Header Ads

Gus Uwik : Sungguh Keterlaluan, Dana Pembangunan Masjid Dipermainkan

Menanggapi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas dana revitalisasi Masjid Raya, Gus Uwik, Ketua DPD 2 HTI Kota Bogor menyatakan, heran dan tidak habis pikir. Kenapa dana untuk pembangunan masjid, yang jelas-jelas untuk pelayanan ibadah umat masih juga berani 'dipermainkan'.



"Dimana keimanan mereka? Dimana rasa tanggung jawab mereka? Tidakkah mereka tahu bahwa siksa Allah SWT atas orang yang mengkorupsi dana umat sangat pedih dan mengerikan di akhirat kelak?" tegas Gus Uwik.

Lebih lanjut, tokoh muda bogor ini menjelaskan, bahwa kondisi ini menunjukkan bobroknya mentalitas pejabat dan sistem yang ada.

Pejabat-pejabat yang mendapat amanah untuk menyediakan sarana dan prasarana pelayanan publik, seperti pembangunan Masjid Raya telah 'tutup mata' dan 'mati hati' dalam implementasi anggaran yang ada.

"Temuan BPK sejak tahun 2012 tentang permainan dana menunjukkan, bahwa sejatinya sudah jauh-jauh hari sudah ada peringatan dan sanksi. Namun, ternyata kondisi tersebut tidak membuat kendur dan merubah kondisi menjadi lebih baik. Yang ada justru malah menjadi-jadi. Ini sungguh ironi. Ini menunjukkan hati mereka sudah mati. Kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan meminta pertanggungjawaban di akhirat kelak sudah hilang," tegasnya.

Oleh karena itu, menurut Gus Uwik, inilah pentingnya syariat Islam bukan hanya sebatas nilai-nilai semata namun juga diterapkan dalam bentuk sistem hukum, konstitusi dan institusi negara.

Jika Islam diterapkan oleh negara, maka negara akan membina dan mencetak pribadi-pribadi masyarakat menjadi orang-orang yang mempunyai keimanan yang kuat. Tidak terpengaruh oleh kondisi apapun.

"Keimanan individu adalah pilar pertama yang menjadi benteng setiap orang tidak melakukan perbuatan maksiyat. Mereka bukan hanya sekedar takut BPK atau KPK. Tapi lebih dari itu, mereka akan lebih takut lagi dengan Mahkamah akhirat nanti dihadapan Allah. Semua tidak bisa ditutup-tutupi," jelasnya.

Selain faktor keimanan, hal penting lainnya yang perlu diwujudkan adalah adanya sanksi yang tegas, membuat jera dan membuat orang lain berpikir seribu kali untuk melakukan hal yang sama.

Dalam hasanah fiqih islam, korupsi adalah kasus yang terkategori dalam ta'zir. Yakni kasus yang hukumannya tidak tersebut secara tegas dalam Al Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu bentuk hukumannya diserahkan Khalifah (kepala negara - red) dan qadhi (hakim).

Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.

Menurut Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizham al-‘Uqubat fi al-Islam, hukuman untuk koruptor adalah kurungan penjara mulai 6 bulan sampai 5 tahun; disesuaikan dengan jumlah harta yang dikorupsi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209). Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad, Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).

"Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, menurut syariat Islam bisa saja koruptor dihukum mati," jelas Gus Uwik.

Oleh karena itu, selain keimanan dan hukuman yang berat, kunci penting untuk mencegah semua praktik korupsi agar tidak berkembang adalah dengan diterapkannya syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

"Sanksi yang tegas di atas tidak bisa diterapkan tanpa formalisasi syariat Islam dalam negara. Dan inilah kenapa Khilafah menjadi sangat diperlukan dan penting bagi umat," jelas Gus Uwik. [bogorplus/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.