Header Ads

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani Mengklaim Dirinya Sebagai Mujtahid Mutlak?

PEMIKIRAN ASWAJA TOPENG

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani Mengklaim Dirinya Sebagai Mujtahid Mutlak?

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani Banyak Menganjurkan Ash-habnya Agar Berijtihad?

Diantara propaganda yang terus dilancarkan oleh kaum liberal bersarung dari sebagian ustadz (ternasuk M Idrus Ramli) dan ulama pondok pesantren dalam rangka penggembosan terhadap dakwah Hizbut Tahrir dan menghalangi kebangkitan kaum muslim, melalui penegakkan daulah khilafah rosyidah mahdiyyah, adalah propaganda bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rh telah mengklaim sebagai mujtahid mutlak (tidak terbatas / sempurna) dan menganjurkan pengikutnya untuk berijtihad, dan bahwa klaim tersebut adalah salah, sesat dan menyesatkan, karena setelah Aimmatul Arba’ah (Empat Imam Besar: Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) sudah tidak ada lagi mujtahid mutlak. Dengan demikian, karena Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sebagai pendirinya adalah salah, sesat dan menyesatkan, maka Hizbut Tahrir juga salah, sesat dan menyesatkan, dan karena itu, Hizbut Tahrir harus dipantau dan diwaspadai. Propaganda seperti itu sangat gencar dilakukan oleh struktur NU sampai ke ranting-ranting dan masuk ke pondok-pondok pesantren.


Dan secara khusus M Idrus Ramli berkata:
“Seorang alim bisa dikatagorikan sebagai mujtahid apabila telah diakui oleh para ulama dan telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Sementara tidak seorangpun dari kalangan ulama yang mengakui Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah memenuhi syarat-syarat ijtihad sebagai mujtahid atau bahkan hanya mendekati saja derajat seorang mujtahid tidak ada yang mengakui. Sehingga ketika keilmuan seseorang tidak diakui oleh para ulama, maka keilmuannya sama dengan tidak ada. Dan ini berarti Syaikh al-Nabhani bukanlah seorang mujtahid atau mendekatinya”. (Lihat; Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 111-116).

MEMBONGKAR  PAT:

Syaikh Taqiyyuddin mengklaim sebagai mujtahid mutlak?

Terkait tuduhan bahwa Syaikh Taqiyyuddin mengklaim sebagai mujtahid mutlak (tidak terbatas / sempurna) dan menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, maka andaikan tuduhan itu benar, maka kita harus memahaminya sebagai hak pribadi beliau, karena hanya Allah dan beliau yang mengerti dengan kapasitas serta kapabilitas dirinya, dan hanya beliau yang akan bertanggung-jawab di hadapan Allah. Dan kewajiban kita sebagai muslim adalah husnuzh-zhan (berbaik sangka) kepada sesama muslim, apalagi kepada ulama yang selama ini telah menghabiskan umurnya untuk menolong agama Allah dan telah terbukti memiliki karya ilmiah yang tidak sedikit dari kitab ushul fiqh sampai kitab fiqh, seperti akan saya kemukakan dibawah. Sedang kalau kita tidak setuju dengan pendapatnya, ya tinggal jangan diambil dan jangan diikuti. Kita tidak boleh menyalahkan dan menyesatkan pendapat yang memiliki dalil-dalil syar'iy yang shahih.

Akan tetapi sampai saat ini saya tidak menemukan dari berbagai kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin dan berbagai sumber yang dapat di percaya satu keteranganpun bahwa beliau telah mengklaim sebagai mujtahid mutlak dan banyak menganjurkan pengikutnya untuk berijtihad. Sedangkan sesuatu yang saya temukan adalah bukti-bukti atau indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa beliau adalah mujtahid mutlak, yaitu kitab-kitab yang telah disusunnya, baik yang ditabanni oleh Hizbut Tahrir maupun yang tidak ditabanni, dan baik yang memakai nama Taqiyyuddin an-Nabhani maupun memakai nama yang lainnya. Dan pada kitabnya pula terdapat indikasi bahwa beliau sangat memahami persoalan ijtihad.

Sebagai buktinya beliau telah menulis kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah terdiri dari 3 juz, dan pada juz ke I terdapat bab al-Ijtihad wat Taqlid [hal 197-200], bab al-Ijtihad [hal 201-208], bab Syuruthul Ijtihad [hal 209-217], bab at-Taqlid [hal 218-221], bab Waqiut Taqlid [realita taqlid, hal 222-229], bab Ahwalul Muqallidin Wa Murajjahatihim [kondisi para muqallid dan pilihan mereka, hal 230-232], dan bab at-Tanaqul bainal Mujtahidin [ perpindahan di antara para mujtahid, hal 233-235]. Masing-masing bab dibahas secara mendetail dan akurat. Kemudian Syaikh Taqiyyuddin juga telah menulis ushul fikih pada kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz 3 dengan sangat mendetail dan akurat, setebal 494 halaman, semuanya membicarakan ashul fikih yang dasar-dasarnya mirip dengan ushul fikih Imam Syafi'iy, dengan modifikasi [penyempurnaan] yang mampu menjawab tantangan zaman yang serba liberal saat ini. Dan Hizbut Tahrir mampu membangkitkan dan meninggikan pemikiran Islam tanpa harus terpengaruh oleh pemikiran dari luar Islam, sebagaimana pemikiran kaum liberal yang mengacak-acak dan mencampur aduk antara pemikiran Islam dan pemikiran dari luar Islam.

Kemudian seandainya saja klaim Syaikh Taqiyyuddin sebagai mujtahid mutlak itu benar, maka klaim tersebut secara ilmiah bisa dibenarkan dan diterima. Dan untuk membuktikannya dibawah akan saya paparkan sejumlah dasar ilmiahnya:

Pertama: Definisi Mujtahid Mutlak:
1-Dari Malikiyyah:

وَاعْلَمْ أَنَّ الْمُجْتَهِدَ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ : مُجْتَهِدٌ مُطْلَقٌ ، وَمُجْتَهِدُ مَذْهَبٍ ، وَمُجْتَهِدُ فَتْوَى ؛ فَالْمُطْلَقُ كَالصَّحَابَةِ وَأَهْلِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ ، وَمُجْتَهِدُ الْمَذْهَبِ هُوَ الَّذِي يَقْدِرُ عَلَى إقَامَةِ الْأَدِلَّةِ فِي مَذْهَبِ إمَامِهِ كَابْنِ الْقَاسِمِ وَأَشْهَبَ ، وَمُجْتَهِدُ الْفَتْوَى هُوَ الَّذِي يَقْدِرُ عَلَى التَّرْجِيحِ كَكِبَارِ الْمُؤَلَّفِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَذْهَبِ ،

“Ketahuilah bahwa Mujtahid itu terbagi menjadi tiga; Mujtahid mutlak, mujtahid madzhab, dan mujtahid fatwa. Mujtahid mutlak itu seperti para sahabat dan pemilik empat madzhab. Mujtahid madzhab ialah mujtahid yang mampu menegakkan dalil-dalil madzhab imamnya seperti Ibnu Qosim dan Asyhab. Dan mujtahid fatwa ialah mujtahid yang mampu menarjih seperti para pembesar muallif (penyusun kitab) dari pemilik madzhab…”. (Hasyiyah ash-Shawiy ‘ala al-Syarhi al-Shaghiir, 9/295, Maktabah Syamilah).

Keterangan:
Dari perkataan al-Shawi diatas dapat dipahami bahwa mujtahid itu terbagi menjadi tiga bagian dan bahwa para sahabat Nabi SAW itu termasuk mujtahid mutlak.

2-Dari Syafi’iyyah:

مراتب العلماء ست: الأولى مجتهد مستقل كالأربعة وأضرابهم، الثانية مطلق منتسب كالمزني، الثالثة أصحاب الوجوه كالقفال وأبي حامد، الرابعة مجتهد فتوى كالرافعي والنووي، الخامسة نظار في ترجيح ما اختلف فيه الشيخان كالأسنوي وأضرابه، السادسة حملة فقه ومراتبهم مختلف، ... (مجموعة سبعة كتب مفيدة، السيد علوي بن أحمد السقاف، ص 107-108، مكتبة الهداية، سورابايا).

“Derajat ulama itu ada enam: 1) Mujtahid Mustaqil (muthlaq ghairu muntasib) seperti Empat Imam Besar dan sesamanya, 2) Mujtahid Mutlak Muntasib (yang bernisbat / berafiliasi) seperti al-Muzani, 3) Ashhabul Wujuh (ulama pemilik pendapat terkemuka) seperti al-Qafal dan Abu Hamid, 4) Mujtahid Fatwa seperti ar-Rafi’iy dan an-Nawawi, 5) Nazhzhar (para peneliti) dalam menarjih pendapat-pendapat yang diperselisihkan oleh ar-Rafi’iy dan an-Nawawi seperti al-Asnawi dan sesamanya, dan 6) Ulama pengemban fikih dan derajat mereka berbeda-beda…

وفي حواشي القليوبي إن قدر المجتهد على الترجيح دون الإستنباط فهو مجتهد الفتوى، وإن قدر على الإستنباط من قواعد إمامه فهو مجتهد المذهب، أو على الإستنباط من الكتاب والسنة فهو مجتهد المطلق. (مجموعة سبعة كتب مفيدة، السيد علوي بن أحمد السقاف، ص 108، مكتبة الهداية، سورابايا).

Dalam Hasyiyah al-Qulyubi disebutkan bahwa katika mujtahid itu mampu menarjih (mengunggulkan pendapat terkait hukum) dengan tanpa istinbath (menggali hukum), maka ia adalah mujtahid fatwa. Ketika ia mampu menggali hukum dari kaidah-kaidah imamnya, maka ia adalah mujtahid madzhab. Dan ketika ia mampu menggali hukum dari al-Kitab dan Sunnah, maka ia adalah mujtahid mutlak”. ( Sayyid Alwi bin Ahmad as-Saqqaf, Majmu’atu Sab’ati Kutubin Mufiidah, hal. 107-108, al-Hidayah, Surabaya).

Keterangan:
Dari kutifan Sayyid Alwi, “Mujtahid (Mutlak) Mustaqil  (ghairu muntasib) seperti Empat Imam Besar dan sesamanya”, dapat difahami bahwa Mujtahid Mutlak itu tidak hanya empat imam besar, tetapi berjumlah banyak, baik sebelum empat imam atau setelahnya. Dan dari perkataannya, “Dan ketika ia mampu menggali hukum dari al-Kitab dan Sunnah, maka ia adalah mujtahid mutlak”, dapat dipahami bahwa siapa saja mujtahid yang mampu menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, sama saja dengan kaidahnya sendiri atau dengan kaidah imamnya, maka ia adalah mujtahid mutlak.

3-Dari Hanabilah:

وَاعْلَمْ أَنَّ الْمُجْتَهِدَ يَنْقَسِمُ إلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ : مُجْتَهِدٍ مُطْلَقٍ ، وَمُجْتَهِدٍ فِي مَذْهَبِ إمَامِهِ ، أَوْ فِي مَذْهَبِ إمَامِ غَيْرِهِ ، وَمُجْتَهِدٍ فِي نَوْعٍ مِنْ الْعِلْمِ ، وَمُجْتَهِدٍ فِي مَسْأَلَةٍ أَوْ مَسَائِلَ ، ذَكَرَهَا فِي " آدَابِ الْمُفْتِي وَالْمُسْتَفْتِي "،

“Ketahuilah bahwa mujtahid itu terbagi menjadi empat bagian; Mujtahid mutlak, mujtahid pada madzhab imamnya atau pada madzhab selain imamnya, mujtahid pada macam ilmu, dan mujtahid pada satu atau sejumlah masalah, sebagaimana disebutkan pada kitab ‘Adabul Mufti wal Mustafti’.

 فَقَالَ : الْقِسْمُ الْأَوَّلُ " الْمُجْتَهِدُ الْمُطْلَقُ " وَهُوَ الَّذِي اجْتَمَعَتْ فِيهِ شُرُوطُ الِاجْتِهَادِ الَّتِي ذَكَرَهَا الْمُصَنِّفُ فِي آخِرِ " كِتَابِ الْقَضَاءِ " عَلَى مَا تَقَدَّمَ هُنَاكَ إذَا اسْتَقَلَّ بِإِدْرَاكِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ ، مِنْ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَامَّةِ وَالْخَاصَّةِ ، وَأَحْكَامِ الْحَوَادِثِ مِنْهَا ، وَلَا يَتَقَيَّدُ بِمَذْهَبِ أَحَدٍ ، وَقِيلَ : يُشْتَرَطُ أَنْ يَعْرِفَ أَكْثَرَ الْفِقْهِ ، قَدَّمَهُ فِي " آدَابِ الْمُفْتِي وَالْمُسْتَفْتِي "، قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجَوْزِيُّ : مَنْ حَصَّلَ أُصُولَهُ وَفُرُوعَهُ فَمُجْتَهِدٌ ، وَتَقَدَّمَ هَذَا وَغَيْرُهُ فِي آخِرِ " كِتَابِ الْقَضَاءِ "، الإنصاف (فقه حنبلي) - (18 / 45)

Lalu beliau berkata: “Bagian pertama adalah mujtahid mutlak, yaitu mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad yang telah dituturkan oleh mushannif pada akhir ‘Kitab al-Qadla’ sesuai yang terdahulu di sana, ketika mujtahid itu menyendiri  dalam memahami hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ yang umum dan yang khusus, dan memahami hukum-hukum peristiwa dari dalil-dalil syara’, dan tidak terikat dengan madzhab seseorang. Dan dikatakan: “Disyaratkan mengetahui lebih banyak fikih” sebagaimana disebutkan pada kitab ‘Adabul Mufti wal Mustafti’. Abu Muhammad al-Jauziy berkata: “Siapa saja yang telah menghasilkan ashul beserta furu’nya, maka ia adalah mujtahid”, dan pendapat ini juga yang lainnya telah dahulu pada akhir ‘Kitab al-Qadla’.

Keterangan:
Dari perkataan diatas dapat dipahami bahwa mujtahid itu terbagi menjadi empat bagian dan bahwa mujtahid mutlak adalah ulama yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad. Dan syarat-syarat ijtihad yang telah saya simpulkan dari berbagai pendapat ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian sebagai berikut:

Pertama: Pengetahuan terkait bahasa, yaitu terkait lafal (lafdz) dan susunan (tarkib) yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum yang hendak digali, seperti ilmu nahwu, sharof , balaghah dan ma’ani.

Kedua: Pengetahuan terkait syara’, yaitu teks-teks syara’ dari al-Kitab dan Sunnah yang berhubungan dengan hukum, dan mengetahui terkait bagian-bagiannya seperti umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan kaidah-kaidah ta’adul dan tarojih.

Ketiga: Mengetahui terkait hakekat fakta yang hukum hendak dikeluarkan terhadapnya, dan yang dinamai sebagai obyek hukum. Lalu ketika seorang mujtahid tidak memahami hakekat fakta dengan sendirinya, maka ia boleh bertanya kepada orang yang mengerti tentang fakta itu meskipun dari non muslim.

Dan masih terlalu banyak untuk disebutkan, pendapat para ulama diatas terkait terbaginya mujtahid dan mujtahid mutlak, tetapi semuanya dapat disimpulkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:

Pertama: Mujtahid mutlak, atau mujtahid mustaqil. Yaitu seorang faqih yang berijtihad pada semua masalah fikih, yakni semua syariat, dan telah mempunyai ushul fikih yang telah digalinya dengan ijtihadnya, seperti Abu Hanifah, asy-Syafi’iy, Malik, Ahmad, Sufyan, Auza’iy, Daud dll. Lalu setiap orang dari mereka menyendiri dengan masalah fikihnya dan tidak terpengaruh oleh orang lain, sehingga koleksi masalah fikihnya menjadi madzhab yang berdiri sendiri, baik ushul maupun furu’nya.

Kedua: Mujtahid madzhab. Yaitu seorang faqih yang membatasi ijtihadnya hanya pada madzhab imamnya, terikat dengan ushul dan kaidah yang telah ditetapkan oleh imamnya, tapi terkadang menyalahi imamnya dalam banyak masalah fikih atau mayoritasnya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dari murid-murid Imam Abu Hanifah, seperti Robi’ bin Sulaiman dan Muzani dari murid-murid Imam Syafi’iy, dan seperti Sahnun dari murid Imam Malik, dan masih banyak lagi selain mereka.

Dan ketiga: Mujtahid masalah. Yaitu seorang faqih yang ber-ijtihad dalam satu masalah, dua masalah, atau sejumlah masalah yang tidak sampai kepada bilangan yang bisa terbentuk menjadi madzhab, atau tidak bisa memuat madzhab. Dan meskipun jumlah mereka itu banyak, tetapi tidak menonjol sebagaimana empat imam besar madzhab. Oleh karena itu, masalah-masalah mereka tetap terbagi-bagi dan terpisah-pisah dalam banyak kitab fikih. Mereka itu seperti  para mujtahid yang tidak memiliki banyak murid yang mentabanni, menjelaskan dan membukukan madzhabnya, maka masalah-masalah mereka juga terbagi-bagi dan tercerai-berai dalam kitab-kitab fikih yang lain, seperti al-Auza’iy, ast-Tsauri, ath-Thabari dan lain-lain. (Lihat: Mafahim wa Qadlaya Siyasiyyah, 1/100-101, Maktabah Syamilah).

ANALISA SERTA IDENTIFIKASI TERHADAP FAKTA MUJTAHID MUTLAK

Pertama: Terkait mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil, yaitu mujtahid yang menggali hukum-hukum langsung dari al-Kitab dan Sunnah dengan kaidah-kaidah (qawaa’id)nya sendiri, artinya (dalam hemat saya) dengan kaidah yang telah ditabanninya untuk dirinya, baik yang telah dibukukannya atau tidak dibukukan, bukan kaidah-kaidah yang telah digalinya sendiri, meskipun ada yang berpendapat demikian, kecuali sebagian tambahan dan penyempurna yang telah digalinya sendiri. Alasannya, karena empat imam besar yang disebut-sebut sebagai mujtahid mutlak itu telah menerima ilmu -termasuk kaidah-kaidah istinbath- dari guru-gurunya, karena tidak ada seorangpun dari manusia termasuk empat imam besar, kecuali dilahirkan dalam keadaan bodoh, dan juga telah populer dikalangan umat bahwa orang yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah setan. Sedangkan guru-gurunya empat imam adalah tabi’it-tabi’in (pengikut tabi’in) dan tabi’in (pengikut sahabat), kemudian sahabat dimana mereka telah menerima ilmunya dari Rasulullah SAW, dari Jibril, dan dari Alloh SWT. Jadi merupakan hal mustahil, ketika semua ilmu yang dimiliki empat imam besar itu tidak terpengaruh dengan/oleh ilmu dari guru-gurunya. Apalagi guru-guru mereka juga para mujtahid mutlak yang pasti memiliki kaidah-kaidah istinbath yang ditabanninya dari guru-gurunya juga, tetapi belum dibukukan.

Dan dengan konotasi ini, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir adalah mujtahid mutlak, karena beliau telah memiliki kaidah istinbath yang telah ditabaninya untuk dirinya dan telah dibukukannya dengan berbagai tambahan dan penyempurnaan yang telah digalinya sendiri. Dan semua kaidah tersebut telah dikumpulkannya pada kitabnya, yaitu kitab al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz III (bagian ushul fikih).

Kedua: Terkait sanad keilmuan empat imam besar.
Dibawah adalah sanad keilmuan empat imam sebagaimana dituturkan oleh Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni dalam kitab al-Mizan-nya, 1/51:

1-      Imam Abu Hanifah, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, dari Rasululloh SAW, dari Jibril AS, dari Alloh SWT.
2-      Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Rasululloh SAW, dari Jibril AS, dari Alloh SWT.
3-      Imam Syafi’iy, dari Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasululloh SAW, dari Jibril AS, dari Alloh SWT.
4-      Imam Ahmad, dari Imam Syafi’iy, dari Imam Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasululloh SAW, dari Jibril AS, dari Alloh SWT.
Dari sanad tersebut, sangat jelas bahwa tiga imam terakhir saling berhubungan, yaitu hubungan guru dan murid yang sangat berpengaruh terhadap kaidah-kaidah istinbath yang dipakai oleh mereka, sehingga terjadi banyak kesamaan padanya. Demikian ini dapat diketahui ketika kita membandingkan kitab-kitab ushul fikih mereka, seperti ushul fikih Syafi’iyyah dengan ushul fikih Hanabilah. Dan kesamaan tersebut terjadi karena tiga kemungkinan: 1) Hasil penggalian sendiri dari sumber yang sama sehingga hasilnya juga sama, 2) Tabanni dari hasil penggalian gurunya, dan 3) Gabungan dari keduanya. Akan tetapi ketiganya tidak mengeluarkan mereka dari gelar mujtahid mutlak, selama menggali hukum-hukum syara’nya langsung dari al-Kitab dan Sunnah. Demikian ini, sama halnya dengan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dengan hukum-hukum syara’ yang dihasilkannya, dan ushul fikihnya.

Ketiga: Terkait daftar mujtahid mutlak:

a-      Miturut Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni (Syafi’iyyah): 1) Imam Abu Hanifah, 2) Imam Malik, 3) Imam Syafi’iy, 4) Imam Ahmad, 5) Imam Sufyan al-Tsauri, 6) Imam Sufyan bin Uyainah, 7) Imam Muhammad bin Jarir, 8) Imam Umar bin Abdul Aziz, 9) Imam al-A’masy, 10) Imam al-Sya’bi, 11) Imam Ishaq, 12) Imam Imam “Atho, 13) Imam Mujahid, 14) Imam Abu al-Laits, 15) Imam Daud, dll. (Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni dalam kitab al-Mizan-nya, 1/50).
b-      Miturut kitab al-Madkhal al-Mufashshal untuk madzhab Imam Ahmad (Hanabilah): 1) Qadli Abu Ya’la al-Kabir (w. 458 H), 2) Imam Abulwafa bin Aqil (w. 513 H), 3) Imam Muwaffaq Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H), 4) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ahmad bin Abdul Halim (w. 728 H), 5) Ibnu Qayyim al-Juziyyah Muhammad bin Abu Bakar (w. 751 H). (al-Madkhal al-Mufashshal li Madzhab al-Imam Ahmad, 1/486, Maktabah Syamilah).
c-       Miturut Imam Suyuthi (Syafi’iyyah):

وقد نقل الجلال السيوطي رحمه الله تعالى أن الإجتهاد المطلق على قسمين؛ مطلق غير منتسب كما عليه الأئمة الأربعة، ومطلق منتسب كما عليه أكابر أصحابهم الذين ذكرناهم كأبي يوسف ومحمد بن الحسن وابن القاسم وأشهب والمزني وابن المنذر وابن سريح وغيرهم.
قال السيوطي: ولم يدع الإجتهاد المطلق غير المنتسب بعد الأئمة الأربعة إلا الإمام محمد بن جرير الطبري ولم يسلم له ذلك.

“Sesungguhnya as-Suyuthi rh telah mengutif bahwa Ijtihad Mutlak itu ada dua bagian; Mutlak Ghairu Muntasib, sebagaimana dilakukan oleh Empat Imam Besar (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy ddan Ahmad), dan Mutlak Muntasib, sebagaimana dilakukan oleh para pembesar sahabat Empat Imam yang telah kami sebutkan, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Ibnu Qasim, Asyhab, Muzani, Ibnu Mundzir, Ibnu Suraikh dan lain-lain.

As-Suyuthi berkata: “Tidak ada yang mengklaim Ijtihad Mutlak Ghairu Muntasib setelah Empat Imam Besar, selain Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari dan hal itu tidak diterima baginya”. (Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni, al-Mizan al-Kubro, 1/16).

Sedangkan dalam kitab al-Bughyah (Syafi’iyyah) disebutkan demikian:

(فائدة) إذا أطلق الإجتهاد فالمراد به المطلق، وهو في الأصل بذل المجهود في طلب المقصود ويرادفه التحري والتوخي، ثم استعمل استنباط الأحكام من الكتاب والسنة، وقد انقطع من نحو الثلاثمائة وادعى السيوطي بقاءه إلى آخر الزمان مستدلا بحديث يبعث الله على رأس كل مائة من يجدد الخ. ورد بأن المراد بمن يجدد أمر الدين من يقرر الشرائع والأحكام لا المجتهد المطلق. (بغية المسترشدين، للسيد عبد الرحمن بن محمد بن حسين بن عمر باعلوي، ص 6-7، الهداية سورابايا).

“Ketika diucapkan kata “ijtihad”, maka yang dikehendaki adalah ijtihad mutlak, dimana asal bahasanya adalah mengerahkan segala kemampuan dalam mencari tujuan, sedang makna sininimnya adalah kata “at-taharri (bersungguh-sungguh) dan at-tawakhkhi (berjalan menuju)”, kemudian dipakai untuk makna menggali hukum-hukum dari al-Kitab dan Sunnah. Ijtihad mutlak sudah terputus sejak tahun 300 H. Dan as-Suyuthi mengklaim masih tetapnya ijtihad mutlak sampai akhir zaman dengan dalil hadis,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَّةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا. رواه أبو داود

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu abad, dengan perhitungan tahun hijriyah) orang yang akan memperbaharui agamanya”. HR Abu Duad.

Dan klaim itu tertolak, karena yang dimaksud dengan orang yang akan memperbaharui perkara agama adalah orang yang menetapkan hukum-hukum syara’, bukan mujtahid mutlak”. (al-Bughyah).

Jelas sekali bahwa miturut as-Suyuthi mujtahid mutlak itu terbagi menjadi dua bagian; Mutlak ghairu muntasib dan mutlak muntasib. Dan miturut beliau juga bahwa mujtahid mutlak ghairu muntasib itu sulit diterima dari selain empat imam besar (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad). Dan dengan mengkompromikan dua keterangan dari kitab al-Mizan dan al-Bughyah, masalahnya menjadi jelas bahwa tetapnya mujtahid mutlak sampai akhir zaman sebagaimana yang diklaim oleh as-Suyuthi dalam kitab al-Bughyah adalah mujtahid mutlak muntasib. Dan daftar mujtahid mutlak diatas menunjukkan bahwa ulama selain as-Suyuthi juga mengakui keberadaan mujtahid mutlak selain empat imam dan pasca empat imam. Demikian juga dengan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang dari ash-habnya tidak sedikit mengklaim beliau sebagai mujtahid mutlak, dan bagi mujtahid mutlak muntasib pintu terbuka lebar-lebar.

Keempat: Klaim tertutupnya pintu ijtihad pasca empat imam yang dipelopori oleh al-Qaffal.
Sesungguhnya kalaupun klaim al-Qafal itu benar, maka yang dikehendaki adalah mujtahid mutlak ghairu muntasib atau mujtahid mutlak mustaqil, bukan mujtahid mutlak muntasib atau mujtahid mutlak nisbi, karena setiap mujtahid pasca empat imam itu tidak mandiri (mustaqil) keculai dengan memakai kaidah-kaidah istinbatnya empat imam. Atau karena mujtahid mutlak ghairu muntasib itu tidak memiliki fakta rasional, sebab empat imam yang disebut-sebut sebagai mujtahid mutlak ghairu muntasib, semuanya itu memiliki sejumlah guru sebagai mana telah saya tuturkan di atas, dan telah mengambil ilmunya dari guru-gurunya itu. Jadi sulit diterima oleh akal, ketika empat imam itu tidak terpengaruh oleh ilmu dari guru-gurunya, termasuk ilmu terkait kaidah-kaidah istinbath.

Sedangkan wujudnya mujtahid mutlak, seperti halnya empat imam, pada setiap masa itu bukan hal mustahil, karena Tuhan yang telah menciptakan mujtahid mutlak pada tiga kurun pertama (sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in) adalah Tuhan yang sama, yaitu Alloh SWT. Dan Dia-lah yang telah menciptakan mujtahid mutlak seperti halnya empat imam dan menolong mereka sehingga menjadi mujtahid mutlak. Sedangkan menciptakan mujtahid mutlak pada setiap masa seperti halnya empat imam adalah bukan hal mustahil bagi Alloh SWT, karena Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.

Bahkan klaim tertutupnya pintu ijtihad mutlak adalah termasuk buruk sangka kepada Alloh, karena Alloh yang kuasa mewujudkan mujtahid mutlak seperti Imam Syafi’iy serta menolongnya adalah kuasa untuk mewujudkan mujtahid seperti Imam Syafi’iy pada masa yang berjauhan sebelum menjelang datangnya kiamat, bahkan kuasa untuk mewujudkan mujtahid yang lebih alim dari Imam Syafi’iy. Dan termasuk buruk sangka kepada kaum muslim, dengan menganggap mereka bodoh semua seperti dirinya, sehingga tidak mungkin atau mustahil bisa berijtihad seperti empat imam. Ini dari sisi dalil aqli. Sedangkan dari sisi dalil naqli, maka Rasulullah SAW benar-benar bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَّةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا.

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu abad, dengan perhitungan tahun hijriyah) orang yang akan memperbaharui agamanya”. HR Abu Duad, Hakim, dan Baihaqi dari Abu Hurairoh

Karena makna memperbaharui agama adalah mengembalikannya sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasululloh SAW dan sebagaimana pada masa sahabat, atau menyeleksi Sunnah dan menetapkan hukum-hukum syara’ sehingga bersih dari berbagai bid’ah, tahayul dan khurofat. Hal ini tidak mudah, kecuali dengan ijtihad. Maka orang yang memperbaharui perkara agama adalah mujtahid, yaitu orang yang mengerti dengan al-Kitab, Sunnah, Ijmak sahabat dan Qiyas syar’iy, dimana semuanya adalah dalil-dalil syara’ yang disepakati. Dan Nabi SAW bersabda:

لا تزال طائفة من أمتي قوامة على أمر الله لا يضرها من خالفها.

“Dan sesungguhnya Rasululloh SAW bersabda: “Sekelompok dari umatku tidak henti-hentinya menegakkan perintah Alloh, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyalahinya”. HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Dan bersabda:

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق حتى يأتي أمر الله. رواه الشيخان وفى رواية الحاكم عن عمر حتى تقوم الساعة.

Sesungguhnya Rasululloh SAW bersabda: “Sekelompok dari umatku tidak henti-hentinya menolong hak hingga datang perkara Alloh (kiamat)”. HR Bukhari dan Muslim, dan dalam riwayat Hakim dari Umar; “Sampai datang kiamat”.

Menegakkan perintah Alloh, yakni syariat-Nya, dan menjelaskan serta memenangkan hak itu tidak mudah, kecuali bagi orang yang mampu membedakan dan memisahkan antara hukum-hukum syariat dan antara berbagai bid’ah dan khurafat, juga mampu membedakan dan memisahkan antara hak dan batil. Dan kedua pembeda serta pemisah tersebut tidak mudah, kecuali dengan ijtihad. Maka ini, juga penuturan sebelumnya, adalah bukti dan dalil atas tetapnya mujtahid atau terbukanya pintu ijtihad sampai menjelang datangnya kiamat. Dan dalam hal ini Rasululloh SAW bersabda:

إن بين يدي الساعة أياماً يرفع فيها العلم ويترك فيها الجهل. رواه مسلم.
“Sesungguhnya menjelang kiamat masih ada beberapa hari dimana ketika itu ilmu diangkat dan kebodohan dibiarkan”. HR Muslim. Dan beliau SAW bersabda:

 إن من أشراط الساعة أن يرفع العلم ويثبت الحهل. رواه البخاري.

“Sessungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya kiamat adalah ketika ilmu diangkat dan kebodohan dibiarkan”. HR Bukhari.

Mengangkat ilmu itu dengan mengambil (mematikan) para ulama, sebagaimana Rasululloh SAW bersabda:

 إن الله لا يقبض العلم انتزاعاً ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يُبقِ عالما اتخذ الناس رؤساء جهلاء فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا. رواه البخاري.

“Sesungguhnya Alloh SWT tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba-Nya, tetapi Dia mengambil ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga ketika Alloh tidak menyisakan lagi seorang ulama, maka manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Lalu ketika para pemimpin itu ditanya, maka mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, lalu mereka sesat dan menyesatkan”. HR Bukhari.

Hadis ini menunjukkan atas kekosongan zaman dari mujtahid, karena mujtahid adalah ulama yang faqih terhadap urusan agama. Dan kekosongan ini tidak terjadi, kecuali menjelang datangnya kiamat, yaitu dengan nampaknya sejumlah alamat kubro (tanda-tanda besar) bagi kiamat, yaitu setelah wafatnya nabi Isa AS, tidak setelah empat imam, dan tidak pula masa sekarang, karena sampai saat ini masih banyak dan tidak terhitung para ulama yang keulamaannya tersembunyi atau tidak diakui karena banyaknya fitnah dari para ulama su-u (ulama salathin) yang pro pemerintah yang nyata-nyata kafir, zalim atau fasik karena tidak menerapkan hukum-hukum Alloh dalam pemerintahannya.

Kelima: Daftar kitab-kitab karya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani.
Di bawah adalah karya-karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani yang sangat cemerlang:

  1. Nizham al-Islam (sistem Islam)
  2. Al-Takattul al-Hizbi (pembentukan partai politik)
  3. Mafahimu Hizb al-Tahrir (konsepsi Hizbut Tahrir)
  4. Al-Nizham al-Iqtishad fi al-Islam (sistem ekonomi Islam)
  5. Al-Nizham al-Ijtima’iy fi al-Islam (sistem pergaulan Islam)
  6. Nizham al-Hukmi fi al-Islam (sistem pemerintahan Islam)
  7. Al-Dustur (undang-undang dasar)
  8. 8.      Muqaddimah al-Dustur (pengantar undang-undang dasar) 
  9. Al-Daulah al-Islamiyyah (negara Islam)
10.  Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, tsalatsata ajza’in (kepribadian Islam, tiga juz)
11.  Mafahim Siyasiyyah li Hizb al-Tahrir (konsepsi politik Hizbut Tahrir)
12.  Nazharat siyasiyyah (pandangan politik)
13.  Nidaun Haar (panggilan hangat)
14.  Al-Khilafah (khilafah)
15.  Al-Tafkir (berpikir)
16.  Al-Kurrasah (buku catatan)
17.  Sur’atul Badihah (secepat kilat)
18.  Nuqthatul Inthilaq (titik permulaan)
19.  Dukhulul Mujtama’ (memasuki masyarakat)
20.  Inqazhu Falesthin (menyelamatkan Palestina)
21.  Risalatu ‘Arab (risalah Arab)
22.  Tasalluhu Mishra ( mempersenjatai Mesir)
23.  Al-Ittifaqiyat al-Tsunaiyyah al-Mishriyyah al-Suriyyah wa al-Yamaniyyah
24.  Hallu Qadhiyyati Falesthina ‘ala Thariqati al-Amriqiyyah wa al-Inkiliziyyah 
25.  Al-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla (politik ekonomi ideal)
26.  Naqdhul Isytirakiyyatil Markisiyyah (bantahan terhadap sosialisme marxisme)
27.  Kaifa Hudhimat al-Khilafah (bagaimana khilafah dihancurkan)
28.  Nizham al-‘Uqubat (sistem persanksian)
29.  Ahkam al-Bayyinat (hukum pembuktian)
30.  Ahkam al-Shalat (hukum-hukum shalat)
31.  Naqdh al-Qanun al-Madani (bantahan terhadap undang-undang sipil)
32.  Al-Fikru al-Islami (pemikiran Islam), dll.

Dan untuk mempermudah penyebarannya kitab Kaifa Hudhimat al-Khilafah, Nizham al-‘Uqubat, Ahkam al-Bayyinat, Ahkam al-Shalat, al-Fikru al-Islami Al-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, Naqdhul Isytirakiyyatil Markisiyyah, dan Naqdhu al-Qanun al-Madani, ditulis atas nama syabab Hizbut Tahrir. Dan masih ada ribuan nasyrah pemikiran, politik dan ekonomi yang telah ditulis oleh Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani RH. (Lihat: Muhammad Muhsin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulati al-Khilafati al-Islamiyyati, dgn pengawasan Prof. Dok. Walid Ghafuri al-Badri, hal. 28, Wizarah al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahtsi al-Ilmi al-Jami’ah al-Islamiyyah / Kulliyyah Ushuluddin, Oktober 2006).

Daftar kitab-kitab karya Syaiklh Taqiyyuddin an-Nabhani diatas sudah cukup untuk membuktikan bahwa beliau adalah mujtahid mutlak, dan karya-karya tersebut juga sudah cukup untuk menjadi rujukan sebuah madzhab fikih. Sedang terkait mujtahid mutlak ghairu muntasib atau mujtahid mutlak muntasib, maka hanya Alloh dan beliau yang mengerti, karena beliau tidak menjelaskan bahwa kaidah-kaidah istinbathnya itu hasil istinbathnya sendiri atau hasil tabanni dari guru-gurunya. Sebagaimana empat imam besar juga yang disebut-sebut sebagai mujtahid mutlak tidak menjelaskannya.

Keenam: Terkait pernyataan M Idrus Ramli:
“Seorang alim bisa dikatagorikan sebagai mujtahid apabila telah diakui oleh para ulama dan telah memenuhi syarat-syarat berijtihad. Sementara tidak seorangpun dari kalangan ulama yang mengakui Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani telah memenuhi syarat-syarat ijtihad sebagai mujtahid atau bahkan hanya mendekati saja derajat seorang mujtahid tidak ada yang mengakui. Sehingga ketika keilmuan seseorang tidak diakui oleh para ulama, maka keilmuannya sama dengan tidak ada. Dan ini berarti Syaikh al-Nabhani bukanlah seorang mujtahid atau mendekatinya”. (Lihat; Hizbut Tahrir dalam Sorotan, hal. 111-116).

M Idrus Ramli sebagaimana Syaikh Abdullah Harori dalam kitab al-Gharah-nya, dalam pernyataannya sama sekali tidak menjelaskan kriteria ulama yang pengakuan atau kesaksiannya terhadap seseorang sehingga bisa disebut sebagai mujtahid dapat diterima, juga berapa jumlah ulama tersebut. Sedang yang dapat ditangkap dari pernyataan itu hanyalah buruk sangka yang berlebihan terhadap Syaikh Taqiyyuddin. Kalau yang dimaksud oleh Idrus Ramli adalah para ulama seperti al-Hafizh al-Dzahabi serta para ulama sebelum dan sesudahnya yang telah wafat sebelum lahirnya Syaikh Taqiyyuddin, maka betapa bodohnya Idrus Ramli, karena bagaimana mungkin para ulama yang telah wafat bersaksi bahwa Syaikh Taqiyyuddin adalah Mujtahid.

Kalau yang dimaksud adalah para ulama salathin seperti Abdullah al-Harori al-Ahbasy dan sesamanya atau seperti ulama wahabi yang kontra Hizbut Tahrir, maka juga sangat keliru, karena aktivitas Syaikh Taqiyyuddin yang selalu mengkritik dan mengkoreksi pemerintahan (salathin) yang zalim itu menjadi pemicu bagi kemarahan mereka, sehingga mereka berani membayar para ulama salathin untuk menjatuhkan kewibawaan serta merusak nama baik Syaikh Taqiyyuddin, maka mengharap pengakuan dan kesaksian atas kemujtahidan Syaikh Taqiyyuddin dari mereka, itu sama halnya dengan mengharap anak sapi keluar dari batu.

Kalau yang dimaksud adalah para ulama yang saleh yang semasa dengan Syaikh Taqiyyuddin, maka Idrus Ramli juga sangat keliru, karena di antara mereka tidak sedikit yang belum membaca kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin yang sangat cemerlang dan penuh dengan solusi kebangkitan dan kejayaan Islam dan kaum muslim, dan tidak sedikit pula yang telah termakan oleh fitnah terhadap Syaikh Taqiyyuddin dari ulama salathin. Dan kalau yang dimaksud adalah para ulama saleh yang belum termakan fitnah yang semasa dengan Syaikh Taqiyyuddin dan yang setelahnya, maka Idrus Ramli juga sangat keliru, karena ash-hab Syiakh Taqiyyuddin dan mayoritas aktivis Hizbut Tahrir dari berbagai belahan dunia yang jumlahnya ribuan adalah para ulama yang saleh dan mukhlish, dan mereka telah mengakui dan menyaksikan bahwa Syaikh Taqiyyuddin adalah mujtahid, bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa beliau adalah mujtahid mutlak, bahkan sebagai mujaddid (pembaharu). Di antara pengakuan dan kesaksian mereka adalah sebagai berikut:

Muhammad Muhsin Radhi dalam tesisnya menyatakan:
“Derajat keilmuan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dapat dilihat dari sejumlah karya ilmiahnya yang tidak sedikit yang mencakup semua tuntutan kehidupan (pribadi, masyarakat dan negara) yang dibutuhkan oleh umat untuk mencapai kebangkitan serta mengembalikan derajat hakikinya (sebagai sebaik-baik umat) di antara umat-umat yang lain. Sungguh pada semua karya ilmiahnya telah nampak pembaharuan (tajdid) dalam lapangan pemikiran, fiqih dan politik. Oleh karena itu, produk pemikirannya adalah usaha terdepan dari seorang pemikir muslim pada masa ini. Sehingga beliau adalah pemimpin bagi para pemimpin pemikiran dan politik pada abad 20 ini, sehingga setelah itu tidak asing lagi kami menemukan orang-orang yang menjadikan Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani berada di barisan para ulama mujtahid dan mujaddid.

Ustadz Ghanim Abduh sebagai syabab qudama terkemuka Hizbut Tahrir menuturkan, bahwa Sayyid Quthub RH dalam kesempatan ilmiahnya pernah menyanjung Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani dan membantah seseorang yang melempar tuduhan miring terhadap beliau. Dan di antara pernyataan Sayyid Quthub adalah: “Sesungguhnya Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani ini dengan karya-karya ilmiahnya telah sampai ke derajat para ulama terdahulu kami”.

Dan Prof. Dok. Muhammad bin Abdullah al-Mas’ari telah menyifati Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani seraya berkata: “Beliau adalah mujaddid abad ini, panutan ulama dunia, seorang alim yang berjihad, imam rabbani (orang yang telah mencapai derajat makrifat), Abu Ibrahim Taqiyyuddin al-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir), yang telah meletakkan batu pondamen bagi pemikiran Islam kontemporer yang tinggi, dan bagi pergerakan yang ikhlas dan sadar, semoga Allah meninggikan derajatnya bersama anbiya’, shiddiqin, syuhada’ dan ulama shalihin”. (Lihat: Muhammad Muhsin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafatuhu wa Manhajuhu fi Iqamati Daulati al-Khilafati al-Islamiyyati, dgn pengawasan Prof. Dok. Walid Ghafuri al-Badri, hal. 33, Wizarah al-Ta’lim al-Ali wa al-Bahtsi al-Ilmi al-Jami’ah al-Islamiyyah / Kulliyyah Ushuluddin, Oktober 2006). 

Jadi kalau kita mau jujur dan obyektif, semua kitab di atas dan yang lainnya sebagai karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, sudah cukup untuk menjadi saksi dan bukti konkrit bahwa beliau benar-benar seorang mujtahid dan mujaddid, karena semuanya langsung digali dari sumber syari’at Islam melalui dalil-dalil yang telah disepakati oleh semua ulama Ahlussunnah Waljama’ah ala Rasulullah SAW, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas al-Syar’iy, dan berdasarkan pemahaman terhadap fakta dan realita yang sangat mengkristal. Dan kalau kita mau jujur, obyektif dan tidak fanatik, kalau setandar mujtahid muthlaq adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’iy dan Imam Ahmad, maka karya-karya ilmiyyah yang dimiliki Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani itu melebihi dari karya-karya ilmiah salah satu dari empat imam besar tersebut, karena banyak karya ilmiah Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani yang baru dan belum ada yang mendahului.

Maka daripada kita berdosa karena buruk sangka kepada Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, lebih baik kita meraih pahala dengan baik sangka kepada beliau, karena baik sangka kepada sesama muslim adalah karakter Ahlussunnah Waljama’ah, sedang baik sangka kepada orang kafir adalah karakter kaum liberal yang munafik. Kerena kita semua akan bertanggung jawab dihadapan Allah, sebagaimana Syaikh Taqiyyuddin juga akan bertanggung jawab dihadapan-Nya. Dan kita semua berharap bisa datang kepada Allah dengan hati yang selamat (bi qalbin salim).

Akhir Kalam:
Sesungguhnya sudah sangat jelas bahwa Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani tidak pernah mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak atau mujaddid. Akan tetapi justru karya ilmiah belaiulah yang membuktikan atau menunjukkan bahwa beliau layak mendapat gelar sebagai mujtahid mutlak atau mujaddid. Sedangkan tuduhan bahwa beliau banyak menganjurkan ijtihad kepada ash-hab atau murid-muridnya, kalaupun ini benar, maka juga tidak ada yang salah selagi memenuhi syarat-syaratnya. Kerena empat imam besar juga telah melakukan hal yang sama terhadap ash-habnya. Dalam hal ini Imam Ahmad bin Hanbal ra berkata:

خذوا علمكم من حيث أخذه الأئمة ولا تقنعوا بالتقليد فإن ذلك عمي في البصيرة.

“Ambilah ilmu kalian dari mana para imam telah mengambil ilmunya, dan janganlah kalian merasa puas dengan taqlid, karena hal itu dapat membutakan mata hati”. (Lihat: Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni, al-Mizan al-Kubro, juz I, hal. 12, Maktabah Daaru Ihyaa’ al-Kutub al-Arobiyyah, Indonesia).

Dan Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni sendiri berkata:

وقد كان الأئمة المجتهدون كلهم يحثون أصحابهم على العمل بظاهر الكتاب والسنة ويقولون: إذا رأيتم كلامنا يخالف ظاهر الكتاب والسنة فاعملوا بالكتاب والسنة واضربوا بكلامنا الحائط...

“Sesungguhnya para imam mujtahid semuanya mendorong ash-habnya agar mengamalkan zhahir al-Kitab dan Sunnah, dan mereka sama berkata: “Ketika kalian mengetahui perkataan kami menyalahi zhahir al-Kitab dan Sunnah, maka amalkanlah zhahir al-Kitab dan Sunnah, dan hantamkan (buanglah) perkataan kami ke pagar…”.(Lihat: Syaikh Abdul Wahhab Sya’roni, al-Mizan al-Kubro, juz I, hal. 55, Maktabah Daaru Ihyaa’ al-Kutub al-Arobiyyah, Indonesia).

Keberadaan mujathid mutlak di masa sekarang juga sangat dibutuhkan, karena berbagai bid’ah dan khurofat yang datang dan memancar dari akidah materialisme dan sekularisme, dan dari ideologi komunisme dan kapitalisme, telah memporak porandakan tatanan pemikiran, perasaan dan sistem yang datang dan memancar dari akidah Islam dan ideologi Islam.

Faktanya juga membuktikan bahwa orang-orang atau kelompok yang menolak mujtahid mutlak yang datang pada masanya dan pada masa ini, mereka justru mengangkat orang-orang atau ulama liberal sebagai mujtahid dimana pendapatnya diambil dan ditaklidi untuk mengesahkan tatanan pemikiran, perasaan dan sistem yang datang dan memancar dari akidah materialisme dan sekularisme, dan dari ideologi komunisme dan kapitalisme.

Dengan demikian datangnya mujtahid mutlak pada setiap masa adalah hak dan keadilan Alloh SWT untuk menjaga kemurnian syariat-Nya, hingga menjelang datangnya kiamat. Wallohu A’lamu bi ash-Shawwab.

(Abulwafa Romli, Alumnus ’94, Pon Pes Lirboyo Kediri JATIM).

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.