Header Ads

Muslim Tidak Sama Dengan Nasionalis [Part 2]

Oleh : Ridwan Taufik Kurniawan

Kalau cinta tanah air itu fitroh, salahkah menjadi nasionalis? Sebelum kita menjawabnya, memang harus diperjelas dulu, cinta tanah air itu apa, nasionalis itu apa… Cinta tanah air seperti dijelaskan di status sebelumnya memang termasuk cinta yang fitri. Secara otomatis siapa pun akan lebih mencintai tanah air kampung halamannya dibanding tanah air kampung halaman yang lain. Saya lahir di Banjarmasin, Indonesia, karenanya saya mencintainya. Kalau ada pertandingan bola Barito Putera melawan Macan Kemayoran misalnya, saya bisa pegang salah satunya karena alasan ‘cinta’. Inilah cinta tanah air. Ia merupakan fitroh (baca: anugerah dari Tuhan).


Lalu nasionalis itu apa? Nasionalis adalah sebutan orang yang memegang nasional-isme. Karena diakhiri –isme, kita mengherti bahwa ini adl sebuah paham. Paham apa? Paham yang menjadikan pengabdian kepada nation state (negara bangsa) sebagai pengabdian tertinggi dalam hidup, mengalahkan pengabdian kepada selainnya. Maka belum nasionalis orang yang mendukung kesebelasan Indonesia, lalu menganjing-anjingkan lawannya, Malaysia misalnya. Gak masalah, wong suporter nasionalis Malaysia juga meng-indon-indon-kan, sambil menginjak bendera Indonesia! Gak peduli lagi kalau mereka sama-sama muslim, dan sudah dipersaudarakan dalam Islam. Gak sadar lagi kalau dulunya diantara mereka tidak ada sekat bangsa dan bendera. Gak sadar lagi pemisah mereka dulunya cuma karena Indonesia dijajah Belanda, sedang Malaysia dijajah Inggris Raya. Itulah nasionalis, itulah nasionalisme!

Sudah bisa membedakan cinta tanah air dan nasionalisme?

Rasulullah SAW mencintai istrinya Khadijah. Beliau bersedih saat sang istri meninggalkan beliau lebih dahulu. Sama bersedihnya saat harus meninggalkan tanah kelahiran, Makkah, menuju Madinah. Namun hijrah ke Madinah adalah keharusan, karena merupakan perintah dari Dzat yang cinta kepadanya adala cinta paling tinggi. Demikian pula yang terjadi dengan shahabat radhiallahuanhum ajma’in. Bersedih saat harus pindah dari kampung halaman tercinta. Meninggalkan pekerjaan, harta, dan sanak saudara, demi menjalankan ‘titah cinta’. Sehingga saat futuh (pembebasan) Makkah, diantara mereka ada yang bersujud di tanah, mengangkat lalu mencium tanah yang mereka rindu-rindukan.

Namun sayangnya, Allah tidak perkenankan kita mencintai tanah air diatas cinta kita kepada Allah, Rasul-Nya, dan Jihad fisabilillah.

Nabi bersabda, “Bukan dari umatku orang yang menyeru kepada ‘ashabiyah (fanatisme golongan, termasuk didalamnya Nasionalisme dan sukuisme), dan bukan dari umatku orang yang berperang di atas ‘ashabiyah, dan bukan dari umatku orang yang mati di atas ‘ashabiyah.” (HR. Abu Dawud)

Islam telah mempersaudarakan kita (49:10), sebagaimana Islam persaudarakan Anshor dengan Muhajirin, juga Aus dengan Khazraj. Bilal si belian hitam dari Afrika dengan Salman dari Persia. Ajaran Islam juga memerintah kita untuk berpegang teguh pada tali agama Allah (Al-Islam) dan tidak bercerai berai (3:103). Fakta ini bertentangan dengan nasionalisme yang mencerai berai dan mencederai kesatuan kaum muslimin. Selain itu, niat perjuangan yang salah (berperang bukan karena Allah misalnya) bisa menjerumuskan pelakunya ke neraka, “seperti orang jahiliyah”.

Nabi bersabda, Barangsiapa terbunuh karena membela bendera kefanatikan yang menyeru kepada ‘ashabiyah (fanatik golongan, termasuk didalamnya Nasionalisme dan sukuisme) atau mendukungnya, maka matinya seperti mati Jahiliyah.” (HR. Muslim)

Saya muslim, saya cinta tanah air, tapi tidak nasionalis. [www.al-khilafah.org]

Baca sebelumnya Muslim Tidak Sama Dengan Nasionalis [Part 1]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.