Terorisme Kembali Mencuat, Umat Harus Waspada!
[AL-ISLAM 497] Isu terorisme mencuat lagi. Isu ini muncul ke permukaan sejak media memberitakan upaya penggerebekan kelompok bersenjata yang tengah mengadakan latihan militer di Pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar, yang diduga berlangsung sejak September tahun lalu. Penggerebekan dilakukan pada Senin malam, 22 Februari 2010 lalu, hingga akhirnya pecah kontak tembak pada Kamis. Korban pun berjatuhan di pihak polisi dan Kelompok Jalin. Masyarakat sipil juga menjadi korban dalam peristiwa ini (Acehkita.com,8/3).
Kepolisian segera menyebut Kelompok Jalin ini sebagai teroris yang tergabung dalam jaringan Jamaah Islamiyah. Menurut pihak Kepolisian, ditemukan beberapa barang dengan simbol-simbol Islam (misal: buku-buku Islam, atribut pakaian koko, dsb) yang diduga milik kelompok tersebut, dan beberapa orang dari luar Aceh yang terlibat juga tertangkap.
Media juga dengan mudah menghakimi bahwa ini adalah kelompok teroris. Media seolah menemukan kembali saat yang tepat untuk kembali membuat narasi (cerita) agar isu terorisme bisa diterima oleh masyarakat dan menjadi payung moral bagi setiap langkah penanganan oleh pihak Kepolisian.
Para pengamat pun tidak mau ketinggalan; ikut menabuh genderang dengan ‘analisis’ yang tak jarang sangat prematur—hanya berdasarkan sangkaan semata. Mereka lalu bersepakat bahwa kelompok ini terkait dengan jaringan Jamaah Islamiyah bahkan al-Qaidah, kemudian menyebutkan tentang adanya potensi ancaman atas keamanan Indonesia, bahkan di wilayah Selat Malaka.
Dugaan Rekayasa
Tentu bagi masyarakat Aceh istilah teroris adalah ganjil, karena dalam kamus sejarah Aceh tidak pernah dikenal istilah tersebut. Karena itu, kasus ini melahirkan tanda tanya masyarakat. Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Pase, melalui jurubicaranya Dedi Syafrizal, dalam jumpa pers di kantor Partai Aceh Lhokseumawe (1/3), menilai bahwa pemberitaan adanya gerakan terorisme di Aceh merupakan isu murahan. Isu terorisme di Provinsi Aceh ini bahkan dinilai tidak rasional. Berita bahwa ada gerakan teroris di Aceh sangat tidak berdasar. Ini diduga hanya sebuah rekayasa oleh oknum tertentu untuk kepentingan kelompok maupun pribadi. Kondisi itu seperti sudah direncanakan, bukan terjadi dengan tiba-tiba. “Kami mengklaim tidak ada gerakan teroris di Aceh umumnya dan Aceh Utara khususnya. Apalagi ada informasi sudah berada di Aceh sejak tahun 2005. Ini sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kami menilai ini hanya kerjaan orang-orang yang tidak menginginkan Aceh tetap damai," kata Syafrizal.
Sebagaimana diketahui, jika dikaitkan dengan jaringan Jamaah Islamiah, jaringan ini biasa menjadikan pihak asing sebagai target mereka. Padahal saat ini orang asing yang berada di Aceh sangat sedikit. Itu pun sedang dalam misi kemanusiaan. Dari sejumlah deretan peristiwa setelah perdamaian, ada sejumlah anggota KPA yang menjadi korban, termasuk dalam penggerebekan yang dikabarkan sebagai tempat latihan terorisme di Aceh Besar.
Sudarwis, salah seorang anggota DPRK Lhokseumawe dari Partai Aceh, mengatakan hal yang sama. Isu adanya kegiatan teroris di Aceh adalah rekayasa. Ini dikhawatirkan akan berdampak pada proses damai Aceh yang saat ini mulai berjalan. Sejauh ini, pihak KPA punya jaringan mulai dari tingkat pemerintahan hingga pedesaan. Jadi, menurutnya, tidak mungkin ada aksi lain yang tidak terpantau oleh mereka. Apalagi budaya dan adat Aceh sejak dulu tidak pernah menantang atau mempersoalkan pemeluk agama lain (Rakyataceh.com, 2/3).
Anggota Komisi VIII DPR-RI Sayed Fuad Zakaria juga mempertanyakan sejauh mana dugaan adanya keberadaan jaringan teroris di Aceh dan mengapa baru sekarang diketahui. Mantan Ketua DPRA ini menambahkan, di daerah Aceh yang merupakan paling ujung Sumatera ini tidak pernah terdengar adanya kelompok jaringan Jamaah Islamiyah yang selama ini dicap sebagai kelompok teroris (Rakyataceh.com, 2/3).
Belum juga kontroversi penggerebekan teroris di Aceh mereda, Selasa (9/3) lalu, pihak Kepolisian (Densus 88) tiba-tiba kembali melakukan penggerebekan, tepatnya di Warnet Multiplus, Pamulang, Tangerang. Dalam penggerebekan itu, Densus 88 berhasil menewaskan 3 orang teroris, satu di antaranya—meski masih simpang siur hingga tulisan ini dibuat—diduga Dulmatin yang merupakan gembong teroris yang dicari-cari oleh Pemerintah Amerika Serikat.
Terkait dengan itu, menurut Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irwandi Yusuf, penggerebekan teroris di Pamulang, Tangerang, berkaitan erat dengan penggerebekan teroris di Aceh. "Ada kaitan. Dari yang tertangkap, ada yang berasal dari Pamulang. Tapi soal kaitannya biar Polri yang menjelaskan," katanya dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (9/3).
Menurut Irwandi, para teroris itu masuk ke Aceh dengan memakai isu Islam dan syariah (Inilah.com, 9/3). Ia juga memenambahkan, para teroris ini ingin menjadikan Aceh sebagai basis teroris Asia Tenggara. Mereka berpikir bisa beroperasi di Aceh karena mayoritas Muslim dan pernah punya GAM. "Tapi sangkaan mereka salah. Masyarakat Aceh tidak seperti itu," katanya (Detik.com, 9/3).
Keterkaitan teroris Aceh dengan Kelompok Pamulang juga dikuatkan oleh Kepala Densus 88 Antiteror Polri Brigjen (Pol) Tito Karnavian. "Teroris di Pamulang adalah otak pelaku yang mengirimkan orang-orang ke Aceh. Iya, dia biang keroknya yang kirim orang ke Aceh. Itu nama besar,” ucap Tito melalui pesan singkatnya, Selasa (Inilah.com, 9/3).
Terkesan Dipaksakan
Selain janggal, isu terorisme kali ini terkesan dipaksakan. Pasalnya, isu ini muncul saat antiklimaks kasus skandal Bank Century yang dibawa ke Sidang Paripurna DPR dan menghasilkan keputusan melalui voting ‘Opsi C’ (bahwa bailout Century bermasalah). Isu ini juga muncul menjelang kedatangan Obama ke Indonesia. Dengan isu ini, Pemerintah seolah ingin menunjukkan kembali kepada pihak AS mengenai perhatian dan komitmennya terhadap kasus-kasus terorisme.
Selain itu, proyek kontra-terorisme memang merupakan salah satu prioritas dalam 100 hari program kerja Pemerintahan SBY. Dalam 100 hari itu diharapkan bisa dirumuskan ‘cetak biru’ penanganan terorisme, yang pelaksanaannya tentu membutuhkan waktu lebih dari 100 hari. Bahkan inilah salah satu inti dari pertemuan National Summit di Jakarta pada 29-31 Oktober 2009 lalu.
Karena itu, saat memimpin rapat terbatas bidang politik, hukum dan keamanan (Polhukam), SBY antara lain mengingatkan bahwa pemberantasan terorisme tetap menjadi agenda dalam penegakan hukum dan HAM (Detik.com, 5/3).
Lebih dari itu, komitmen pada isu terorisme ini juga menjadi kesepakatan dan pembicaraan antara Obama dan SBY saat pertemuan terbatas di Singapura. Saat kunjungan Obama ke Indonesia pertengahan Maret ini pun, hal ini akan kembali menjadi inti dan komitmen Indonesia-AS.
Umat Harus Waspada!
Umat Islam di Indonesia tentu harus memahami sekaligus mewaspadai mencuatnya kembali isu terorisme ini karena beberapa hal berikut: Pertama, terorisme hakikatnya adalah isu yang dijadikan proyek global AS yang bersifat jangka panjang setelah Peristiwa Peledakan WTC 9/11/2001. Proyek terorisme ini digunakan AS sebagai strategi untuk terus menjajah negeri-negeri kaum Muslim, termasuk Indonesia, semata-mata demi kepentingan AS dan Kapitalisme globalnya. Ini dilakukan dengan bantuan dan kesetiaan para penguasa negeri kaum Muslim yang berkhianat kepada Allah SWT, Rasul saw. dan umat Islam. Padahal Allah SWT telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia (QS al-Mumtahanah [60]: 1).
Kedua, bagi AS isu terorisme di Dunia Islam, khususnya di Indonesia, terbukti mampu menciptakan keterbelahan umat Islam. Umat Islam diadu domba dengan sejumlah pengelompokan: moderat-radikal; liberal-fundamentalis; dsb. Keterpecahbelahan ini jelas secara langsung melemahkan umat Islam. Karena itu, umat Islam tentu harus waspada, karena Allah SWT telah berfirman:
Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Ketiga, isu terorisme akan terus diusung dan menjadi perhatian penguasa negeri ini (yang terjebak dalam proyek global AS) sampai seluruh komponen Islam yang dianggap mengancam agenda sekularisasi dan liberalisasi betul-betul bisa dibungkam.
Keempat, isu terorisme ini juga bisa dijadikan alasan oleh Indonesia untuk meminta kembali kerjasama militer dengan AS karena Indonesia dianggap telah serius memberantas terorisme. Padahal Allah SWT telah berfirman:
(Orang-orang munafik itu) ialah mereka yang mengambil orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 139).
Kelima, Indonesia adalah bagian dari Dunia Islam yang memiliki nilai strategis dari berbagai aspek; jumlah penduduk, sumber daya alam serta geopolitik di kawasan Asia Pasifik maupun di Dunia Islam. Indonesia menjadi salah satu basis perang melawan terorisme, yang secara tegas menempatkan Islam dan kaum Muslim sebagai sasarannya. Karena itu, wajar jika selama ini Islam dan kaum Muslim menjadi korban dari isu terorisme ini. Sebab, memang itulah yang menjadi target AS. Allah SWT berfirman:
Orang-orang kafir tidak henti-hentinya berusaha memerangi kalian hingga mereka berhasil mengeluarkan kalian dari agama kalian—jika saja mereka mampu (QS al-Baqarah [2]: 217).
Wahai kaum Muslim:
Isu terorisme akan terus dipelihara oleh AS sebagai gembong negara penjajah demi terus-menerus menjajah dan menguasai kaum Muslim. Kaum Muslim akan selalu menjadi sasaran kaum kafir penjajah, termasuk melalui isu terorisme, jika mereka tidak memiliki pelindung. Pelindung mereka tentu bukan para penguasa yang justru menjadi pelayan negara penjajah seperti AS. Pelindung mereka tidak lain adalah seorang Khalifah yang bertakwa kepada Allah SWT. Itulah yang ditunjukkan oleh para khalifah pada masa Kekhilafahan Islam selama berabad-abad lamanya. Karena itu, mengangkat kembali seorang khalifah dalam institusi Khilafah Islam adalah pilihan yang bukan saja merupakan tuntutan syariah, tetapi juga tuntutan kondisi saat ini. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb []
Komentar al-islam:
Kemitraan strategis Indonesia AS terkait Namru akan ditandatangani pertengahan Maret ini (Hidayatullah.com, 9/3/2010).
Faktanya, di masa lalu Namru strategis bagi AS, tetapi tragis bagi Indonesia.
Kepolisian segera menyebut Kelompok Jalin ini sebagai teroris yang tergabung dalam jaringan Jamaah Islamiyah. Menurut pihak Kepolisian, ditemukan beberapa barang dengan simbol-simbol Islam (misal: buku-buku Islam, atribut pakaian koko, dsb) yang diduga milik kelompok tersebut, dan beberapa orang dari luar Aceh yang terlibat juga tertangkap.
Media juga dengan mudah menghakimi bahwa ini adalah kelompok teroris. Media seolah menemukan kembali saat yang tepat untuk kembali membuat narasi (cerita) agar isu terorisme bisa diterima oleh masyarakat dan menjadi payung moral bagi setiap langkah penanganan oleh pihak Kepolisian.
Para pengamat pun tidak mau ketinggalan; ikut menabuh genderang dengan ‘analisis’ yang tak jarang sangat prematur—hanya berdasarkan sangkaan semata. Mereka lalu bersepakat bahwa kelompok ini terkait dengan jaringan Jamaah Islamiyah bahkan al-Qaidah, kemudian menyebutkan tentang adanya potensi ancaman atas keamanan Indonesia, bahkan di wilayah Selat Malaka.
Dugaan Rekayasa
Tentu bagi masyarakat Aceh istilah teroris adalah ganjil, karena dalam kamus sejarah Aceh tidak pernah dikenal istilah tersebut. Karena itu, kasus ini melahirkan tanda tanya masyarakat. Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Pase, melalui jurubicaranya Dedi Syafrizal, dalam jumpa pers di kantor Partai Aceh Lhokseumawe (1/3), menilai bahwa pemberitaan adanya gerakan terorisme di Aceh merupakan isu murahan. Isu terorisme di Provinsi Aceh ini bahkan dinilai tidak rasional. Berita bahwa ada gerakan teroris di Aceh sangat tidak berdasar. Ini diduga hanya sebuah rekayasa oleh oknum tertentu untuk kepentingan kelompok maupun pribadi. Kondisi itu seperti sudah direncanakan, bukan terjadi dengan tiba-tiba. “Kami mengklaim tidak ada gerakan teroris di Aceh umumnya dan Aceh Utara khususnya. Apalagi ada informasi sudah berada di Aceh sejak tahun 2005. Ini sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kami menilai ini hanya kerjaan orang-orang yang tidak menginginkan Aceh tetap damai," kata Syafrizal.
Sebagaimana diketahui, jika dikaitkan dengan jaringan Jamaah Islamiah, jaringan ini biasa menjadikan pihak asing sebagai target mereka. Padahal saat ini orang asing yang berada di Aceh sangat sedikit. Itu pun sedang dalam misi kemanusiaan. Dari sejumlah deretan peristiwa setelah perdamaian, ada sejumlah anggota KPA yang menjadi korban, termasuk dalam penggerebekan yang dikabarkan sebagai tempat latihan terorisme di Aceh Besar.
Sudarwis, salah seorang anggota DPRK Lhokseumawe dari Partai Aceh, mengatakan hal yang sama. Isu adanya kegiatan teroris di Aceh adalah rekayasa. Ini dikhawatirkan akan berdampak pada proses damai Aceh yang saat ini mulai berjalan. Sejauh ini, pihak KPA punya jaringan mulai dari tingkat pemerintahan hingga pedesaan. Jadi, menurutnya, tidak mungkin ada aksi lain yang tidak terpantau oleh mereka. Apalagi budaya dan adat Aceh sejak dulu tidak pernah menantang atau mempersoalkan pemeluk agama lain (Rakyataceh.com, 2/3).
Anggota Komisi VIII DPR-RI Sayed Fuad Zakaria juga mempertanyakan sejauh mana dugaan adanya keberadaan jaringan teroris di Aceh dan mengapa baru sekarang diketahui. Mantan Ketua DPRA ini menambahkan, di daerah Aceh yang merupakan paling ujung Sumatera ini tidak pernah terdengar adanya kelompok jaringan Jamaah Islamiyah yang selama ini dicap sebagai kelompok teroris (Rakyataceh.com, 2/3).
Belum juga kontroversi penggerebekan teroris di Aceh mereda, Selasa (9/3) lalu, pihak Kepolisian (Densus 88) tiba-tiba kembali melakukan penggerebekan, tepatnya di Warnet Multiplus, Pamulang, Tangerang. Dalam penggerebekan itu, Densus 88 berhasil menewaskan 3 orang teroris, satu di antaranya—meski masih simpang siur hingga tulisan ini dibuat—diduga Dulmatin yang merupakan gembong teroris yang dicari-cari oleh Pemerintah Amerika Serikat.
Terkait dengan itu, menurut Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irwandi Yusuf, penggerebekan teroris di Pamulang, Tangerang, berkaitan erat dengan penggerebekan teroris di Aceh. "Ada kaitan. Dari yang tertangkap, ada yang berasal dari Pamulang. Tapi soal kaitannya biar Polri yang menjelaskan," katanya dalam jumpa pers di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (9/3).
Menurut Irwandi, para teroris itu masuk ke Aceh dengan memakai isu Islam dan syariah (Inilah.com, 9/3). Ia juga memenambahkan, para teroris ini ingin menjadikan Aceh sebagai basis teroris Asia Tenggara. Mereka berpikir bisa beroperasi di Aceh karena mayoritas Muslim dan pernah punya GAM. "Tapi sangkaan mereka salah. Masyarakat Aceh tidak seperti itu," katanya (Detik.com, 9/3).
Keterkaitan teroris Aceh dengan Kelompok Pamulang juga dikuatkan oleh Kepala Densus 88 Antiteror Polri Brigjen (Pol) Tito Karnavian. "Teroris di Pamulang adalah otak pelaku yang mengirimkan orang-orang ke Aceh. Iya, dia biang keroknya yang kirim orang ke Aceh. Itu nama besar,” ucap Tito melalui pesan singkatnya, Selasa (Inilah.com, 9/3).
Terkesan Dipaksakan
Selain janggal, isu terorisme kali ini terkesan dipaksakan. Pasalnya, isu ini muncul saat antiklimaks kasus skandal Bank Century yang dibawa ke Sidang Paripurna DPR dan menghasilkan keputusan melalui voting ‘Opsi C’ (bahwa bailout Century bermasalah). Isu ini juga muncul menjelang kedatangan Obama ke Indonesia. Dengan isu ini, Pemerintah seolah ingin menunjukkan kembali kepada pihak AS mengenai perhatian dan komitmennya terhadap kasus-kasus terorisme.
Selain itu, proyek kontra-terorisme memang merupakan salah satu prioritas dalam 100 hari program kerja Pemerintahan SBY. Dalam 100 hari itu diharapkan bisa dirumuskan ‘cetak biru’ penanganan terorisme, yang pelaksanaannya tentu membutuhkan waktu lebih dari 100 hari. Bahkan inilah salah satu inti dari pertemuan National Summit di Jakarta pada 29-31 Oktober 2009 lalu.
Karena itu, saat memimpin rapat terbatas bidang politik, hukum dan keamanan (Polhukam), SBY antara lain mengingatkan bahwa pemberantasan terorisme tetap menjadi agenda dalam penegakan hukum dan HAM (Detik.com, 5/3).
Lebih dari itu, komitmen pada isu terorisme ini juga menjadi kesepakatan dan pembicaraan antara Obama dan SBY saat pertemuan terbatas di Singapura. Saat kunjungan Obama ke Indonesia pertengahan Maret ini pun, hal ini akan kembali menjadi inti dan komitmen Indonesia-AS.
Umat Harus Waspada!
Umat Islam di Indonesia tentu harus memahami sekaligus mewaspadai mencuatnya kembali isu terorisme ini karena beberapa hal berikut: Pertama, terorisme hakikatnya adalah isu yang dijadikan proyek global AS yang bersifat jangka panjang setelah Peristiwa Peledakan WTC 9/11/2001. Proyek terorisme ini digunakan AS sebagai strategi untuk terus menjajah negeri-negeri kaum Muslim, termasuk Indonesia, semata-mata demi kepentingan AS dan Kapitalisme globalnya. Ini dilakukan dengan bantuan dan kesetiaan para penguasa negeri kaum Muslim yang berkhianat kepada Allah SWT, Rasul saw. dan umat Islam. Padahal Allah SWT telah berfirman:
]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia (QS al-Mumtahanah [60]: 1).
Kedua, bagi AS isu terorisme di Dunia Islam, khususnya di Indonesia, terbukti mampu menciptakan keterbelahan umat Islam. Umat Islam diadu domba dengan sejumlah pengelompokan: moderat-radikal; liberal-fundamentalis; dsb. Keterpecahbelahan ini jelas secara langsung melemahkan umat Islam. Karena itu, umat Islam tentu harus waspada, karena Allah SWT telah berfirman:
]وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا[
Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai (QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Ketiga, isu terorisme akan terus diusung dan menjadi perhatian penguasa negeri ini (yang terjebak dalam proyek global AS) sampai seluruh komponen Islam yang dianggap mengancam agenda sekularisasi dan liberalisasi betul-betul bisa dibungkam.
Keempat, isu terorisme ini juga bisa dijadikan alasan oleh Indonesia untuk meminta kembali kerjasama militer dengan AS karena Indonesia dianggap telah serius memberantas terorisme. Padahal Allah SWT telah berfirman:
]الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ[
(Orang-orang munafik itu) ialah mereka yang mengambil orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 139).
Kelima, Indonesia adalah bagian dari Dunia Islam yang memiliki nilai strategis dari berbagai aspek; jumlah penduduk, sumber daya alam serta geopolitik di kawasan Asia Pasifik maupun di Dunia Islam. Indonesia menjadi salah satu basis perang melawan terorisme, yang secara tegas menempatkan Islam dan kaum Muslim sebagai sasarannya. Karena itu, wajar jika selama ini Islam dan kaum Muslim menjadi korban dari isu terorisme ini. Sebab, memang itulah yang menjadi target AS. Allah SWT berfirman:
]وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا[
Orang-orang kafir tidak henti-hentinya berusaha memerangi kalian hingga mereka berhasil mengeluarkan kalian dari agama kalian—jika saja mereka mampu (QS al-Baqarah [2]: 217).
Wahai kaum Muslim:
Isu terorisme akan terus dipelihara oleh AS sebagai gembong negara penjajah demi terus-menerus menjajah dan menguasai kaum Muslim. Kaum Muslim akan selalu menjadi sasaran kaum kafir penjajah, termasuk melalui isu terorisme, jika mereka tidak memiliki pelindung. Pelindung mereka tentu bukan para penguasa yang justru menjadi pelayan negara penjajah seperti AS. Pelindung mereka tidak lain adalah seorang Khalifah yang bertakwa kepada Allah SWT. Itulah yang ditunjukkan oleh para khalifah pada masa Kekhilafahan Islam selama berabad-abad lamanya. Karena itu, mengangkat kembali seorang khalifah dalam institusi Khilafah Islam adalah pilihan yang bukan saja merupakan tuntutan syariah, tetapi juga tuntutan kondisi saat ini. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb []
Komentar al-islam:
Kemitraan strategis Indonesia AS terkait Namru akan ditandatangani pertengahan Maret ini (Hidayatullah.com, 9/3/2010).
Faktanya, di masa lalu Namru strategis bagi AS, tetapi tragis bagi Indonesia.
Tidak ada komentar