Header Ads

Taushiyah Ramadhan: Ambisi ‘Duniawi’

Taushiyah Ramadhan: Ambisi ‘Duniawi’
“Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ‘ulama. Adapun kerusakan ‘ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia niscaya tidak mampu menguasai ‘kerikilnya’, bagaimana mungkin dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar.”[Imam Al Ghazali]



Abu Nu’aim al Ashbahâny (w. 430 H), dalam kitabnya, Hilyatul Awliyâ wa Thabaqâtul Ashfiyâ’, Juz 6 hal 338, meriwayatkan dari Imam Sufyan Ats Tsauri bahwa

حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ، ثَنَا مَحْمُودُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْفَرَجِ، ثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَمْرٍو الْبَجَلِيُّ، ثَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، قَالَ: قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ، وَالْمَالُ فِيهِ دَاءٌ كَثِيرٌ، قِيلَ: يَا رَوْحَ اللهِ: مَا دَاؤُهُ؟ قَالَ: لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ قَالُوا: فَإِنْ أَدَّى حَقَّهُ؟ قَالَ: لَا يَسْلُمُ مِنَ الْفَخْرِ وَالْخُيَلَاءِ، قَالُوا: فَإِنْ سَلِمَ مِنَ الْفَخْرِ وَالْخُيَلَاءِ؟ قَالَ: يَشْغَلُهُ اسْتِصْلَاحُهُ عَنْ ذِكْرِ اللهِ

‘Isa bin Maryam as berkata: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak.”Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?” Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.” Mereka bertanya lagi: “Jika haknya sudah ditunaikan?” Beliau menjawab:“Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.”

Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?” Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan diri dari mengingat Allah.”

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:

مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ[1]

“Barangsiapa yang dunia menjadi perhatian utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, dan Allah akan menjadikan kemiskinannya ada didepan matanya dan tidaklah dunia akan mendatanginya kecuali apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa menjadikan akhirat sebagai niatannya, maka Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan dalam hatinya, serta dunia akan mendatanginya.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thabrany, dan Abu Ya’la).

Jika ambisi duniawi begitu membahayakan kehidupan kita, mengapa tidak sedikit orang menjadikan dunia baik berupa jabatan, harta, popularitas ataupun kesenangan seksual sebagai tujuan hidupnya?. Ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu tergantung penawaran “wani piro?”, jika mendapatkan banyak “bunga dunia” dia akan lakukan, yang awalnya dibencipun akan berbalik dicintai dan didukung, sebaliknya jika tidak ada “bunga dunia” yang akan didapatkan, apalagi jika membahayakan harta atau popularitasnya maka tidak akan dilirik apalagi dilakukan.

Sebab utama yang menjadikan hal tersebut adalah lupa akan hari akhir dan kedahsyatannya, lupa bahwa kenikmatan yang diberikan Allah akan dimintai pertanggungjawaban, lupa bahwa kenikmatan tersebut bisa diambil oleh pemberinya kapan saja, ia bisa mati kapan saja walaupun dia sehat. Dikisahkan bahwa Imam al Hasan al-Bashri r.a pernah berjalan melewati orang-orang yang sedang tertawa-tawa. Lalu beliau bertanya kepada orang itu, “Saudaraku, apakah engkau pernah melewati titian akhirat (sirath) ?” Orang itu menjawab, “Belum.” Lalu, beliau bertanya kembali, “Kalau begitu, kenapa engkau tertawa seperti ini, padahal hari-hari kelak amatlah sulit ?”

Ambisi duniawi, jika itu merasuki jiwa ‘ulama maka rusaklah ‘ulama tersebut, halal-haram bisa ditetapkan tergantung ‘negosiasi’, kewajiban bisa disembunyikan asal cocok ‘harganya’ , ketika ‘ulamanya rusak maka rusaklah penguasanya, dia bisa melegalkan apa yang diharamkan Allah dan sebaliknya, ketika ini terjadi maka rusaklah urusan rakyat, mereka hidup dalam sistem yang menjauhkan mereka dari ketaatan kepada Allah swt. Ingin bermaksiyat dipersilakan bahkan difasilitasi dan dibuatkan aturannya, ingin taat juga dipersilakan, walaupun sebagian ketaatan dipersulit, atau dilarang. Inilah yang disinggung oleh Imam al Ghazali dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin, juz 2, hal.357: 

ففساد الرعايا بفساد الملوك وفساد الملوك بفساد العلماء وفساد العلماء باستيلاء حب المال والجاه ومن استولى عليه حب الدنيا لم يقدر على الحسبة على الأراذل فكيف على الملوك والأكابر

“Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ‘ulama. Adapun kerusakan ‘ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia niscaya tidak mampu menguasai ‘kerikilnya’, bagaimana mungkin dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar.”[2]

Namun demikian kenikmatan duniawi tidaklah diharamkan sama sekali, yang perlu diingat adalah bahwa semua nikmat tersebut akan dimintai taggungjawab di akhirat kelak, dengan cara apa memperolehnya dan dalam rangka apa digunakannya. Allahu A’lam.[M. Taufik N.T][www.al-khilafah.org]


[1] هَذَا إِسْنَاد صَحِيح رِجَاله ثِقَات رَوَاهُ أَبُو دَاوُد الطَّيَالِسِيّ عَن شُعْبَة رَوَاهُ بِنَحْوِهِ وَرَوَاهُ الطَّبَرَانِيّ بِإِسْنَاد لَا بَأْس بِهِ وَرَوَاهُ ابْن حبَان فِي صَحِيحه بِنَحْوِهِ وَرَوَاهُ أَبُو يعلى الْموصِلِي من طَرِيق أبان بن عُثْمَان عَن زيد بن ثَابت وَله شَاهد من حَدِيث أبي هُرَيْرَة رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ فِي الْجَامِع وَابْن ماجة
[2] Di hal150 juz 2: إنما فسدت الرعية بفساد الملوك وفساد الملوك بفساد العلماء فلولا القضاة السوء والعلماء السوء لقل فساد الملوك خوفاً من إنكارهم


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.