Header Ads

PKS Berubah Menjadi Partai Pengejar Jabatan Publik

Dalam konstelasi politik nasional, sejatinya saat masih bernama PK, Jamaah Tarbiyah masih menonjolkan karakter ideologis dalam dirinya. Hal ini kemudian berubah saat terjadi peralihan dari PK menuju PKS. PKS berkembang dari partai yang ideologis menuju ke arah the Office-Seeking Party atau partai pengejar jabatan-jabatan publik. Kuat dugaan hal ini disebabkan menguatnya kelompok pragmatis-progresif dalam tubuh PKS.

Temuan itu dikatakan DR. Arief Munandar dalam Sidang Disertasi Sosiologi-nya yang berjudul “Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader PKS dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004” di FISIP UI, selasa, 5/7/2011.

Pria yang hari ini resmi didaulat menjadi Doktor Sosiologi itu, mengungkapkan juga bahwa PKS cenderung menjadi partai yang oligarki. Menurutnya fenomena itu terjadi karena sebagian publik PKS masih menganggap sampai saat ini belum ada yang sosok yang layak menggantikan Ustadz Hilmi Aminuddin.

Penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan ragam studi kasus ini menyatakan bahwa pasca tahun 2004 efektifitas tarbiyah mengalami penurunan.

“Keguncangan dalam menghadapai berbagai kondisi kontemporer internal maupun eksternal menunjukkan bahwa proses perubahan identitas kolektif dari sebuah gerakan keagamaan menuju partai modern masih jauh dari selesai,” ucap jebolan Sarjana Ekonomi UI tahun 1989 ini.

Aktifis Dakwah kampus Era 90-an tersebut menyimpulkan bahwa ada masalah dalam internal PKS. Isu Partai terbuka adalah salah satu dampak yang mendistorsi citra PKS sebagai partai dakwah, “Secara internal, kohesi sebagai Partai Dakwah terdistorsi wacana Partai Terbuka di tingkat eksekutif.” Tandasnya di depan para penguji seperti DR. Anies Baswedan, DR. Linda Damayanti, MT, Lugina Setyawati Ph.D dan Francisia Seda Ph.D.

Ketika DR. Anies Baswedan bertanya mengenai langkah apa yang harus dimainkan oleh PKS, DR. Arief Munandar menekankan pada keharusan melakukan desakralisasi figur elitis di tubuh PKS. “Ada ruang bermain yang terlampau luas dalam tubuh PKS.” Elit PKS seharusnya tidak berlindung dibalik dalih seperti khusnudzan, ketaatan, dan ukhuwah.

Maka berdasarkan temuan itu, DR. Arief merekomendasikan untuk melakukan demokratisasi, deoligarkisasi, dan desakralisasi organisasi di tubuh partai. “Desakralisasi bukan sekularisasi, melainkan meletakkan segenap praksis dan strategi yang dilakukan aktor sebagai hal yang profan (lawan dari sakral), sehingga terbuka untuk dikritisi para kader.” Ujarnya di sidang yang dihadiri banyak pula para petinggi PKS, akademisi, mahasiswa, dan keluarga.

Dari rekomendasi itu, DR. Arief membuat tujuh langkah strategis. Salah satunya adalah mengubah manhaj tarbiyah secara mendasar, dengan memasukkan nilai-nilai wawasan dan keterampilan berpolitik dan berekonomi, sehingga mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana berpolitik dan mendanai politik yang benar.

Selanjutnya, PKS diharapkan menerapkan “motto bersih” secara internal dengan memberlakukan mekanisme pembuktian terbalik bagi kader-kader PKS yang karena jabatannya memiliki akses terhadap sumber daya finansial. Kata DR. Arief hal itu bisa dimulai dengan memfungsikan lembaga audit internal independen dengan kewenangan luas.

Ia juga meminta agar PKS menjadikan tarbiyah sebagai media membangun dan menguatkan sense of agency, “Antara lain memasukkan bahasa Arab, Ushul Fiqh, Ulumut tafsir ke dalam kurikulum tarbiyah sehingga ketaatan kader dibangun atas dasar pemahaman mendalam.” imbuhnya.

Para penguji mengatakan kebanggannya kepada DR. Arief, bahkan Fransisia Seda. Ph.D selaku penguji mengatakan disertasi DR. Arief adalah disertasi terbaik yang pernah ia uji. Berkat jerih payahnya, pria yang mempersembahkan disertasi kepada keluarganya itu diganjar dengan nilai cumlaude atau memuaskan. (pz/eramuslim/al-khilafah.org)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.