Header Ads

Hal-Hal Terlarang dalam Bisnis (2): Perjudian & Jual Beli Terlarang

2. Perjudian/Qimar/Maysir
Menurut Al-Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifat hal. 179: “Judi adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang”.



Definisi lainnya: “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”[1]
 
Dengan demikian, dalam transaksi judi terdapat tiga unsur: 

1. Ada harta/materi yang dipertaruhkan
2. Ada suatu permainan/tindakan yang digunakan untuk menentukan pihak yang menang dan yang kalah.
3. Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya/kelipatannya) yang menjadi taruhan (murahanah), sedang pihak yang kalah akan kehilangan hartanya. 

Perjudian termasuk salah satu cara bagi seseorang untuk mengembangkan hartanya. Cara ini telah diharamkan oleh Islam berdasarkan firman Allah dlm surat Al Maidah:190

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah najis, termasuk perbuatan syaitan”.
 
Perjudian yang sudah dilembagakan biasanya berujud dalam bentuk kasino-kasino, kupon-kupon sumbangan berhadiah dll. Bahkan Prof Maurice Allais, peraih Nobel Ekonomi 1997 dalam tulisannya “The Monetary Conditions of an Economy of Markets ” menyebut bursa saham dunia saat ini sebagai BIG CASINO (kasino besar) dengan meja judi yang disebar ke seluruh antero dunia mulai dai New York, London, Tokyo, Hongkong, Frankfurt hingga Paris. 

3. Larangan-Larangan Dalam Kegiatan Jual-Beli
a. Memperjualbelikan Barang yang Haram
Terdapat beberapa benda yang diharamkan dimakan oleh Allah SWT seperti daging babi, bangkai, dan darah. Ada pula yang diharamkan meminumnya, seperti khamr. Ada pula barang yang diharamkan memasangnya seperti patung. Ada pula barang yang diharamkan pembuatannya seperti lukisan bernyawa. Benda-benda seperti itu telah ditegaskan keharamannya dalam banyak nash. 

Allah SWT tidak hanya mengharamkan benda-benda tersebut saja, melainkan juga Dia mengharamkan menjualbelikannya. Sebab, harga hasil dari penjualannya itu haram. 

Jabir menyatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ» ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ المَيْتَةِ، فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: «لاَ، هُوَ حَرَامٌ» ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: «قَاتَلَ اللَّهُ اليَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ، ثُمَّ بَاعُوهُ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ»

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan berhala. Beliau pun ditanya oleh para sahabat: ‘Wahai, Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai. Sungguh lemak tersebut dapat menambal perahu, melumuri kulit, dan dapat menerangi masyarakat (menjadi minyak) ?’ Beliau segera menjawab: Tidak, itu haram. Seraya melanjutkan, ‘Semoga Allah memerangi Yahudi. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak namun mereka merubahnya menjadi indah, lalu menjualnya dan memakan uangnya.’” (HR. Bukhari No. 2236, Maktabah Syamilah). 

Anas juga menceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw. dan berkata,

إِنَّهُ قَدْ كَانَ عِنْدِي مَالُ يَتِيمٍ، فَاشْتَرَيْتُ بِهِ خَمْرًا، أَفَتَرَى أَنْ أَبِيعَهُ، فَأَرُدَّ عَلَى الْيَتِيمِ مَالَهُ؟

‘Sesungguhnya aku menyimpan harta anak yatim lalu aku beli khamr dengan harta itu, apakah aku harus menjualnya kembali untuk mengembalikan hartanya?’ 
 
Maka Rasulullah saw. bersabda:

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُومُ، فَبَاعُوهَا، وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا

‘Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, telah diharamkan atas mereka lemak, lalu mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya.’ Rasulullah saw tidak mengizinkan aku menjual khamr,” (HR Ibnu Hibban No. 4945, Ahmad (III/217), ‘Abdurrazzaq no. 16970 dan Abu Ya’la no. 3034]). 

b. Menjualbelikan Barang yang Sudah Dijual
Misalnya, ada seorang pedagang A yang telah menjual suatu barang dagangannya kepada orang lain B. Kemudian datang pedagang lain kepada B menganjurkan untuk membatalkan akad jual beli tadi. Kompensasinya ia menawarkan kepada B untuk membeli barang dengan merek dan kualitas yang sama dengan barang tadi tapi dengan harga yang lebih murah. Jual beli seperti ini haram. Contoh lain, seorang pedagang X menjual suatu barang kepada pembeli Y. Tiba-tiba, datang Z meminta X untuk membatalkan akad jual beli tadi. Seraya ia menyodorkan tawaran untuk membeli barang tadi dengan harga yang jauh lebih mahal daripada harga yang diberikan kepada Y. Jual beli demikian pun haram. 

Imam Ahmad dan An Nasai dari Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

Janganlah seseorang diantara kalian menjual/membeli barang yang dijual/dibeli oleh saudaramu.” Sabdanya yang lain: “Siapapun yang membeli suatu barang dari dua orang, maka yang berhak adalah yang pertama” (HR. Abu Dawud Tirmidzi, dan Al Hakim). 

c. Menjual barang sebelum sempurna pemilikannya
Termasuk barang yang belum sempurna kepemilikannya adalah: (1) barang yang bukan miliknya; (2) barang yang sudah dibeli, tetapi belum sempurna pemilikannya. Rasulullah SAW melarang siapapun menjual barang yang bukan miliknya, atau barangnya tidak ada. Hakim bin Hazm berkata: Aku berkata kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku hendak membeli sesuatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjual barang dari pasar.’ Maka Rasulullah SAW bersabda:

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Janganlah engkau menjual apa yang tidak ada padamu !” (HR. Abu Dawud No. 3503).
Ungkapan Nabi SAW ma laisa ‘indak (yang tidak ada padamu) bersifat umum mencakup apa yang tidak dimiliki, barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli akibat tidak adanya kemampuan, dan barang yang belum sempurna pemilikannya. Hal ini dipertegas dengan argumentasi yang telah dijelaskan saat membahas syarat-syarat jual beli tentang al qabdh. Jelaslah semua barang yang tidak ada pada seseorang, baik bukan milik dia, tidak dapat ia serahkan, atau belum sempurna pemilikannya tidak dapat diperjualbelikan. 

Akan tetapi, syari’at membolehkan jual beli salaf/salam (indent/bertempo/pesanan), yakni membayar dimuka dan diterima barangnya setelah kurun waktu, walaupun barangnya belum dimiliki, dengan syarat: spesifikasinya jelas, timbangan/ukurannya jelas, harganya jelas dan tempo/waktu penyerahannya jelas. 

Nabi saw. bersabda;

مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

“Siapa yang mempraktekkan salaf dalam jual beli sesuatu hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui”. (HR. Bukhary, no. 2086). 

d. Berjual Beli Sesuatu Yang Tidak Tentu (Majhul)
Misalnya, seseorang membeli buah-buah yang akan muncul dari pohon-pohon dalam kebun selama 3 tahun mendatang. Setiap berbuah, buah itulah yang diambil sebagai kompensasi dari uang tersebut. Adapun pohonnya tidak dibeli. Jual beli buah seperti ini haram, sebab buahnya belum ada. Padahal jual beli sesuatu yang belum ada atau tidak jelas keberadaannya (majhul) termasuk tindakan ‘tipuan’. Sementara jual beli ‘tipuan’ haram berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim yang menyatakan bahwa Nabi SAW melarang jual beli ‘tipuan’. Selain itu, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian membeli ikan dalam air sebab itu adalah tipuan (ghurur)” (HR. Imam Ahmad). 

e. Terdapat dua akad dalam satu transaksi jual beli
Imam Ahmad meriwayatkan: “Rasulullah SAW melarang dua akad dalam satu transaksi (akad).” Hadits ini menggambarkan bahwa tidak boleh di dalam suatu transaksi jual beli dua akad sekaligus. Misalnya, seseorang mengatakan ‘Saya menjual rumah saya ini kepadamu asalkan saya menjual rumah yang lain kepada engkau dengan harga segini.” Atau, ‘Saya menjual rumah ini kepadamu, atas dasar engkau menjual rumahmu kepadaku.’ Atau, ‘Saya menjual rumah ini kepadamu dan engkau menikahkan saya dengan putrimu.’ Akad seperti ini tidak boleh. Semestinya, akad itu satu-satu. 

Dengan demikian, proses leasing sebenarnya bertentangan dengan Islam. Dalam leasing, seseorang menyewa motor, misalnya, dari perusahaan leasing. Bila dalam waktu yang disepakati seluruh biaya dapat dilunasi maka motor itu menjadi milik penyewa. Akadnya jual beli. Namun, bila dalam waktu yang disepakati belum lunas juga maka uang yang sudah dibayar dianggap sewa, sedangkan motornya diambil kembali oleh perusahaan leasing. Ini akadnya sewa. Jadi, dalam leasing ada dua akad sekaligus: jual beli dan sewa. 

f. Melakukan Penimbunan
Penimbunan merupakan suatu cara bagi manusia yang dapat memperbesar harta kekayaannya. Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, sementara masyarakat mengalami kesulitan untuk menjangkau harganya. Cara seperti ini adalah cara yang telah diharamkan oleh Islam. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menimbun barang, maka dia berdosa.” (HR. Muslim No. 3012) 

Namun perlu diperhatikan Islam membedakan antara menimbun dengan penyimpanan (saving). Menimbun kekayaan yang diharamkan adalah menimbun kekayaan melebihi keperluan, sedangkan penyimpanan harta karena ada sesuatu keperluan adalah dibolehkan. Jadi menyimpan kekayaan untuk membeli rumah, mendirikan perusahaan, untuk pendidikan, untuk biaya naik haji dan lain sebagainya adalah tidak dikategorikan sebagai menimbun harta yang di larang. 

g. Melakukan Penipuan Harga (Ghabn)
Ghabn adalah membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga rata-rata. Ghabdn yang diharamkan adalah bila penipuan itu dilakukan dengan keji, yaitu membeli dengan harga yang sangat jauh dari harga rata-rata sementara pihak yang ditipu tidak mengetahui harga pasar. Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian mencegat rombongan dagang (sebelum sampai di pasar) …” (HR. Bukhory No. 2006) 

h. Melakukan Penipuan Barang dan Alat Tukar (tadlis)
Penipuan dalam jual beli dapat menjadi sarana bagi manusia untuk memperbesar kekayaannya. Penipuan ini dapat terjadi baik pada pihak penjual maupun pihak pembeli. Penipuan pihak penjual adalah apabila penjual menyembunyikan cacat barang dagangannya. Sedangkan penipuan pada pihak pembeli adalah apabila pembeli memanipulasi alat pembayarannya. Rasulullah saw bersabda:

وَلَا تُصَرُّوا الْغَنَمَ وَمَنْ ابْتَاعَهَا فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْر

“ … Janganlah kalian menahan susu dari binatang ternak (yang kurus, dengan maksud menipu calon pembeli). Maka siapa yang membelinya setelah itu maka dia punya hak pilih setelah dia memerahnya, bila dia rela maka diambilnya dan bila dia tidak suka dikembalikannya dengan menambah satu sha’ kurma” (HR. Bukhory no. 2006) – Allahu A’lam. (bersambung, insya Allah) – disampaikan di Masjid Mujahidin Banjarmasin pada 21 Januari 2012

[1] Rafiq al-Mishri, Al-Maisir Wal Qimar, hal 27-32

Oleh : M. Taufik N.T 

Baca Juga:

Sumber

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.