Header Ads

Cari Rezeki Hingga Mati

Oleh : Mujiyanto


Nasib tenaga kerja wanita asal Indonesia kembali berakhir di ujung pedang. Ruyati binti Satubi, Sabtu (18/6) menjalani hukuman pancung di Arab Saudi karena terbukti membunuh majikannya. Kejadian ini menambah panjang daftar TKW/TKI bermasalah di luar negeri.

Di deretan berikutnya, setidaknya masih ada 200 TKI lagi yang menanti nasib yang sama. Mereka ada yang sudah divonis mati —tinggal menunggu eksekusi— maupun sedang menjalani proses hukum dengan ancaman hukuman mati.

Pasti tidak ada keluarga yang rela anggota keluarga mereka dihukum mati. Toh, sejak awal para TKI ini berangkat ke luar negeri hanyalah satu tujuan yakni mencari sesuap nasi. Tak aneh, bila keluarga sangat terpukul dan kehilangan manakala tiba-tiba ada kabar bahwa anggota keluarga mereka meninggal di negeri orang karena hukuman.

Yang aneh, justru tindakan negara terhadap kejadian ini. Meski presiden menyatakan ikut berduka, sikap pemerintah sepertinya tak terlalu peduli dengan nasib para TKI ini. Migrant Care menyebut pemerintah selalu reaktif, tidak preventif dalam melindungi tenaga kerja Indonesia.

Bisa jadi ini muncul karena pemerintah menganggap persoalan TKI bermasalah ini hanya kecil. Simak pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengklaim bahwa TKI yang terlilit masalah hukum di luar jumlahnya sangat kecil.

Bahkan, menurut Presiden, jika dihitung dari jumlah keseluruhan TKI yang bekerja di luar negeri, TKI bermasalah tidak lebih dari 1 persen saja. "Ada sekira lima juta orang warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negeri. Sebagian besar bekerja di negara-negara tertentu, utamanya di Timur Tengah dan beberapa yang bekerja di wilayah dunia yang lain, konsentrasi timur tengah," kata SBY saat memimpin rapat Satgas TKI di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta, Jumat (1/7). “Jadi dari sekira 5 juta TKI sebenarnya yang betul-betul bermasalah itu sedikit. Kurang dari 1 persen," imbuhnya.

Padahal, sesedikit apapun yang bermasalah, persoalan itu terkait dengan nyawa manusia. Dari sudut pandang negara, mereka adalah warga negara yang perlu mendapat perlindungan.

Kalau mau jujur, mereka pasti tidak memilih bekerja luar negeri jika ada pekerjaan lebih baik di dalam negeri. Lagi pula kebanyakan mereka yang merantau itu sangat miskin pengetahuan dan keahlian. Bekal mereka hanya kemampuan apa adanya. Jadilah mereka pembantu rumah tangga sedikit sekali yang bekerja mengisi posisi para profesional.

Tapi memang tidak ada pilihan lain. Kondisi keluarga memaksa sebagian warga negara yang kebanyakan wanita nekad ke luar negeri. Mereka meninggalkan keluarganya, buah hatinya, atau suaminya. Mereka korbankan itu semua untuk menjadi pahlawan devisa.

Kemiskinan menjadi faktor utama. Bekerja di luar negeri bukanlah kebanggaan, tapi sebuah keterpaksaan. Tak heran sebagian mereka pun nekad, sampai menempuh jalur ilegal untuk mencapai negara tujuan. Di luar negeri pun mereka berani mengambil risiko, termasuk risiko hukum, baik yang ringan hingga yang terberat—hukuman mati.

Inilah ironi negeri Indonesia. Negara kaya sumber daya alam tapi penduduknya miskin. Negara lebih suka 'mengekspor' tenaga kerja —mayoritas wanita— untuk mendapatkan devisa daripada mengelola sumber daya alam secara mandiri bagi kesejahtera¬an seluruh rakyat.

Wajar, bila di mata para pengusaha Timur Tengah, Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor pembantu terbesar. Sebenarnya, ini adalah sebuah aib bagi sebuah bangsa. Tapi nyatanya, di mata negara, pembantu adalah sebuah potensi untuk mendapatkan devisa dan sekali¬gus menutupi borok pemerintah yang tidak mampu menyejahterakan rakyatnya.

Bandingkan dengan Cina, negara berpenduduk lebih dari 1 milyar manusia. Rasanya, negara tersebut tidak pernah mengekspor pembantu ke negara lain. Justru negara itu memanfaatkan potensi tenaga kerja dalam jumlah besar untuk memproduksi barang dan jasa sehingga kini produk Cina membanjiri pasar dunia.

Memang menjadi pembantu bukan pekerjaan hina. Tapi ketika seorang wanita bekerja ke luar negeri, banyak dampak yang ditimbulkan. Dari kacamata Islam, perginya sendiri tanpa didampingi mahramnya adalah sebuah pelanggaran. Kalaulah dia seorang ibu rumah tangga, ia meninggalkan kewajiban mengurusi rumah tangganya baik terhadap anaknya dan suaminya. Dampak berikutnya, banyak terjadi kasus perceraian dan perselingkuhan. Banyak anak yang tumbuh tanpa kasih sayang sang ibu, dan lain-lain.

Dan yang mengambil banyak keuntungan dari ekspor pembantu/TKI lainnya ke luar negeri ini sebenarnya adalah para 'penjual' tenaga kerja ini. Malah, beberapa kalangan menyebut telah ada praktik trafficking —perdagangan manusia— terselubung dalam praktek pengiriman TKI ke luar negeri, meski tidak semuanya.

Tidak aneh bila kemudian perusahaan pengerah tenaga kerja ini lepas tangan bila terjadi kasus-kasus yang menimpa TKI. Soalnya, mereka merasa sudah melepaskan 'barang'-nya itu ke tangan pembeli/pengguna. Ruyati-pun akhirnya memperjuangkan nasibnya sendiri, sampai mati.

Hukuman Pancung

Begitu kabar Ruyati dihukum pancung, komentar bermunculan terhadap proses hukum tersebut. Tanpa melihat proses hukum itu sendiri berlangsung, sebagian langsung menyatakan bahwa hukum pancung itu amat biadab dan kejam.

Para pegiat HAM mengecam hukuman mati tersebut. Mereka menilai, manusia tak berhak mencabut nyawa seseorang karena itu hak sepenuhnya tuhan. Sebagian masyarakat pun menilai hukum pancung di Saudi itu sadis dan tidak berperikemanusiaan.

"Hukuman mati itu sama sekali tidak bisa diterima,” ujar Bertrand Lortholary, penasihat Presiden Prancis untuk Urusan Asia Pasifik, di Kantor Kepresidenan Prancis, Jumat (24/6). Ia mengatakan, Prancis dan negara-negara Eropa sangat tidak setuju dengan hukuman mati, sebab bertentangan dengan hak asasi manusia dan hak-hak untuk para pekerja. "Tak bisa diterima bahwa di abad ke-21 ini masih ada perbudakan."

Para pembela HAM lupa, bahwa para terpidana telah melakukan perbuatan mencabut nyawa orang. Maka, suatu yang adil pula jika terpidana tersebut menerima ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya.

Soal layakkah manusia yang melakukannya? Anggota Komnas HAM Shararuddin Daming menyatakan, manusia bisa melakukannya, karena Allah telah mendelegasikannya kepada manusia. Hanya saja standar yang dipakai haruslah standar Allah, yang dalam Islam disebut sebagai hukum syara.

"Allah SWT sudah mewahyukan bahwa hak yang tadinya itu merupakan hak prerogatif Allah SWT, melalui firman-Nya sebagian itu diserahkan kepada manusia, salah satunya dengan hukum qishas itu. Nah, itu berarti Allah SWT sudah mendelegasikan, berarti kita tidak sedang merampas hak Allah ketika kita melaksanakan hukum qishas,” jelasnya.

Qishash sendiri maknanya adalah hukuman yang setimpal. Orang yang memukul, maka qishas-nya ya dipukul. Orang membunuh, qishas-nya ya dibunuh. Bukankah ini sangat adil?

Dalam khasanah hukum Islam, hukuman itu memiliki dua hikmah/fungsi, yakni jawabir, artinya hukuman itu dapat menjadi penebus dosa di akhirat. Hikmah kedua berupa zawajir, maksudnya hukuman itu bisa menimbulkan efek jera di masyarakat, sehingga orang lain tidak mengulangi tindakan tersebut.

Maka orang yang telah di qishas, insya Allah dosa atas perbuatannya itu terhapus. Ia tidak akan disiksa atas perbuatan yang telah dilakukannya itu ketika nanti di akhirat karena telah di-tebus. Dalam kasus Ruyati, mudah-mudahan hukuman itu menghapus dosanya karena membunuh majikannya.

Paling Manusiawi

Soal pancung itu sendiri yang dianggap kejam, penelitian membuktikan bahwa pemancungan adalah cara kematian yang paling cepat di antara cara kematian lain yang ada di dunia.

Penelitian sains terhadap binatang mamalia yang dipenggal menunjukkan, anjing menjadi tidak sadar 12 detik setelah suplai darah ke otak mereka tersumbat (Roberts, 1954). Telah dihitung bahwa otak manusia memiliki cukup oksigen untuk metabolisme disimpan untuk bertahan sekitar 7 detik setelah pasokan terputus (Mc Ilwain dan Bachelard, 1985). Namun, otak juga bisa memperoleh sebagian energi dari substrat di kulit kepala dan otot-otot wajah dan leher (Geiger dan Magnes, 1947). Dan mati akibat anoxia/kekurangan oksigen akibat pendarahan hebat. Melalui penelitian itu disimpulkan hewan dan manusia yang dipenggal akan merasakan sakit kira-kira 7-15 detik sebelum benar-benar meninggal. Bandingkan dengan kematian akibat tembakan yang membutuhkan waktu 10-20 menit sebelum obyek meninggal atau penggantungan yang membutuhkan waktu hampir 20 menit meregang nyawa sebelum akhirnya secara medis meninggal. (infounik1001.blogspot.com)

Berdasarkan pengalaman hukuman mati, terpidana mati dengan tembakan, suntikan, gantung, dan kursi listrik, mereka sebelum mati tersiksa luar biasa. Khusus dengan kursi listrik, terpidana bisa muntah darah, anggota badan, jari jemari tangan, kaki, dan wajah berubah bentuk, bola mata sering melotot, dan mereka juga sering buang air besar dan kecil, serta mengeluarkan air liur.

Namun demikian, hukuman mati adalah hak negara, bukan individu maupun kelompok. Negara yang dimaksudpun adalah negara yang berdasarkan syariah Islam yakni khilafah.

Hukuman itu sendiri jatuh setelah melalui proses pengadilan. Dalam bahasa fiqih, qishas di sana sah secara syar'i, selama memenuhi hukum syara' yang terkait qishash, misalnya hukum bayyinah (pembuktian), tata cara qishas, serta hukum pemaafan dan diyat (tebusan). Mengenai hukum pembuktian misalnya, pembunuhan harus dibuktikan dengan dua orang saksi atau pengakuan pelaku, sesuai ahkamul bayyinat atau hukum-hukum pembuktian dalam syariah Islam.

Dalam hukum Islam, majikan pun tak bisa lepas dari hukum bila mereka melakukan penyiksaan kepada para pembantu. Tidak ada pembedaan hukum. Mereka yang menyiksa pun bisa di qishas sesuai dengan kadar kesalahan yang diperbuatnya.

Nah, pelaksanaan hukum qishas ini baru bisa sempurna jika dilakukan oleh imam (khalifah) atau hakim-hakim syariah yang mewakili khalifah melalui akad niyabah (perwakilan). Jika tidak demikian, hukum qishas itu, menurut Ketua DPP HTI Siddiq Al Jawi, menjadi tidak sempurna meskipun dua hikmah hukuman itu tetap ada.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.