Header Ads

Soal Sertifikasi Ulama, Ansyaad Mbai Akhirnya Bantah Ucapan Anak Buahnya Sendiri

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mengusulkan agar ada sertifikasi ulama di Indonesia. Ansyaad balik menuding ada upaya untuk mendelegitimasi usaha pemerintah untuk memberantas terorisme.


"Tidak benar sama sekali. Bukan kita mensertifikasi ulama. Tolong diluruskan," kata Ansyaad seusai rapat tentang Program Nasional Radikal Terorisme di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin (10/9/2012), seperti diberitakan Kompas.com.

Ansyaad mencoba membela anak buahnya dengan mengatakan, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris ketika acara diskusi hanya mengambil contoh negara Singapura yang membuat sertifikasi ulama untuk kepentingan deradikalisasi. Namun, tidak diusulkan untuk diterapkan di Indonesia.

Ansyaad malah menuding kelompok radikal biasa memutarbalikkan pernyataan pemerintah. "Dia mencari angle sensitif pemerintah, lalu dielaborasi untuk melegitimasi upaya pemerintah," ucapnya.

Ansyaad menambahkan, pemerintah sangat memerlukan bantuan para ulama untuk menjalankan program deradikalisasi atau meluruskan paham-pahak radikal di tengah masyarakat. Program itu, kata dia, sudah disusun bersama lintas kementerian dan agama.

"Yang terakhir itu ada surat wasiat dari Thorik. Dia sudah minta izin kepada orang tua, istrinya, keluarganya untuk direlakan mencari ridho Allah di sorga. Itu artinya siap mati. Ini lah yang perlu diluruskan. Kalau seperti itu siapa yang punya kapasitas? Bukan BNPT, bahkan bukan pemerintah. Tapi para ulama, masyarakat, civil society yang harus meluruskan itu," pungkas dia. 

 
Usulan Direktur Deradikalisasi
Sebelumnya diberitakan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) mengusulkan agar para ulama mendapatkan sertifikasi dari negara. Menurut BNPT, sertifikasi da'i dan ustad adalah salah satu cara mencegah ajaran radikal. Hal itu sudah dilakukan oleh negara Singapura dan Arab Saudi.

"Dengan sertifikasi, maka pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi," kata Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris dalam diskusi Sindoradiao, Polemik, bertajuk "Teror Tak Kunjung Usai" di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9/2012).

BNPT sendiri sudah melakukan pengamatan langsung di kedua negara tersebut. Hasilnya, kedua negara tersebut mampu menekan ajaran radikal.

"Pengamatan kami, Singapura dan Arab Saudi yang telah melaksanakan deradikalisasi secara efektif," kata guru besar Politik Hukum Islam UIN Alauddin Makassar itu.

Gagasan yang sama juga pernah dilontarkan oleh Sosiolog Universitas Nasional, Nia Elvina. Nia mengusulkan Kementerian Agama agar mewacanakan perlunya sertifikasi ulama sehingga mereka mempunyai kredibilitas yang tinggi.

"Jika dosen dan guru pun bisa disertifikasi, apakah tidak mungkin juga dilakukan bagi ulama," kata Nia di Jakarta, Senin (3/8/2012), seperti dirilis Antaranews.

Menurutnya, ia ingin memberikan pandangan mengenai ide tentang sertifikasi ulama karena melihat kecenderungan Islam di Indonesia ini mengarah pada radikalisme. Misalnya, kata dia, akhir-akhir ini banyak konflik yang melibatkan pemeluk-pemeluk agama Islam.

"Saya pikir untuk mengatasi hal ini barangkali perlu diadakan semacam sertifikasi ulama itu," ungkap Sekretaris Program Ilmu Sosiologi Universitas Nasional (Unas) Jakarta itu.

PKS Nilai Usulan BNPT Ngaco dan tak Berdasar

Sementara itu, secara terpisah anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) di DPR, Indra, mengecam konsep sertifikasi ulama yang diusulkan BNPT. Dia menjelaskan, sebutan atau gelar kyai, ustadz, buya, tuan guru dan lainnya bagi ulama adalah gelar yang disematkan masyarakat sebagai bentuk pengakuan serta penghormatan kepada seseorang yang dinilai dan diakui keilmuan agamanya.

"Gelar tersebut datang dengan sendirinya seiring kealiman seseorang berdasarkan pengakuan masyarakat dan bukan gelar yang diberikan pemerintah," kata Indra, Senin (10/9/2012), seperti diberitakan JPNN.

Dia heran, bagaimana mungkin para ulama harus disertifikasi terlebih dahulu agar bisa ceramah dan mengisi pengajian. Menurut dia, bentuk-bentuk pengontrolan, pembatasan dakwah atau ceramah para ulama dalam bingkai sertifikasi merupakan sebuah konsep dan tindakan dari pemerintah yang otoriterian. "Yang artinya kita akan kembali seperti zaman orde otoriter," ujar anggota Komisi III DPR itu.

Selain itu, lanjut dia, usulan sertifikasi ulama ini merupakan upaya “mengkriminalisasi-kan” pemikiran-pemikiran seseorang yang bersebrangan dengan kepentingan status quo, terutama  pemikiran yang mengusung Islam.

Lain halnya apabila pemerintah ingin "menciptakan ulama-ulama stempel" yang ceramah dan fatwa-fatwa hanya untuk mendukung atau membenarkan secara membabi-buta kebijakan pemerintah.

"Jadi tak tepat apabila pemerintah menentukan seseorang pantas atau tidak, berhak atau tidak berhak menyandang gelar ulama melalui sertifikasi," katanya.

Dia menilai, ide sertifikasi yang dilontarkan salah seorang pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), merupakan lontaran yang "ngaco" dan tidak  berdasar.

"Ini semacam kekalutan BNPT ketika menghadapi fenomena teror. Dan logika sertifikasi secara eksplisit sebenarnya upaya menyudutkan Islam, seolah-olah siar Islam yang disampaikan para ulama mrpkn sumber munculnya teorisme," kata dia.

Indra menegaskan, kelihatannya BNPT dinilai belum menemukan resep yang efektif untuk mencegah terorisme, sehingga terkadang langkah dan statemennya patut diduga ngawur yang berpotensi melahikan resistensi dari masyarakat luas yang sudah mulai sadar dengan "drama terorisme" yang terjadi selama ini.
[SIOnline/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.