Header Ads

AS TERLIBAT DALAM KERUSUHAN DI INDONESIA

Baru-baru ini FUI (Forum Umat Islam) mengecam campur tangan AS dalam insiden Monas. Dugaan adanya keterlibatan AS dalam insiden ini bisa dimengerti. Mengingat selama ini , Negara Paman Sam memang sering mencampuri urusan negara lain termasuk Indonesia. Banyak dokumen yang menyebutkan CIA terlibat dalam peristiwa berdarah tahun 60-an . Negara ini juga diduga terlibat dalam kerusuhan di Indonesia menjelang jatuhnya rezim Soeharto. Seperti biasa AS menggunakan isu-isu liberal seperti HAM, Demokrasi, atau Pluralisme untuk kepentingan politik jahatnya. LSM komprador dalam negeripun digunakan untuk memuluskan berbagai kejahatannya di Indonesia. Berikut ini sebuah artikel menarik yang mengungkap fakta-fakta itu.Artikel yang dimuat dalam The New York Times (20 Mei 1998) ini dengan jelas menunjukkan AS terlibat dalam kerusuhan di Indonesia untuk menjatuhkan Soeharto. Adnan Buyung Nasution yang sekarang gencar membela Ahmadiyah diduga menerima dana asing untuk memuluskan kepentingan AS. Artikel ini berjudul : UNREST IN INDONESIA: THE OPPOSITION; U.S. Has Spent $26 Million Since ‘95 on Suharto Opponents.(redaksi)

Kerusuhan di Indonesia: Pihak Oposisi; Amerika relah mengeluarkan $26 juta sejak tahun 1995 kepada lawan-lawan Suharto.

Tim Weiner

20 Mei 1998

Ketika mencoba memberikan dukungan atas Presiden Suharto, Pemerintahan Clinton juga memberikan dukungan terhadap beberapa kelompok oposisi Indonesia yang paling penting, dengan harapan untuk mempromosikan suatu transisi menuju sebuah masyarakat yang demokratis.

Uang itu berasal dari United States Agency for International Development (USAID), yang lebih dikenal karena membantu pembangunan bendungan-bendungan dan jalan-jalan daripada membantu menjembatani lawan-lawan politik dari para pemimpin otoriter.

Jumlah uangnya, yang mencapai $26 juta sejak tahun 1995, adalah relatif kecil dibandingkan dengan program-program bantuan yang diberikan oleh Amerika. Tapi uang itu penting untuk kelangsungan hidup kelompok-kelompok yang mendukung HAM dan kebebasan berbicara di Indonesia.

Uang yang berasal dari AID itu merupakan sumber terbesar untuk mendukung kelompok-kelompok seperti YLBHI, yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution, seorang tokoh terkemuka dalam gerakan demokrasi Indonesia dan seorang pejuang HAM terbaik negeri itu. Kelompok itu memberikan konsultasi hukum gratis bagi para tokoh-tokoh politik dan para mahasiswa yang ditahan oleh pemerintah saat krisis masa kini, yang merupakan suatu tipe peran yang telah dimainkan oleh kelompok itu selama bertahun-tahun.

Badan perwakilan Amerika telah membantu para pengacara HAM Indonesia dalam “memonitor isu-isu HAM, memobilisir opini public dan memonitor aktivitas-aktivitas yang ekstralegal (tidak sah secara hukum), korupsi dan penyalah gunaan kaum miskin” oleh pemerintah Suharto, kata Sharon Cromer, wakil direktur badan perwakilan AID di Indonesia.

Dukungan itu telah membantu kepastian kelangsungan hidup kelompok-kelompok swasta yang muncul sebagai para pemimpin opisisi di Indonesia, “walaupun gerak mereka dibatasi oleh sistim yang otoriter,” kata Cromer.

AID telah memberi dukungan pada 30 LSM di Indonesia, menurut para pejabat badan perwakilan itu. Organisasi-organisasi termasuk diantaranya sebuah kelompok lingkungan hidup yang menentang keberadaan sebuah perusahaan pertambangan besar asal Amerika dengan mengatasnamakan penduduk setempat yang tinggal di sekitar proyek-proyek perusahaan itu; sebuah koalisi jurnalis yang dilarang oleh pemerintah Indonesia, sebuah kelompok hak-hak wanita dan sebuah lembaga yang memperjuangkan hak-hak konsumen.

“AID adalah penyokong keuangan terbesar dan merupakan pendonor yang paling aktif bagi sektor yang kontroversial ini,” kata badan perwakilan itu kepada Konggres dalam sebuah permintaan atas anggaran yang diajukan baru-baru ini.

Peter Galbraith, seorang mantan konsultan AID mengatakan: “Idenya adalah mengirim sebuah pesan bahwa Amerika peduli akan sesuatu selain dari isu-isu bank dan ekonomi, bahwa kami juga memikirkan masyarakat umum Indonesia, dan menyiapkan sebuah transisi dari Suharto dan bahwa kami berharap akan terdapat sebuah sistim yang lebih stabil dan demokratis.”

William Liddle, seorang professor kajian Indonesia Ohio State University dan seorang mantan konsultan AID, mengatakan bahwa program itu telah berjalan dengan sukses.

“Demokrasi memerlukan sebuah masyarakat madani, “ kata professor Liddle. “Indonesia sudah seperti Uni Soviet. Pemerintah mengkontrol banyak dari organisasi-organisasi sipil. Pemerintah itu menciptakan dan menentukan siapa para pemimpinnya. Sasaran dari program ini adalah mencoba membangun kelompok-kelompok itu. Saat ini kelompok-kelompok itu menjadi figur penting dari pihak oposisi.”

Dalam lima tahun terakhir, program-program seperti yang terdapat di Indonesia telah diciptakan oleh direktur badan perwakilan itu, J. Brian Atwood, dalam lebih dari 25 misi di seluruh dunia termasuk Guetemala, Kenya Afrika Selatan, dan Filipina.

Tapi program di Indonesia mendapat kecaman dari para pendukung pemerintah pada saat ini, termasuk perusahaan penambang tembaga dan emas Freeport-Mcmoran dari New Orleans, perusahaan investor asing terbesar di Indonesia.

Freeport-Mcmoran berargumen bahwa Amerika seharusnya tidak mendukung Walhi, sebuah kelompok pejuang lingkungan hidup dan HAM yang telah menyerang proyek-proyek perusahaan itu dengan mengatakan bahwa terjadi kerusakan di sekitar tambang Freeport.

“Walhi mencoba untuk menutup kita,” kata juru bicara perusahaan, Garland Robinette. “Perhatian seperti itulah yang mereka akui.”

Walaupun ada tekanan dari perusahaan itu, Dubes Amerika untuk Indonesia, tetap mendukung program itu.

Ide atas program-program semacam itu, menurut Charles E. Costello, direktur Pusat Demokrasi dan Pemerintahan (Center for Democracy and Governance), sebuah kantor AID yang didirikan tahun 1993, adalah bahwa pembangunan ekonomi saja tidak dapat menciptakan sebuah masyarakat madani.

“Sistim Politik Demokrasi dan ekonomi pasar seharusnya bisa berjalan beriringan,” ungkap Castello.

===========

Organisasi-organisasi HAM mengkritik keras kebijakan luar negeri Amerika di Indonesia dengan mengatakan bahwa program itu tidak ada nilainya bagi kelompok-kelompok di Indonesia, yang dikenal sebagai organisasi non-pemerintah atau LSM.

Direktur Human Rights Watch wilayah Asia, Sidney Jones, mengatakan bahwa program semacam itu memberikan suatu wawasan bagi Kedubes Amerika di Jakarta yang mungkin tidak diperolehnya.

“Hal ini membuat Kedubes itu bisa tetap berhubungan dengan semua LSM” ujar Sidney Jones. “Dan tentu saja hal itu bermanfaat. Hal ini juga memberikan LSM-LSM itu suatu perlindungan.”

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.