Header Ads

Suara Umat Islam ke Mana?

Umat Islam ternyata tak begitu percaya lagi kepada petuah para pemimpin primordialnya. Terbukti suara mereka diberikan ke SBY.


MediaUmat- Komisi Pemilihan Umum memang belum mengumumkan siapa pemenang resmi pemilihan presiden 2009. Tapi mengacu pada penghitungan cepat (quick count), pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono memenangkan perhelatan yang menghabiskan dana trilyunan rupiah tersebut.

Perhitungan cepat sementara menunjukkan SBY-Boediono meraih suara sekitar 60 persen, sedangkan Mega-Prabowo 27 persen, dan Jusuf Kalla-Wiranto 12 persen. Sementara jumlah golput yang dicatat oleh beberapa lembaga survei mencapai lebih dari 30 persen.

Perolehan suara SBY kali ini tidak jauh berbeda dengan angka yang didapatkannya pada Pilpres 2004. Hanya saja, waktu itu pilpres berlangsung hingga dua putaran. Kini pilpres hanya satu putaran, kendati sempat beredar SMS yang menyebutkan hingga perhitungan terakhir yang dilakukan KPU melalui SMS bahwa perolehan SBY-JK hanya mencapai 47,32 persen.

Lepas dari itu, SBY masih menjadi magnet untuk menarik suara umat Islam. Apalagi Partai Islam dan berbasis massa Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulang Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional, sejak semula telah menyerahkan loyalitasnya kepada SBY.

Sebaliknya langkah pasangan JK-Wiranto menggaet tokoh-tokoh umat masyarakat dan umat Islam tak banyak berpengaruh. Dalam hitungan di atas kertas, jika para pimpinan masyarakat ini mendukungnya, bisa diprediksi suara akan membengkak. Nyatanya, elektabilitas JK-Wiranto hanya bagus sebelum pilpres. Hasil akhirnya justru rontok. Pasangan ini hanya menang di Sulawesi Selatan dan Gorontalo.

Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat mengungkapkan, mayoritas suara umat Islam lebih memilih pasangan SBY-Boediono. "SBY menjadi pilihan mayoritas suara umat Islam karena faktor figurnya, dan Partai Demokrat yang dinilai `friendly` dengan Islam," kata Komaruddin. Alasan lainnya rakyat tanpa disadari telah memiliki pengalaman berganti-berganti pimpinan yang tidak selalu baik.

Menurutnya, rakyat memiliki penilaian bahwa lima tahun terakhir ekonomi lebih baik, dan negara aman sehingga memberikan kredit poin bagi `incum-bent`. Ia melihat, dalam Pemilu 2009 tidak terjadi loyalitas tunggal suara Islam pada suatu partai. Hal ini membuat suasana semakin cair, mengurangi tensi politik dan tidak melahirkan konflik karena alasan agama.

Pengamat politik Bima Arya Sugiarto, menilai kemenangan SBY-Boediono tak lepas dari politik pencitraan. Ini terkait dengan memasukinya abad pencitraan saat ini yaitu suatu strategi politik yang modern untuk membangun citra pemimpin. Dalam pandangannya, politik pencitraan ini mengalah-kan politik aliran. ”Dan memang dalam berbagai survey menunjukkan bahwa politik aliran terkalahkan oleh politik pencitraan,” katanya.

Wakil dewan pakar pasangan SBY-Boediono ini menilai bahwa salah satu keuntungan SBY adalah adanya lawan yang memiliki karakter yang menyerang, agresif dan yang semacamnya. ”Karakter yang santun, yang lebih disukai oleh sebagian besar pemilih. Sehingga umat Islam ini lebih memilih SBY,” kata Bima.

Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani, seruan para elite ormas/tokoh Islam untuk memilih salah satu capres, tidak mengena pada pemilih. Hal ini terbukti dengan pemilih Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang lebih memilih incumbent (calon yang sedang berkuasa). "Saya melihat keterasingan elite dalam urusan politik dari umatnya," ungkapnya.

Menurutnya, dalam isu wilayah primordial yang saling berhadapan adalah kubu Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto, tanpa ada SBY-Boediono. Perempuan lebih besar memilih SBY-Boedino (66 persen), sedangkan laki-laki sebesar 55 persen. Perolehan suara SBY-Boediono pada pemilih Jawa dan luar Jawa cenderung seimbang dibandingkan dengan kedua pasangan capres yang lain.

SBY juga meraih nilai tinggi di kalangan pemilih NU dan Muhammadiyah. Begitu juga pada pembedaan antara pemilih santri dan kaum abangan, SBY-Boediono mendapat suara 62 persen dari tiap golongan itu. Mega-Prabowo 23 persen dari santri, 25 persen dari kaum abangan.

Bukan hanya pada kasus NU-Muhammadiyah, simbol-simbol politik primordial lain seperti suku pun tak berpengaruh. Pasangan SBY-Boediono yang "sangat Jawa", karena keduanya kebetulan lahir di Jawa, ternyata tak berpengaruh pada pilihan voters di luar Jawa.

Berdasarkan rilis LSI, pemilih di luar Jawa yang memilih SBY tetap paling dominan, sekitar 61 persen, mengungguli "pasangan Nusantara" JK-Wiranto yang hanya mendapat dukungan 17 persen. Kecenderungan serupa juga berlaku pada pilihan voters berdasarkan latar belakang agama.

Gempuran kampanye negatif yang menimpa SBY dan Boediono selama kampanye, yaitu istri Boediono dikatakan "bukan Islam", terbukti tak berdampak serius dalam memengaruhi pilihan penganut Islam. Sekitar 63 persen pemilih Muslim mengaku memilih SBY dan hanya 13 persen yang mendukung JK.

Padahal JK-Wiranto sejak awal kampanye sudah menonjolkan simbol-simbol Islam, di antaranya dengan mengekspos kedua istri mereka yang berkerudung. Inikah pertanda politik aliran telah hilang ataukah umat sudah tidak percaya lagi dengan pemimpin-pemimpin mereka yang banyak mencari keuntungan sendiri?[] mujiyanto

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.