digolkannya RUU Ormas menjadi Undang-Undang oleh DPR RI, rilis disampaikan Majelis Mujahidin kepada redaksi arrahmah.com.



Majelis Mujahidin Menolak RUU Ormas

Kegagalan menyelenggarakan pemerintahan yang adil dan beradab serta mensejahterakan rakyat Indonesia, telah menginisiasi pemerintah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kebebasan berserikat dan berkeyakinan. Apalagi, tindakan tersebut dimotivasi stigma global kaitannya dengan radikalisme, sehingga lahirnya Densus 88, BNPT, UU Pendanaan Terorisme dan UU Migas. Bahkan sekarang merambah langsung ke ranah civil society (kegiatan kemasyarakatan) melalui RUU ormas. Hal ini bukan saja bertentangan dengan kebebasan serta pluralisme yang didengung-dengungkan. Tapi juga kembali ke gaya orba dan mengikuti cara-cara komunis. Masyarakat menjadi milik negara (penguasa).

RUU Ormas tidak jauh berbeda dengan Undang-undang No. 8 Th. 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan rezim Orba yang menjadi alat kontrol terhadap kegiatan masyarakat bagi kepentingan kekuasaan. Pemerintah bebas mengooptasi kegiatan masyarakat dan memberangus ormas dengan dalih kepentingan negara.

Undang-undang represif warisan Orba ini sudah selayaknya ditolak karena akan menjadi legitimasi pemerintah mengendalikan dinamika organisasi masyarakat. Kegagalan pemerintah dibebankan pada ormas, dan menyalahkan masyarakat karena lemahnya keamanan negara. Untuk itu Majelis Mujahidin sebagai institusi penegakan Syari’ah Islam di Indonesia merasa perlu menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:

Memperhatikan :
  1. RUU Ormas yang sedang dibahas oleh DPR saat ini, secara material sama sebagai pengganti UU No. 8 Th. 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan di zaman Orba yang batal demi hukum, seiring dicabutnya asas tunggal dan P4 oleh Presiden BJ Habibie. 
  2. Kegagalan pemerintah memberikan solusi terhadap problem bangsa melalui sistem dan ideologi sekuler dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia; Ekonomi yang hedonis dan amburadul, hukum yang diskriminatif, permisifisme sosial, kriminalitas, dekadensi moral merajalela, korupsi, narkoba serta penistaan martabat manusia, perempuan dan anak-anak.
Menimbang:
  1. Bahwa penindakan tegas terhadap organisasi/oknum institusi yang melakukan tindak kriminal, tidak ada kaitannya dengan RUU Ormas yang sedang dibahas oleh DPR saat ini, karena sudah ada perangkat hukum lain secara konstitusional berlaku di Indonesia untuk menangani masalah tersebut.
  2. RUU Ormas adalah intervensi yang terlalu jauh dari pemerintah ke dalam organisasi kemasyarakatan, yang bisa menjadi legitimasi penguasa melakukan penindakan terhadap ormas diluar koridor hukum yang berlaku.
  3. Perlunya dibuka ruang publik untuk mencari solusi menghadapi berbagai ketimpangan ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan negara; ketika sistim dan ideologi sekuler tidak lagi mampu mengatasinya.
Memutuskan:
  1. Menolak RUU Ormas karena RUU ini telah mengintervensi ormas dengan melakukan manipulasi undang-undang yang bisa dimanfaatkan bagi kepentingan penguasa melakukan kriminalisasi ormas melalui intervensi subyektif serta anti agama. Padahal sudah ada pranata hukum yang mencukupi untuk mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa (bermasyarakat).
  2. Asas tunggal pancasila yang sudah dicabut, maka UU Ormas No. 8 Th. 1985  batal demi hukum, tidak perlu diganti dengan mengganti asas tunggal dengan ‘tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45′ ini dua sisi mata uang yang sama, sehingga riskan membangkitkan kembali rezim repressif. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah, DPR kembali menggunakan cara-cara komunis untuk mengekang kebebasan dan hak asasi manusia.
  3. Di zaman orla Pancasila tidak pernah dijadikan asas tunggal orpol/ormas. Jika sekarang dibangkitkan lagi kemana sesungguhnya orientasi pemerintahan RI paska reformasi?
  4. Pemerintah dan DPR agar menghentikan pembahasan RUU Ormas, karena membahayakan kebebasan berserikat serta ancaman bagi misi penegakan syari’at Islam. Untuk itu pemerintah dan DPR hendaknya berani mengadakan debat terbuka dengan ormas, untuk membahas masa depan Indonesia.
Yogyakarta, 28 – 29 R. Awwal 1434/9-10 Februari 2013 M
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.