Header Ads

Bercermin dari JIS, Pendidikan Harus Dilandasi Aqidah

Bercermin dari JIS, Pendidikan Harus Dilandasi Aqidah
Pedofilia tengah mengancam anak didik kita. Peristiwa yang terjadi di Jakarta International School (JIS) menunjukkan bahwa sekolah bertaraf Internasional telah gagal dalam menyelenggarakan pendidikan yang menjaga kehormatan manusia. Ketiadaan landasan aqidah dalam sistem pendidikan sekular, membuktikan bahwa aqidah mutlak diperlukan. Untuk mengulasnya, berikut ini merupakan hasil wawancara dengan Ustadzah Nida Sa’adah, SE.,Ak., M.E.I, selaku Ketua Lajnah Khusus Intelektual MHTI.


Peristiwa “pedofilia” yang terjadi di sekolah bertaraf Internasional (JIS) menunjukkan bahwa sekolah bertaraf Internasional telah gagal dalam menyelenggarakan pendidikan yang menjaga kehormatan manusia, bagaimana menurut ibu?

Betul sekali, peristiwa perusakan anak di lingkungan JIS adalah bukti nyata yang semestinya membukakan mata seluruh masyarakat di Indonesia tentang standar kualitas pendidikan. Sekolah bertaraf internasional gagal memberi bukti nyata mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Karena bisa jadi konsep standar kualitas nya memang tidak sejalan dengan tujuan hakiki proses pendidikan yang berlangsung pada generasi.

Pengembangan SBI (sekolah bertaraf internasional) di Indonesia didasari oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3. Dalam ketentuan ini, pemerintah didorong untuk mengembangkan satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Sejak digulirkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, Sekolah-sekolah pun berlomba-lomba meningkatkan kualitas pembelajaran dengan tujuan untuk mendapatkan gelar atau sebutan antara lain; SSN (Sekolah Standar Nasional), RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Sekolah yang mendapatkan ketiga predikat tersebut akan meningkatkan nilai jual sekolah tersebut. Jadi target utamanya memang meningkatkan pangsa pasar.

Bagaimana pendapat Ibu terhadap anggapan sebagian besar rakyat bahwa sekolah yang berstatus/bertaraf Internasional menjanjikan “kualitas” sekalipun “kering dari keimanan dan moral” ditambah dengan biaya yang super “Mahal”?

Standar internasional yang dituntut dalam SBI adalah Standar Kompetensi Lulusan, Kurikulum, Prosees Belajar Mengajar, SDM, Fasilitas,Manajemen, Pembiayaan, dan Penilaian standar internasional. Dalam SBI, proses belajar mengajar disampaikan dalam dua bahasa yaitu bahasa Inggrisdan bahasa Indonesia.

Terlihat memang kualitas yang dijanjikan semuanya hanya berukuran materialistik semata, tidak ada jaminan penjagaan dan upaya membangun nilai-nilai kemuliaan sebagai manusia. Jadi memang sejak awal tidak ada perhatian khusus terhadap proses pendidikan sebagai upaya membentuk sosok manusia yang luhur.

Tentang biaya pendidikan sekolah mahal kenapa menjadi pilihan?

Ini sangat tergantung pada cara berpikir masyarakat terhadap pendidikan anak-anaknya. Pendidikan dipandang sebagai investasi untuk membangun kehidupan ekonomi yang lebih baik. Karena investasi, mahal pun tidak menjadi masalah. Karena akan ada pengembalian pada masa mendatang pada kehidupan sang anak.

Pendidikan tidak lagi dipahami secara fokus sebagai upaya membangun kepribadian yang baik, membuat orang berperilaku luhur, sekaligus pada saat yang sama sangat menguasai ilmu untuk meninggikan peradaban.

Di satu sisi, masyarakat terbawa opini bahwa sekolah Islam yang ada saat ini identik dengan kesederhanaan dan ketertinggalan dalam “kualitas” sehingga sangat lemah untuk berkompetisi. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Sistem pendidikan saat ini, baik yang berlabel Islam atau bukan, semuanya mengacu kepada rumusan standar yang sama yang ada di dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU tersebut sampai hari ini terbukti tidak mampu membangun kualitas generasi di Indonesia bisa melejit dan terdepan, membangun negara pemimpin peradaban.

Dengan rumusan standar kualitas yang selalu mengekor negara barat, penyiapan SDM di Indonesia sebagaimana profil yang diinginkan dalam rumusan-rumusan kesepakatan internasional, diperparah lagi dengan beban biaya pendidikan yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat, maka upaya membangun generasi berkualitas semakin sulit diwujudkan.

Kondisi ini berbeda sekali dengan sistem pendidikan dalam Negara Khilafah.Tujuan umum pendidikan dalam Negara Khilafah adalah Membina kepribadian islami dengan jalan menanamkan tsaqâfah Islam sebagai sistem keyakinan, pemikiran dan perilaku. Dan Mempersiapkan generasi yang memiliki keahlian dan spesialisasi di seluruh bidang kehidupan; kedokteran, biologi, kimia, fisika, dan lain sebagainya.

Bagi non-muslim, tidak akan ada paksaan dalam keyakinan beragama. Tetapi dalam kehidupan bermasyarakat dia harus mengikuti mekanisme hukum Islam yang berlaku, yang akan menjaga martabat siapapun sebagai manusia. Jadi ukuran kualitas generasi, bukan hanya dalam ukuran materialistik. Tetapi memadukan antara sosok ilmuwan mumpuni dengan kepribadian luhurnya sebagai manusia.

Upaya mewujudkan sosok generasi demikian, tidak hanya bisa diakses oleh orang-orang yang mampu. Tapi bisa diraih oleh siapapun, baik kaya atau miskin. Karena pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab penuh negara.

Negara Khilafah menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang agama, suku, dan ras. Negara Khilafah bertanggung jawab sepenuhnya dalam menyediakan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya.

Sebenarnya bagaimana pandangan Islam terkait keberadaan sekolah bertaraf Internasional (milik asing) yang ada di suatu negara (izin dan penyelenggaraannya)?

Berawal dari pandangan Islam bahwa kurikulum pendidikan harus tunggal, maka tidak diperkenankan adanya kurikulum lain selain kurikulum yang ditetapkan Negara Khilafah. Lembaga pendidikan swasta boleh berdiri selama kurikulum pendidikannya terikat dengan kurikulum Negara Khilafah dan berdiri di atas asas kebijakan umum pendidikan Negara Khilafah. Dan sekolah-sekolah milik asing pasti tidak akan bisa memenuhi kriteria itu. Oleh karenanya, sekolah asing tidak selayaknya ada.

Ditambah lagi saat ini, dibukanya akses pendirian sekolah milik asing di Indonesia, karena pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia belum berhasil membuat rumusan standar yang mandiri yang terbukti mewujudkan generasi unggul.

Diperparah lagi dengan kontrol yang lemah, sehingga banyak sekolah tidak berizin, bisa berdiri puluhan tahun dengan jumlah siswa yang sangat banyak. Menurut Dirjen PAUD Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 111 sekolah internasional yang belum mengantongi izin.

Bagaimana sistem pendidikan dalam Khilafah Islamiyah, apakah mampu menghasilkan “output” yang berkualitas mendunia tanpa kehilangan moral dan perilaku yang baik?

Bukan hanya mampu, tetapi banyak sekali output berkualitas yang dihasilkan dalam sistem pendidikan Negara Khilafah. Mereka bukan hanya ilmuwan pada bidangnya, namun juga merupakan sosok manusia yang sangat baik perilakunya.

Rasulullah saw banyak menyerukan ayat al-Quran dan hadits yang berisi perintah untuk menimba ilmu. Pada masa Khalifah Abu Bakar ra, ada sosok Usamah yang menjadi panglima pada usia 18 tahun. Di masa Umayyah, ada Abu al Qasim Abbas Ibn Farnas, ahli kimia, baik kimia murni maupun terapan yang merupakan dasar bagi ilmu farmasi yang erat kaitannya dengan ilmu kedokteran. Ada Abu al Qasim al Zahrawi, dokter bedah, perintis ilmu penyakit telinga, pelopor ilmu penyakit kulit, yang di Barat dikenal dengan Abulcasis. Karyanya berjudul al Tashrif li man ‘Ajaza ‘an al Ta’lif, dimana pada abad XII telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genoa (1497M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778 M) buku tersebut menjadi rujukan di universitas-universitas di Eropa.

Pada masa Abbasiyah, ada Ibnu Sina. Ia merupakan seorang dokter dan filsuf Islam yang ternama. Di Barat ia dikenal dengan nama Avicenna. Sejak kecil, Ibnu Sina mempelajari Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Setelah itu, ia mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, metafisika, dan kedokteran.

Ibnu Sina meninggalkan tidak kurang dari 200 karya tulis. Buku-bukunya yang terkenal, antara lain Asy-Syifa’ (Penyembuhan). Sebuah buku yang menjadi literature penting dalam dunia kedokteran di Eropa, dan Al-Qanun fit-Tibb (Peraturan-peraturan dalam Kedokteran).

Ada Ar-Razi, yang bernama lengkap abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi. Didunia Barat dikenal dengan nama Rhazes. Beliau terkenal sebagai dokter pertama dalam pengobatan secara ilmu jiwa, yakni pengobatan yang dilakukan dengan memberi sugesti bagi para penderita psikomatis.

Di masa Utsmaniyah, ada Syeikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Beliau adalah seorang qadhi (hakim), penyair, sasterawan, dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah. Dan masih banyak lagi ribuan nama lainnya.

Gaston Wiet dari Universitas Oklahoma mengemukakan: People of the west should publicly express their gratitude to the scholars of the Abbasid period, who were known and appreciated in Europe during the Middle Ages.

Apa yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan generasi dari kerusakan yang terjadi secara sistemik ?

Saat ini secara pribadi yang bisa kita lakukan hanyalah sebatas menanamkan nilai-nilai yang baik, membangun pola pikir dan pola sikap yang mengacu kepada Islam, dan berusaha memberikan lingkungan pergaulan yang baik . Namun langkah-langkah itu tidak akan seefektif langkah-langkah koordinatif yang dirumuskan dalam paket-paket kebijakan negara. Kebijakan menata media agar tidak merusak generasi, lingkungan sosial yang turut menjaga generasi, termasuk menata sistem peradilan yang akan memberi sanksi keras bagi pelaku perusak generasi dalam proses peradilan yang tidak bertele-tele.

Bagaimana pandangan Ibu terkait peran negara dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas untuk menghasilkan generasi yang mampu membangun peradaban Islam yang kuat dan terdepan?

Semestinya Negara bukan hanya berperan sebagai regulator. Negara bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan proses pendidikan, mulai dari penetapan content yang diajarkan, memastikan kualifikasi para pengajar, menyediakan infrastruktur yang sangat baik secara gratis mulai dari jenjang tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dan menerapkan berbagai kebijakan terhadap sub-sistem di luar pendidikan agar tidak merusak ouput pendidikan. Mengatur media, mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, termasuk menerapkan sanksi yang tegas bagi pelaku kriminal.

Semua itu hanya bisa diimplementasikan dalam Negara Khilafah yang menerapkan sistem hukum Islam dalam peraturan perundangannya.

Dalam sejarah panjang peradaban Khilafah selama seribu tahun lebih, tidak pernah terjadi kasus seperti yang terjadi di lingkungan JIS hari ini.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan sistem pendidikan seperti itu?

Terus berupaya membangun kesadaran masyarakat. Mari bersama-sama semua komponen masyarakat di Indonesia, terutama dari kalangan dunia pendidikan, membenahi keadaan ini dengan menyadari penyebab utamanya.

Peristiwa memilukan di JIS ini berawal dari tidak diterapkannya mekanisme pendidikan yang mengacu kepada Syariat (hukum) Islam dalam sistem negara Khilafah Islam. Upaya membangun kesadaran masyarakat luas tentang hal ini sangat penting, sebagai proses menuju perubahan negara.

Dalam pendidikan di Negara Khilafah, muslim dan non-muslim selaku warga negara akan mendapatkan proses pendidikan yang sangat baik secara bebas biaya. Muslim dan non-muslim juga akan selalu berada dalam lingkungan yang sangat baik, yang senantiasa menjaga keluhurannya sebagai sosok manusia. [][htipress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.