Demokrasi: Sumber Kerusakan
“Di antara bencana paling mengerikan
yang menimpa seluruh umat manusia, ialah ide kebebasan individu yang
dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka
secara universal, serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di
negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada
derajat segerombolan binatang!” (Al-’Allamah as-Syaikh Abdul Qadim Zallum).
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno. Istilah ini dicetuskan di Athena pada abad ke-5 SM. Demos berarti rakyat. Cratos (Kratien,
Kratia) artinya kekuasaan (berkuasa, pemerintahan). Dengan demikian
demokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat.
Asas demokrasi modern adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme lahir pada Abad Pertengahan Masehi.
Demokrasi memang lahir lebih awal, yaitu
pada abad ke 5 SM. Adapun sekularisme lahir sesudah abad ke 14 M.
Namun, demokrasi itu ternyata sudah tidak diterapkan lagi, karena tidak
bertahan lama setelah kelahirannya. Ini dibuktikan bahwa setelah negara
kota Athena, tidak ditemukan lagi satu negara pun yang menerapkan sistem
ini. Sebagai gantinya, muncullah pemerintahan monarki yang
berkolaborasi dengan Gereja, yang disebut dengan teokrasi atau yang juga disebut dengan negara agama.
Sampai pada Abad Pertengahan terjadi
pergolakan tentang konsep teokrasi ini. Ada dua kubu yang saling
berseberangan. Di satu sisi ada para rohaniwan Kristen yang diperalat
oleh para raja dan kaisar. Mereka dijadikan perisai untuk
mengeksploitasi dan menzalimi rakyat atas nama agama serta menghendaki
agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama. Di sisi lain, ada
para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama serta menolak
otoritas para rohaniwan. Ini terjadi karena selama dominasi gereja 300
ribu ilmuwan yang dibunuh, bahkan 32 ribu ilmuwan dibakar hidup-hidup
karena tidak sesuai dengan doktrin gereja.
Para rohaniwan Kristen membela monarki
absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka
mengopinikan teori “Kedaulatan Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia
terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya. Dengan teori ini posisi raja dan
gereja yang sudah stabil selama ratusan tahun tidak digugat.
Sebaliknya, para filosof dan pemikir
menawarkan konsep sekularisme, yang intinya rakyat tidak perlu terikat
pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya konsep
sekularisme ini mengeluarkan 3 teori: (1) Liberalisme yang menegaskan
pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri; (2)
Kapitalisme yang menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi
kerajaan. Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat
besar dalam ekonomi, sementara pemerintah hanya sebagai “wasit ekonomi”
saja; (3) Demokrasi yang menyerah-kan kedaulatan kepada manuisa
(rakyat). Saat aturan agama ditolak tentu manusia butuh aturan baru, di
sinilah kemudian demokrasi digali kembali dari lubang kuburnya setelah
terkubur puluhan abad. Demokrasi menjadi pilihan ideal, karena itu
memang sistem yang menyerahkan segala sesuatunya kepada keinginan
manusia. Itulah mengapa dikatakan bahwa demokrasi (modern) lahir dari
akidah sekularisme. Akidah sekularisme sendiri adalah “jalan tengah”
(kompromi) yang bersifat pragmatis, bukan hasil pemikiran yang memuaskan
akal dan menenteramkan hati.
Ilusi Demokrasi
Sebagian besar manusia sudah terbius
oleh ide demokrasi. Mereka seolah dibuai oleh janji-janji manis yang
selalu “didakwahkah” oleh para pengusung demokrasi. Mereka mengira,
sistem demokrasi akan membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik,
lebih sejahtera dan lebih modern. Padahal kenyataannya tidaklah
demikian.
Demokrasi sering diperalat oleh kelompok
elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit parpol dan elit para pemiliki
modal) untuk memperkaya diri mereka sendiri sembari melupakan bahkan
menindas rakyat.
Hal tersebut wajar, karena dalam
demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu
keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln
(1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people”
(dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas
tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford
B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat
pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Sejak awal kelahirannya, kedaulatan
dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat, yakni para pemilik
modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan
seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang
dikehendaki adalah daulat rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal
itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik
modal.
Sebagian kaum Muslim berkata bahwa itu
adalah konsep demokrasi Barat. Di dalam Islam, kata mereka, kedaulatan
berada di tangan rakyat (suara mayoritas), bukan di tangan pemilik
modal. Ini jelas pernyataan yang keliru dan menyesatkan. Pasalnya, jika
dikatakan kedaulatan berada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di
sistem demokrasi, maka demokrasi telah merampas hak Allah SWT untuk
membuat hukum dan menyerahkannya pada hawa nafsu manusia. Padahal
Allah-lah Pembuat hukum (QS al-An’am [6]: 57)
Bahkan jika seseorang secara sadar dan
terang-terangan menolak satu saja hukum syariah Islam, menolak dalam
arti mengingkari kewajiban akan berhukum dengan hukum Allah tersebut,
maka ia bisa termasuk kategori orang yang kafir (Lihat: QS al-Maidah
[5]: 44).
Al-Imam al-’Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm,
“Sungguh Allah SWT telah memerintahkan sultan dan penguasa untuk
berhukum dengan apa yang Allah SWT turunkan kepada Rasul-Nya; menjadikan
orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan sebagai orang
kafir jika dia meyakininya, atau meyakini tidak layaknya apa yang Allah
turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang maksiat, fasik dan zalim
jika berhukum dengan (selain apa yang Allah turunkan) dan tidak
meyakininya.”
Demokrasi memang memberikan tempat bagi
kelompok yang menyuarakan syariah Islam, namun tidak memberikan tempat
agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan. Hal ini karena demokrasi
telah menetapkan dengan tegas bahwa agama tidak boleh terlibat dalam
mengatur masalah publik.
Kebebasan dalam Demokrasi
Demokrasi tidak bisa dilepaskan dari ide liberalism
(kebebasan). Kebebasan merupakan prasyarat agar rakyat dapat
melaksanakan kedudukannya sebagai sumber kedaulatan dan sumber
kekuasaan.
Ide ini telah membawa bencana paling
mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia. Ide ini telah
mengakibatkan berbagai malapetaka global serta memerosotkan harkat dan
martabat masyarakat di negara-negara penganut demokrasi sampai ke
derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh kebebasan ide demokrasi bisa kita urai sebagai berikut:
a. Kebebasan beragama (freedom of religion).
Dalam demokrasi seseorang bebas untuk
beragama ataupun tidak beragama (ateis). Mereka juga bebas untuk
berpindah-pindah agama (baca : murtad); agama seolah menjadi sesuatu
yang tidak prinsip sehingga seolah menjadi permainan.
Ini terjadi karena dalam demokrasi semua
agama itu sama sehingga manusia tidak boleh dibeda-bedakan atas dasar
agamanya. Dengan pandangan yang rusak ini, perilaku yang menyimpang bagi
sebagian kaum Muslim—misalnya Muslimah tidak masalah menikah dengan
laki-laki kafir—ditoleransi dengan alasan toh semua agama itu sama.
Kebebasan ini juga menyebabkan berkembangnya ajaran/aliran sesat. Bahkan sampai tahun 2007, jumlahnya telah mencapai 250 aliran.
b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech).
Dalam demokrasi, setiap individu berhak
mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa
tolok ukur halal-haram. Tidak aneh, dalam demokrasi, kita mendapati
banyak pendapat yang dipakai untuk ‘menghujat’ Islam; seperti bahwa
Islam adalah ajaran Muhammad (Mohammadanisme), bukan syariah
Allah; al-Quran adalah produk budaya, tidak sakral; Islam membolehkan
perkawinan sejenis; jilbab itu budaya Arab, kewajiban memakai jilbab itu
hanya pada saat shalat; dll. Inilah pandangan-pandangan liberal. Jelas
ini bertentangan dengan Islam.
Di Belanda, tahun 2004, Theo van Gogh
membuat film yang melecehkan Islam. Masih di Belanda, Geert Wilders,
anggota Parlemen Belanda dari Partai Kebebasan, juga menghina Islam
melalui berbagai pernyataan, tulisan dan film yang dia buat.
Kita tentu juga masih ingat ketika surat kabar Jyland Posten memuat kartun Nabi saw. diterbitkan pada 30 September 2005. Jyllands Posten
adalah surat kabar terbesar di Denmark. Gambar kartun Nabi Muhammad
saw. tersebut dibuat oleh Kurt Westergaard. Dua tahun kemudian, yakni
tahun 2007, muncul kartunis lain dari Negara Swedia, yakni Lars Vilks,
menggambar Nabi Muhammad saw. sebagai satwa haram. Kemudian setelah itu
muncul film Innocence of Muslims, sebuah video yang dibuat oleh Sam Bacile.
Di Amerika Serikat, dua tahun lalu,
dalam rangka peringatan Tragedi WTC 9/11, sekte kecil agama Kristen di
Florida, pimpinan Pastor Terry Jones dari Gereja World Outreach Center,
membakar al-Quran. Pada bulan Oktober lalu film kartun South Park juga menampilkan sosok Nabi saw. dalam salah satu episodenya.
Ironinya, semua serangan terhadap Islam
dan kaum Muslim di Barat terjadi dengan alasan demokrasi dan kebebasan.
Contoh, editor Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier mengatakan, “Kami
pikir mungkin akan ada rasa hormat yang lebih untuk pekerjaan satir
kami, hak kami untuk mengejek. Kebebasan untuk memiliki tawa yang baik
adalah sama pentingnya dengan kebebasan berbicara.”
Semua itu menampakkan dengan jelas
kepada kita bahwa demokrasi selalu menerapkan standar ganda, khususnya
untuk Islam dan kaum Muslim. Dengan dalih kebebasan, Barat beramai-ramai
melecehkan ajaran Islam dan menghina Rasulullah saw.
Di sisi lain, mereka melarang tulisan
atau propaganda yang menyerang Yahudi dan Israel dengan dalih
anti-Semit. Jika terkait Islam dan kaum Muslim, maka demokrasi dan
kebebasan berpendapat bahkan kebebasan beragama, tiba-tiba saja menjadi
tidak ada.
c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership).
Kebebasan ini memberikan hak kepada
siapapun untuk memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan
sarana dan cara apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan
kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat. “Sudah lama kita
tak pernah jaya dengan hasil alam sendiri. Padahal kita kaya sumber
daya alam (SDA). Sedikitnya 69 persen SDA kita telah dikuasai oleh asing
selama puluhan tahun. SDA itu seluruhnya berakhir dalam surat-surat
kontrak (konsensus) dengan pihak asing. Itu sebabnya, kita tetap
miskin.” Demikian dikatakan Aktivis HAM Usman Hamid, ketika diwawancarai
di USU, Sabtu (12/1).
Tambang batubara dan minyak di
Kalimantan, tambang emas di Papua, serta perkebunan di Sumatera mestinya
sanggup memperkaya bangsa kita. Nyatanya, semua hasilnya justru dibawa
kabur ke luar negeri, dinikmati oleh kaum kapitalis.
Ide kebebasan kepemilikan yang dijadikan
sebagai tolok ukur perbuatan mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang
membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan
membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk
industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis
untuk bersaing satu sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang
terbelakang, menguasai harta benda mereka, memonopoli kekayaan alam
mereka, sekaligus menghisap darah mereka dengan cara yang sangat
bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai agama, akhlak dan
kemanusiaan.
Hal ini bisa kita lihat dari salah satu
alasan mengapa Prancis menyerang negara Mali di Afrika adalah karena
faktor ekonomi, yakni kekayaan negara Mali. Mali adalah negeri yang kaya
bahan tambang berupa emas, phospat, kaolin, bauksit, besi, uranium dan
banyak lainnya. Tidak mengherankan kalau Eropa khususnya Prancis dan
Amerika saling berebut kekayaan alam Mali.
d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom).
Kebebasan berperilaku juga telah
menjadikan perempuan sebagai ajang eksploitasi Kapitalisme melalui
perhelatan Miss Universe, Miss World dan sejenisnya. Perempuan hanya
dianggap sebagai komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata.
Kebebasan semacam ini sama artinya dengan meligitimasi kemaksiatan.
Pacaran, misalnya, merupakan kebebasan berperilaku yang harus
dilindungi.
Kebebasan ini juga melahirkan perilaku
seks yang menyimpang. Kita bisa melihat bagaimana sekarang manusia sudah
tidak malu lagi memperkenalkan dirinya di hadapan umum sebagai pasangan
homo/lesbi dan juga waria yang merupakan perilaku lebih rendah dari
binatang.
Bahkan Inggris menjadi negara ke 11 yang
menyetujui pernikahan sejenis. Parlemen Inggris telah menyetujui
perhikahan sejenis; 400 orang anggota perlemen mendukung dan 175
menolak. Sepuluh negara lain adalah Belanda (2001), Belgia (2003),
Spanyol (2005), Kanada (2005), Afrika Selatan (2006), Norwegia, Swedia
(2009), Portugal (2010), Islandia (2010), Argentina (2010) (Huffingtonpost.com).
Kebebasan berperilaku juga menyuburkan kejahatan tindakan asusila. Harian The Guardian
(10/1) menambahkan potret rusak negara kampiun demokrasi Inggris.
Berdasarkan sebuah studi dilaporkan hampir satu dari lima wanita di
Inggris dan Wales menjadi korban serangan seksual sejak berusia 16
tahun. Studi ini juga menunjukkan ada sekitar 473 ribu orang dewasa yang
menjadi korban kejahatan seksual setiap tahun, termasuk di dalamnya ada
60 ribu sampai 95 ribu korban perkosaan.
Demokrasi, Cacat Sejak lahir
Segala kerusakan yang dibawa oleh sistem
demokrasi itu sebenarnya tidak lepas dari sejarah kemunculannya yang
memang sudah cacat sejak lahir. Akidah sekularisme yang melahirkan
demokrasi merupakan akidah hasil jalan tengah atau kompromi.
Karena itu, sudah saatnya umat islam
mulai sekarang segera mencampakkannya. Kaum Muslim harus kembali pada
sistem Islam, kembali pada syariah, kembali dalam naungan Khilafah
Islamiyah; sebagaimana selama berabad-abad pernah dialami oleh generasi
kaum Muslim terdahulu. Hanya dengan itulah, kemuliaan kaum Muslim di
dunia maupun di akhirat bisa diraih.
Tidak ada komentar