Header Ads

Kemana Suara Pegiat HAM?

Apakah nyawa orang-orang yang dituduh teroris itu, lebih rendah nilainya dibanding dengan kegiatan seminar gay atau waria dengan alasan kebebasan berkumpul dan berekspresi?

Seorang yang diduga teroris disergap di Cawang Jakarta. Badan-badan kekar bersenjata yang kemudian diketahui Densus 88, menembak mati laki-laki yang diduga teroris. Saksi mata mengatakan tidak ada baku tembak. Hal ini merupakan rangkaian penyergapan yang dilakukan Densus 88. Penyergapan juga dilakukan di Cikampek dan Sukoharjo. Densus 'sukses' membunuh 5 tersangka teroris.

Kita tentu tidak setuju terhadap siapapun yang melakukan tindakan teror dengan melakukan pemboman atau pembunuhan terhadap siapapun yang tidak bersalah. Islam melarang membunuh seseorang tanpa yang dibenarkan hukum syara'. Namun, kita juga tidak setuju kalau seseorang yang belum tentu bersalah dibunuh dengan tuduhan teroris.

Seakan-akan cap teroris membuat seseorang berhak diperlakukan seenaknya, semaunya, termasuk membunuh tanpa dasar. Apalagi 'cerita' teroris yang selama ini diterima oleh kita, cerita satu sumber yang sulit untuk diverifikasi. Seharusnya, seseorang baru bisa disebut teroris kalau memang terbukti bersalah di pengadilan.

Lebih-lebih lagi, kalau cap teroris dibangun hanya karena persamaan pemikiran, kesamaan ciri-ciri fisik, atau hubungan pertemanan, pernah ketemu atau pernah ikut pengajian. Seperti mengaitkan ciri-ciri teroris adalah anti Amerika, tidak setuju terhadap demokrasi, ingin memperjuangkan syariah Islam, negara Islam. Termasuk berjenggot, isbal (celana di atas mata kaki) dan dahi hitam.

Kecenderungan ini tentu sangat berbahaya, korban-korban yang tidak bersalah atau belum terbukti bersalahpun akan berjatuhan. Sebab, sangat banyak orang yang menginginkan syariah Islam, negara Islam, termasuk berjenggot dan berdahi hitam, namun tidak setuju terhadap aksi pemboman yang salah sasaran. Dalam metode perjuangannya untuk menegakkan negara Islam, tidak sedikit kelompok Islam yang tidak menggunakan kekerasaan atau angkat senjata. Kalau seperti ini didiamkan negara yang diwakili Densus 88 akan menjadi pembantai sistematis terhadap umat Islam.

Kita tentu tidak ingin Densus 88 meniru habis 'gaya' Amerika yang membunuh umat Islam di berbagai belahan dunia dengan tuduhan terorisme.

Padahal semua tahu, istilah teroris sendiri masih kabur dan belum ada satu definisi yang benar-benar obyektif dan diterima semua pihak. Para Mujahidin Irak, Afghanistan, Palestina, yang melakukan perlawan terhadap Barat dan Israel yang menjajah negeri. mereka disebut teroris. Sebaliknya Israel yang melakukan serangan bruta! membunuh rakyat sipil di Gaza tidak disebut teroris. Serangan pesawat tanpa awak AS yang berulangkali salah sasaran di Afghanistan dan Irak, tidak membuat Negara Paman Sam itu disebut teroris.

Kita juga tidak ingin Densus digunakan kepentingan elite tertentu. Seperti dugaan upaya pengalihan dari isu mundurnya Sri Mulyani dan penangkapan Susno Duadji. Apalagi digunakan untuk kepentingan kekuatan asing. Penyergapan para tertuduh teroris yang bersamaan dengan persiapan kunjungan Obama juga memunculkan tanda tanya besar. Ketika Obama hendak berkunjung pada bulan Maret lalu (meskipun kemudian ditunda), penyergapan terjadi di Pamulang. Sekarang terjadi hal yang sama bertepatan dengan rencana kunjungan Obama pada pertengah Juni mendatang.

Yang juga kita pertanyakan mana suara-suara pegiat HAM termasuk Komnas HAM. Sampai tulisan ini dibuat tidak ada upaya sungguh-sungguh dari Komnas HAM untuk segera mengusut penembakan tertuduh teroris ini. Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh malah belum mau berkomentar dengan alasan Komnas HAM baru mendiskusikan masalah penembakan teroris hingga tewas secara umum di internal Komnas HAM. Apakah karena mereka dicap teroris hak-hak mendasar mereka tidak berhak dibela? Apakah dibenarkan oleh HAM membunuh seseorang padahal belum terbukti bersalah?

Sementara ketika beberapa kelompok Islam membubarkan seminar gay di Surabaya dan waria di Depok, Komnas HAM iantang bersuara dengan mengatakan tindakan itu adalah pelanggaran HAM. Padahal sudahjelas-jelas gay dan waria adalah pelanggaran terhadap ajaran agama Islam. Apakah nyawa orang-orang yang dituduh teroris itu, lebih rendah nilainya dibanding dengan kegiatan seminar gay atau waria dengan alasan kebebasan berkumpul dan berekspresi?

Lagi-lagi ini membuktikan, penggiat HAM termasuk Komnas HAM bersikap diskriminatif terhadap isu-isu HAM yang korbannya adalah umat Islam. Seperti pembantaian terhadap umat Islam di Ambon, Poso, Kalimantan, para aktifis HAM nyaris tidak bersuara.

Walhasil umat Islam tidak bisa bersandar pada kekuatan-kekuatan asing, pegiat HAM yang sesungguhnya merupakan pendukung-pendukung imperialisme baik langsung atau tidak. Mereka tidak akan sungguh-sungguh membela umat Islam. Yang dibutuhkan umat Islam adalah institusi pelindung sejati, Khilafah Islam.[]Farid Wadjdi

Media Umat

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.