Demokrasi Gagal Memenuhi Aspirasi Politik Perempuan
Potret perempuan khususnya di Indonesia nampaknya kian hari kian buram. Pasalnya, ada saja peristiwa yang menimpa sosok yang dilabeli sebagai tiang negara ini, mulai dari eksploitasi fisik, ketertindasan, kekerasan, kemiskinan hingga pelecehan seksual.
Kebijakan afirmasi (affirmative action) atau kebijakan yang bersifat mendorong perempuan dalam bidang politik akhirnya dipilih oleh para aktivis politik perempuan sebagai solusi untuk menuntaskan masalah tersebut. Kebijakan ini diinisiasi oleh PBB seperti yang tercantum dalam Beijing Platform for Action (BPfA) tahun 1995.
Di Indonesia, gerakan afirmasi diinisiasi oleh Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Jaringan Perempuan Politik,Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dan 38 LSM, sejak tahun 2001. Salah satu cara yang dianggap akan mendekatkan pada tujuan tersebut adalah dengan menuntut 30 % kuota perempuan di parlemen Indonesia. Tuntutan tersebut terkabul melalui disahkannya UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. Pasal 55 yakni tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan bahwa daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Bahkan pasal 56 ayat 2 menyebutkan dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan.
Perjuangan politik tersebut dipandang menjadi sebuah keharusan, sebab dunia politik yang memiliki posisi strategis, hari ini, masih dianggap sebagai dunia yang arogan dan patriarkis. Keputusan yang dikeluarkan parlemen masih dianggap diskriminatif bagi perempuan. Di Indonesia, jumlah perempuan yang duduk di parlemen sejak Pemilu 1955 sampai 1999 hanya 13 persen. Dengan tuntutan 30 % kuota tersebut, diharapkan hak-hak perempuan dapat terpenuhi sehingga terciptalah struktur masyarakat yang lebih equal dan egaliter.
Namun sayangnya, penyelesaian masalah perempuan dengan membuat kebijakan yang bersifat responsif gender adalah sebuah keputusan yang tidak tepat. Kesalahan alur logika berpikir ini berakar dari kesalahan dalam mendefinisikan arti dari sebuah masyarakat, yang perempuan menjadi bagian di dalamnya. Jika masyarakat hanya dipandang sebagai kumpulan dari individu-individu yang hidup bersama secara terus menerus saja, maka wajar jika untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat dengan menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh individunya saja.
An-Nabhani dalam bukunya Peraturan Hidup Dalam Islam menjelaskan bahwa masyarakat bukan hanya terdiri dari kumpulan manusia saja tapi juga pemikiran, perasaan dan aturan, yang didalamnya terdapat interaksi secara terus menerus. Ini artinya, dalam menyelesaikan permasalahan perempuan haruslah secara komprehensif. Masalah yang menimpa perempuan hari ini sebenarnya juga menimpa laki-laki dalam posisinya sebagai individu, masyarakat umum serta negara yang menjadi institusi dalam menerapkan aturan/sistem kehidupan yang berlaku di masyarakat.
Demokrasi dalam posisinya sebagai sistem kehidupan yang tengah diberlakukan di masyarakat, realitasnya adalah dalang dari berbagai permasalahan tersebut. Kebijakan yang dibuat dalam sistem demokrasi bersifat parsial sehingga tetap tidak mensejahterakan perempuan. Eksploitasi perempuan baik dari segi fisik, finansial dan seksual tetap terjadi bahkan semakin meningkat. Dengan prinsip kebebasannya, suara mayoritas masyarakat telah dibeli oleh suara minoritas yang berkepentingan seperti pemilik modal sehingga sebesar apapun kuota keterwakilan perempuan dalam parlemen demokrasi bukanlah sebuah solusi.
Inilah bukti kegagalan sistem demokrasi. Demokrasi yang lahir dari asas sekularisme, telah merebut hak Allah SWT dalam membuat aturan/sistem kehidupan dan memberikannya pada akal manusia yang sifatnya terbatas. Demokrasi pun telah gagal dalam memenuhi aspirasi politik perempuan. Tuntutan 30 % kuota perempuan di parlemen tak lebih dari sekedar boneka pelengkap dan dianggap sebagai formalitas belaka karena nyatanya demokrasi merangkul kepentingan pemilik modal jauh diatas kepentingan rakyat.
Jika saja masyarakat mau sedikit berpikir, solusi yang komprehensif dalam penyelesaian permasalahan perempuan hanya dapat ditemukan dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Khilafah menjadikan Allah yang Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan oleh makhluk ciptaan-Nya sebagai pembuat aturan dalam kehidupan. Kedaulatan yang berada ditangan syara’ (aturan Islam), bukan pada rakyat baik itu mayoritas/minoritas, membuat standar baku dalam menilai sesuatu sehingga tidak berubah mengikuti kepentingan individu tertentu. Di sisi lain, political will negara dalam mengurusi urusan rakyat, termasuk perempuan, terhitung kuat karena dianggap sebagai sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Sang Pencipta kelak. Oleh karenanya, berbagai mekanisme yang telah ditetapkan oleh Islam akan dijalankan untuk menjamin kesejahteraan umat.
Khilafah juga mampu memenuhi aspirasi politik perempuan sesuai dengan aturan Islam. Perempuan diberikan hak untuk menjadi anggota partai politik yang sifatnya mengawasi kinerja pemerintah, memilih penguasa, dan menjadi anggota Majelis Umat yang akan menampung aspirasi dari masyarakat untuk pemerintah, juga mengoreksi kebijakan penguasa. Islam memberikan hak-hak politik bagi perempuan secara luas tanpa menghilangkan fitrahnya sebagai sebagai perempuan dan menjaga harmoni dalam keluarga dan masyarakat. Hal tersebut akan terealisasi apabila Khilafah diterapkan kembali.
Oleh : Kamila Aziza Rabiula
Staf Kajian Strategis BEM Kema FKep Universitas Padjadjaran
[www.al-khilafah.org]


Tidak ada komentar