Header Ads

Rp1,18 Miliar, "Harga Standar" Dapat Kursi di DPR RI

Harga satu kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat ternyata sangat mahal untuk ukuran orang Indonesia. Kalkulasi sebuah lembaga survei, ongkos untuk mendapatkannya dengan proses politik yang sedang berlangsung ini sekitar Rp1,18 miliar.



Angka itu didapatkan lembaga Policy Research Network (PRN) yang melakukan penelitian harga ideal sebuah kursi DPR di Senayan. Mereka menghitung biaya komponen sebagai investasi politik.

"Untuk memperoleh kursi itu butuh dana Rp 700juta-Rp1,18 miliar. Ini harga yang wajar," kata Peneliti UI, Teguh Dartanto, usai seminar "Menjadi Wakil Rakyat: Investasi dan relasi calon legislatif." Acara berlangsung di Jakarta, Rabu 19 Maret 2014.

Komponen-komponen yang dihitung ada lima item, yaitu alokasi untuk percetakan, tekstil, transportasi dan komunikasi, jasa komunikasi media, dan pengerahan massa.

"Komponen ini di hitung berdasarkan pengeluaran tertinggi sesuai alokasi," kata dia.

Menurut Teguh, ongkos sebesar itu masuk kategori pengeluaran yang wajar, karena bakal tertutupi dari pemasukan bila terpilih menjadi anggota DPR.

Kewajaran ini berdasarkan perhitungan pengeluaran dan pemasukan yang diterima oleh anggota DPR selama masa jabatan lima tahun. Ia mengakategorikan ini kedalam pola wajar dan tidak wajar.

"Contohnya kursi di Senayan. Kita hitung untuk dapat satu kursi Rp1,18 miliar wajar. Kenapa? Karena dalam lima tahun pendapatan anggota DPR di Senayan berdasarkan perhitungan berkisar Rp5 miliar," ujarnya.

Sangat Ambisius

Nilai 1,8 miliar itu baru dianggap rata-rata, merogoh kocek hingga Rp4,5 miliar pun masih dianggap wajar. Namun, ungkap Teguh, selama ini ada caleg yang mengeluarkan anggaran di atas Rp6-9 miliar.

"Ini tidak rasional. Secara sederhana dari mana dia bisa menutup pengeluaran dia saat kampanye. Ini mempunyai kemungkinan saat dia terpilih  menjadi koruptor. Ini harus dicurigai," katanya.

"Biasanya caleg ini sangat ambisius dan mempunyai keyakinan akan terpilih menjadi anggota DPR," lanjut Teguh.

Ketidakwajaran juga muncul dari para caleg bermodal minim. Seperti tukang ojek. Tukang bakso, sopir angkot.

"Bujet mereka rata rata di bawah Rp 40 juta. Ini modal nekat. Namun bukan berarti mereka tidak mempunyai peluang. Bila punya modal sosial tinggi mereka bisa menang. Misalkan mantan ketua RT, naik jadi RW dan seterusnya dimana kinerjanya baik dan mendapat perhatian dari masyarakat." (ren) [viva/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.