Header Ads

SBY Senyum, Umat Kembali Terpasung

Pilpres 2009 menyisakan pelajaran yang sangat berharga. Betapa banyak tokoh-tokoh umat yang ditinggalkan oleh umatnya. Islam hanya jadi permainan.

MediaUmat- Perhitungan cepat (quick count) berbagai lembaga survei memastikan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menjadi pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden 2009. Meski pasangan ini bukanlah representasi umat Islam, justru pasangan inilah yang meraup suara besar umat Islam.

Lawan politik SBY, baik pasangan Megawati-Prabowo Jusuf Kalla-Wiranto tak bisa berbuat banyak. Kedua pasangan ini harus mengakui keunggulan SBY jauh sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil perolehan suara secara resmi.

Pertarungan ketiga pasangan capres-cawapres ini memunculkan fenomena yang menarik. Meski ketiganya bukanlah representasi umat Islam, ketiganya berusaha merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari arus Islam. Padahal semua orang pun tahu bahwa mereka semua adalah orang-orang sekuler.

Tak mengherankan, mereka berusaha merebut hati kalangan Islam dengan cara mendekati tokoh-tokoh Islam baik di level nasional maupun lokal. Bahkan ada sebuah pesantren yang menjadi 'rebutan' para kandidat. Dalam pandangan tim sukses para kandidat, peran para ulama/kyai/tokoh masyarakat itu begitu penting untuk menggaet suara umat Islam.

Hari-hari menjelang pilpres berlangsung, jagat politik Indonesia diwarnai dengan gegap gempita deklarasi ormas/lemba-ga yang mendukung kandidatnya. Banyak tokoh masuk layar kaca menyampaikan dukungan-nya tersebut. Tentu ini tidak gratis. Ada imbalan yang mereka dapatkan dari deklarasi dan sejenisnya ini, baik berupa materi atau lainnya.

Tapi begitu pemilihan berlangsung, nyatanya warga yang sebelumnya diharapkan mengikuti para tokoh tersebut ternyata tak patuh. Mereka memiliki pilihan sendiri. Walhasil, seolah apa yang diikrarkan oleh para tokoh masyarakat/ulama tak digubris umatnya di tingkat akar rumput. Beberapa contoh di pesantren menunjukkan hal ini.

Dalam sistem sekuler, sikap tersebut sebenarnya adalah wajar. Masyarakat telah dididik untuk membedakan antara agama dengan ranah politik. Apalagi praktek politik tokoh-tokoh itu menunjukkan bahwa ada di antara mereka yang sebenarnya hanya berjuang untuk kepentingan kekuasaan dan harta/ uang bagi dirinya sendiri. Tokoh-tokoh agama hanya dijadikan panutan dalam ranah spiritual, bukan politik. Walhasil, umatnya merasa tidak perlu harus mengikuti mereka karena umat itu tahu betul sepak terjang tokoh-tokoh anutannya itu di dunia politik. Belum lagi ada tokoh yang secara terang-terangan sebelumnya menyatakan apolitik.

Tak heran bila banyak pengamat kemudian menyimpulkan bahwa politik aliran, yang tidak lain adalah politik Islam, telah mati. Ini gara-gara para ulamanya tak lagi diikuti oleh umatnya dalam menentukan pilihannya. Padahal, kesimpulan itu sebenarnya terlalu menyederhanakan masalah. Buktinya, peserta pemilu tetap diikuti oleh partai-partai Islam.

Kemenangan SBY-Boediono sebenarnya lebih ditentukan oleh politik pencitraan. Bukan karena SBY-Boediono memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan pasangan lainnya. Selain itu, SBY adalah calon incumbent yang berhasil membangun pencitraan secara sistematis melalui jalur-jalur kekuasaan hingga ke tingkat bawah. Di samping itu, SBY didukung oleh partai-partai Islam dan berbasis massa Islam. Melalui partai-partai inilah, SBY mencoba meraup suara di tingkat akar rumput.

Fenomena pilpres 2009 ini pun menunjukkan adanya pragmatisme politik yang kental. Ini tidak saja terjadi di masyarakat tapi justru ada di kalangan elite politik/tokoh masyarakat. Semua bekerja demi kepentingan sesaat. Idealisme untuk memperjuangkan Islam hampir tak kelihatan, diganti dengan kebutuhan untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Bahkan nyata sekali idealisme Islam terkalahkan dengan sangat nyata dengan kursi kekuasaan dengan berbagai dalih yang dicari-cari.

Islam dipolitisasi sedemikian rupa agar mendukung tujuan politiknya. Akhirnya Islam terpinggirkan dalam praktek politik dan bukan lagi menjadi pedoman dalam berpolitik. Dalam kacamata Islam, ini suatu yang sebenarnya tak layak dilakukan. Karena itu sama saja dengan menjual agama demi kepentingan dunia.

Dan SBY sendiri bukan representasi Islam. Maka, sudah dapat diduga kebijakannya tidak akan berpihak kepada umat Islam. Pemerintah yang baru akan kembali 'melanjutkan' kebijakan yang sebelumnya yang sangat pro kapitalis-liberal dan mengesampingkan kepentingan umat. Umat Islam akan kembali menjadi obyek penderita, gara-gara banyak tokohnya yang berpikir cekak untuk kekuasaan sesaat.

Inilah tantangan ke depan. Di tengah pusaran pragmatisme yang kuat, harus tetap ada orang-orang yang tetap menjaga idealisme perjuangan Islam. Pertanyaannya, masihkan ada tokoh-tokoh tersebut?

Jawabnya, ada. Ternyata masih banyak tokoh-tokoh umat Islam yang masih menjadi panutan dan berjuang secara tulus dan ikhlas demi tegaknya Islam. Hanya saja mereka ini tidak terekspos oleh media massa. Merekalah yang berjuang hanya mengharap keridlaan Allah dan menghindarkan diri dari fata-morgana dunia. Mereka itulah yang disebut sebagai ulama pewaris para nabi.[] Mujiyanto

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.