Header Ads

Benarkah Pemakan Riba Kekal Di Neraka? (Penjelasan Atha’ Abu Rasytah, dll)

“Barang siapa memakan riba maka dia akan kekal di neraka”, pernyataan ini sering kita dengar dari sebagian dai. Mereka berhujjah dengan kalimat terakhir dari surat Al-Baqarah ayat 275, yang artinya: “dan barangsiapa kembali maka mereka itulah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di  dalamnya” (TQS. Al-Baqarah 275). Mereka memahami kata “kembali” di sana dengan pengertian “kembali memakan riba atau bermu’amalah dengan riba”. Kesimpulannya, hukuman bagi pemakan riba adalah hidup di neraka selama-lamanya tak ubahnya seperti hukuman bagi orang-orang kafir yang tidak memeluk Aqidah Islam.


Pemahaman di atas diamini oleh seorang mufassir dari kalangan Mu’tazilah, yakni Imam Az-Zamakhsyari. Ketika selesai mengutip ayat ini, beliau menegaskan: “ini merupakan dalil yang jelas mengenai kekalnya orang fasiq (di neraka)”[1]. Padahal, sebagian besar ulama, khususnya ahlus sunnah,[2] menolak pendapat ini karena banyaknya dalil yang menunjukkan bahwa siapa saja yang berislam, tidak menyekutukan Allah, maka dia tidak akan kekal di neraka.

Pemahaman bahwa pemakan riba kekal di neraka sebenarnya tidaklah tepat. Mari kita lihat penjelasan Asy-Syaikh Atha’ Abu Rasytah[3] hafidzahullah mengenai potongan ayat ini di dalam kitab tafsir beliau. Beliau menyatakan:

“{dan barangsiapa kembali} yaitu barangsiapa yang kembali ke masa dimana ia berkata: jual-beli sama dengan riba, yaitu kembali menghalalkannya {maka mereka itu penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya} karena dengan ia kembali menghalalkan riba berarti dia telah kafir dan murtad dari Islam. Dan orang kafir itu kekal di dalam neraka”.[4]

Kutipan singkat tersebut memberi penjelasan yang telah mencukupi. Bahwa menurut Abu Rasytah hafidzahullah, yang dimaksud dengan kembali dalam ayat itu bukanlah kembali memakan riba, melainkan kembali berpendirian bahwa jual-beli sama dengan riba. Sementara itu, menyamakan jual-beli dengan riba jelas merupakan kukufuran, yakni pengingkaran terhadap hukum Allah yang tak diragukan keabsahannya (qath’i).

Kesamaan antara jual-beli dan riba yang mereka maksud adalah bahwa menurut mereka keduanya sama-sama sah dipraktekkan, sama-sama boleh alias sama-sama halal. Pernyataan ini langsung disanggah oleh Allah (artinya) :”padahal Allah (sebelumnya) telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Artinya, pernyataan mereka bahwa jual-beli sama dengan riba merupakan suatu bentuk menentangan, pelecehan dan pengingkaran terhadap ketetapan Allah yang telah mereka dengar secara jelas sebelumnya. Di sinilah letak kekufuran orang yang mengatakan bahwa jual-beli sama dengan riba. Sebab, dia telah mengingkari hukum Allah yang bersifat qath’i (pasti).

Ibnu Katsir menyatakan: “maksudnya: mereka dihukum seperti itu disebabkan karena penentangan mereka terhadap ketetapan-ketetapan Allah di dalam SyariatNya. Perkataan mereka itu bukan bermaksud mengqiyaskan riba dengan jual-beli, sebab orang-orang musyrik tidak mengakui legalitas hukum asal jual-beli yang disyariatkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Seandainya (perkataan mereka) ini merupakan qiyas niscaya mereka akan mengatakan: “sesungguhnya riba itu sama saja dengan jual-beli”. tetapi mereka berkata: “sesungguhnya jual-beli sama saja dengan riba”, artinya: jual-beli itu serupa dengan riba, lantas mengapa Dia mengharamkan yang ini lalu membolehkan yang itu? Inilah penentangan mereka terhadap syariat”.[5]

Pendapat Syaikh Atha Abu Rusytah itu bukan pendapat yang menyendiri. Para mufassir telah menjelaskan hal yang serupa dengan penjelasan beliau. Berikut adalah kutipan dari beberapa mufassir:

Asy-Syaukani menyatakan: “{dan barang siapa yang kembali} kepada perbuatan makan riba dan bermuamalah dengannya {maka mereka itu penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya}”.. dan ada yang menyatakan bahwa pengertian {dan barang siapa yang kembali} adalah kembali kepada pendapat bahwa {sesungguhnya jual beli sama dengan riba} sehingga dia dianggap kufur karenanya, dengan (kekufuran) itu dia kekal (di neraka). Jika menggunakan asumsi penafsiran yang pertama, maka kekekalan yang dimaksud merupakan metafor, dalam arti hiperbolik (mubalaghah), sebagaimana perkataan orang Arab: “seorang raja yang kekal”, maksudnya: berumur panjang. Pengalihan kepada ta’wil ini hukumnya wajib berdasarkan hadits-hadits mutawatir mengenai keluarnya orang-orang yang bertauhid dari neraka”.[6]

Al-Qurthubi menyatakan: “{dan barang siapa kembali}, maksudnya melakukan riba sampai meninggal. Ini merupakan pendapat Sufyan. Ulama selain beliau menyatakan: barang siapa kembali berkata bahwa jual-beli sama dengan riba maka dia telah kafir. Ibu ‘Athiyyah menyatakan: jika ayat itu kita asumsikan tertuju kepada orang yang kafir (kepada keharaman riba) maka kekekalan yang dimaksud merupakan kekekalan dalam makna sebenarnya (hakiki), namun jika ayat itu kita asumsikan bicara mengenai seorang muslim yang bermaksiat, maka kekekalan itu bermakna metafor dengan membawa pengertian hiperbolik (melebih-lebihkan).”[7]

Ibnul Jauzi menyatakan: “Firman Allah (artinya): {dan barangsiapa kembali}, berkata Ibnu Jabir: barangsiapa kembali kepada riba karena menghalalkannya dengan alasan {sesungguhnya jual-beli sama saja dengan riba}”.[8]

Al-Baghawi dalam tafsirnya menyatakan: “{dan barangsiapa kembali} menghalalkan makan riba setelah pengharamannya.”[9]

Ibnu ‘Athiyyah menyatakan: “Firman Allah Ta’ala (artinya): {dan barangsiapa kembali} maksudnya kembali mengerjakan riba dan mengatakan {sesungguhnya jual-beli sama dengan riba}. Jika ayat itu kita asumsikan tertuju kepada orang yang kafir (kepada keharaman riba) maka kekekalan yang dimaksud merupakan kekekalan dalam makna sebenarnya (hakiki), namun jika ayat itu kita asumsikan bicara mengenai seorang muslim yang bermaksiat, maka kekekalan itu bermakna metafor dengan pengertian hiperbolik (melebih-lebihkan). sebagaimana perkataan orang Arab: “seorang raja yang kekal” (malikun kholidun), untuk menyatakan kelestarian segala sesuatu yang tidak kekal secara hakiki”.[10]

As-Suyuthi menyatakan: “maksudnya kembali kepada riba setelah diharamkan, lalu mereka menghalalkannya dengan perkataan mereka “sesungguhnya jual-beli sama saja dengan riba” {maka mereka itu penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya} maksudnya mereka tidak mati”.[11]

Al-Baidhowi menyatakan: “{barang siapa kembali} kembali menghalalkan riba, mengingat konteks pembicaraannya mengenai hal ini {maka mereka adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya} karena mereka mengingkari keharamannya”.[12]

Kesimpulan

Ayat tersebut tidak mengancam seorang mu’min yang melakukan perbuatan maksiat berupa memakan riba. Namun, ayat tersebut tertuju kepada mereka yang menolak hukum keharaman riba. Mereka dianggap orang kafir. Jika sebelumnya beriman, maka dengan pengingkarannya terhadap keharaman riba itu berarti dia telah keluar dari Islam. Adapun seorang beriman yang percaya sepenuhnya bahwa Allah mengharamkan riba, namun karena sebab tertentu dia terjerumus kedalam mu’amalah ribawi, maka dia dianggap sebagai seorang yang bermaksiat, dia dihukum karena dosanya, namun tidak kekal di neraka. Meski demikian, memakan riba tetap merupakan dosa besar yang kita berlindung kepada Allah dari dosa yang demikian itu. Wallahu a’lam bish-showab [titokpriastomo/www.al-khilafah.org]


[1] Lihat Al-Kassyaaf ‘an haqaaiqi ghawaamidhit tanziil wa ‘uyuunil aqaawiil fii wujuuhit ta’wiil
[2] Lihat hasyiyah (catatan pinggir) al-Kasysyyaaf
[3] Beliau adalah pimpinan Hizbut Tahrir yang sekarang
[4] Atha’ Abu Rasytah, at-taisiir fii Ushulit tafsiir (Beirut: Darul Ummah, 2006), 308
[5] Lihat: tafsirul Qur’anil ‘Adziim
[6] Lihat: Fathul Qadiir
[7] dalam al-Jami’ liahkamil Qur’an
[8] dalam Zaadul Masiir
[9] Dalam Ma’aalimut tanziil
[10] Dalam Muharrirul Wajiiz
[11] dalam ad-Durrul Mantsur
[12] Dalam Anwaarut tanziil

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.