Header Ads

Hukum Membunuh Jiwa yang Tidak Halal untuk Ditumpahkan

Hukum Membunuh Jiwa yang Tidak Halal untuk Ditumpahkan
(Peringatan Keras Terhadap Pembunuhan Atas Almarhuum Asy-Syahiid -In Syaa Allah-, Tokoh Senior Pejuang Khilafah Suriah)

Oleh: Irfan Abu Naveed (Admin web tsaqafah: www.irfanabunaveed.com)

Pembunuhan atas seseorang yang tidak halal darahnya untuk ditumpahkan secara sengaja adalah perkara besar yaa ikhwah, dan kita berlindung kepada Allah darinya. Dalam nash al-Qur’an, Allah ’Azza wa Jalla menegaskan dengan ungkapan yang sudah semestinya menimbulkan khawf atas siksa-Nya dan rajâ’ kepada rahmat-Nya (dijauhkan dari perbuatan keji tersebut):

وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا

”Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Siapa saja dibunuh secara zalim, sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 33).

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta Dia menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 93)

Al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H) ketika menafsirkan ayat di atas di antaranya menuturkan:

“وغضب الله عليه”، يقول: وغضب الله عليه بقتله إياه متعمدًا “ولعنه” يقول: وأبعده من رحمته وأخزاه “وأعد له عذابًا عظيمًا”، وذلك ما لا يعلم قدر مبلغه سواه تعالى ذكره.

“Dan Allah murka kepadanya” yakni Allah murka kepadanya atas pembunuhan secara sengaja tersebut, “dan Allah melaknatnya” yakni Allah menjauhkannya dari rahmat-Nya dan menghinakannya, “dan Dia menyediakan baginya ‘adzab yang besar” dan adzab ini tidak ada yang mengetahui kadar siksanya kecuali Allah –Subhânahu wa Ta’âlâ-.”[1]

Makna kata la’ana, sebagaimana dimaknai para ‘ulama sebagai berikut:

اللعن في اللغة: هو الإبعاد والطرد من الخير و قيل الطرد والإبعاد من الله ومن الخلق السب والشتم. و أما اللعن في الشرع: هو الطرد والإبعاد من رحمة الله وهو جزء من جزئيات المعنى اللغوي فمن لعنه الله فقد طرده وأبعده عن رحمته واستحق العذاب. و الأعمال التي لعن مقترفها هي من كبائر الذنو.

“Lafazh al-la’nu secara bahasa yakni jauh dan terhempas dari kebaikan, dikatakan pula yakni terjauhkan dari rahmat Allah dan dari makhluk-Nya secara terhina dan terkutuk. Adapun makna laknat (al-la’n) secara syar’i adalah terhempas dan terjauhkan dari rahmat Allah dan makna ini merupakan bagian dari maknanya secara bahasa pula, maka barangsiapa yang dilaknat Allah, maka Allah telah menghempaskan dan menjauhkannya dari rahmat-Nya dan layak mendapatkan adzab-Nya. Dan perbuatan-perbuatan yang terlaknat itu merupakan dosa besar.”[2]

Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan:

معنى اللعن : الطرد والإبعاد على سبيل السخط، وذلك من الله — في الآخرة عقوبة، وفي الدنيا انقطاع من قبول رحمته وتوفيقه

“Makna al-la’nu adalah terhempas dan terjauhkan masuk ke jalan kemurkaan, yakni terhempas dan terjauhkan dari Allah –Subhânahu wa Ta’âlâ-, di akhirat mendapat siksa, dan di dunia ia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.”[3]

Menurut Muqatil bin Hayyan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Hatim (w. 327 H), makna frase (عَذَاباً عَظِيْمًا) yakni (عَذَاباً وَافِرًا) yakni adzab yang besar.[4] Dimana kadarnya hanya Allah Yang Maha Tahu. Adzab di dalam ayat tersebut bisa jadi adzab yang sangat pedih berupa siksa api neraka dan atau siksaan di dunia. Imam ats-Tsa’labi (w. 427 H) menuturkan:

ولا يسمى هذا العذاب نارا، والعذاب قد يكون نارا وقد يكون غيرها في الدنيا ، ألا ترى إلى قوله (يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ) يعني القتل والأسر

“Adzab dalam ayat ini tidak dinamakan dengan istilah sika api neraka, karena adzab terkadang berupa siksa api neraka, dan terkadang berupa siksaan lainnya ketika di dunia, bukankah engkau menyimak firman-Nya: “Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu”, yakni pembunuhan dan penahanan.”[5]

Dari Abdullah –radhiyaLlâhu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Memaki orang muslim adalah kedurhakaan dan membunuhnya adalah kekufuran.”(Hadits Muttafaqun ‘Alayh)

Dosa membunuh seorang muslim lebih besar dosanya daripada dosa mengejeknya atau memfitnahnya, lalu bagaimana jika ada pihak yang membunuh seorang muslim dengan mengandalkan fitnah atau prasangka belaka? Artinya menggabungkan dosa fitnah dan pembunuhan sekaligus.

Dalam hadits shahih lainnya:

اجْتَنِبُوُا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قُلْنَا: وَمَا هُنّ يَا رَسُوْلََ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحْقِّ وَأَكْلَ الرِّبَا وَأَكْلَ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلَّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقًذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتَ الْغَافِلَاتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Kami bertanya, Apa itu wahai Rasûlullâh? Beliau menjawab, “Menyekutukan Allâh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berlari dari pertempuran, menuduh zina mukminah yang menjaga kehormatannya.” (HR. al-Bukhârî & Muslim)

Imam ar-Raghib al-Ashfahani menegaskan bahwa lafazh ijtanibû (jauhilah) maknanya lebih mendalam daripada kata utrukû (tinggalkanlah). Ia menuturkan:

اجتنبوا الطاغوت)[6] عبارة عن تركهم إياه، (فاجتنبوه لعلكم تفلحون)[7] ، وذلك أبلغ من قولهم: اتركوه.

“(Jauhilah oleh kalian thaghut-thaghut) yakni ungkapan agar kalian wajib meninggalkannnya (jauhilah ia mudah-mudahan kalian adalah golongan yang beruntung), hal itu karena lafazh ijtanib lebih mendalam daripada perkataan mereka:utrukûhu (tinggalkanlah oleh kalian hal itu).”[8]

Dan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- menggunakan lafazh ijtanib ketika memerintahkan kita menjauhi perbuatan dosa-dosa besar tersebut. Dan urutan tingkat dosanya yang ketiga setelah menyekutukan Allah dan perbuatan sihir adalah membunuh jiwa yang tidak halal darahnya untuk ditumpahkan.

Syaikh Nawawi bin Umar al-Jawi asy-Syafi’i pun dalam kitab Mirqâtu Shu’ûd at-Tashdîq Syarh Sullam at-Tawfîq, menggolongkan perbuatan membunuh jiwa yang diharamkan sebagai salah satu bentuk kemaksiatan tangan dan ia termasuk dosa besar.[9]

Maka salah satu ayat al-Qur’an dan dua hadits di atas adalah dalil di antara dalil-dalil yang jelas, tegas (qath’iy) mengharamkan perbuatan membunuh muslim dengan sengaja yang tidak halal darahnya untuk ditumpahkan.

Catatan Kaki:
[1] Tafsîr ath-Thabari, Abu Ja’far ath-Thabari.
[2] Al-Mal’ûnûn fî as-Sunnah al-Shahîhah, Dr. Fayshal al-Jawabirah.
[3] Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ar-Raghib al-Ashfahani.
[4] Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm, Ibn Abi Hatim.
[5] Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi.
[6] QS. Az-Zumar: 17.
[7] QS. Al-Maa’idah: 90
[8] Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Ar-Raghib al-Ashfahani.
[9] Mirqâtu Shu’ûd at-Tashdîq Syarh Sullam at-Tawfîq, Nawawi bin Umar al-Jawi, hlm. 168.

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.