‘Democracy Trap’ Dalam Transisi Tunisia dan Mesir
Ada tiga peristiwa di Timur Tengah yang penting kita cermati akhir-akhir ini. Pertama, referendum UUD Mesir, kedua disahkannya UU Baru Tunisia, dan yang ketiga tentang Konferensi Jenewa II ikhwal Suriah. Dalam pergolakan politik di kawasan ini ini tampak jelas upaya Barat melalui agen-agennya mengarahkan Timur Tengah menjadi negara sekuler demokratis. Mereka juga dengan keras menghalangi berdirinya Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Islam . Untuk menggolkan tujuan itu, Barat membajak perubahan (Arab Spring) dan melakukan jebakan dengan tawaran demokrasi.
Di Mesir, panitia pemilihan mengumumkan sekitar 38,6 % persen dari 53 juta pemilih yang berhak memilih memberikan suaranya. Dan hasilnya, sangat mencengangkan: 98,1 % menyatakan setuju untuk UUD baru ini. Menlu Amerika John Kerry pun menyambut baik hasil referendum ini dan mengatakan Mesir harus sepenuhnya melaksanakan hak-hak dan kebebasan yang dijamin oleh konstitusi Baru.
UUD Mesir yang baru ini sangat jelas mengarahkan Mesir menjadi yang sekuler dan liberal. Dalam pembukaan rancangan konstitusi ini. Ditegaskan bahwa Mesir akan membangun pemerintah yang demokratis, negara modern dengan pemerintah sipil.
Islampun hanya diakui sebagai agama negara. Mesir bukanlah negara Islam yang berdasarkan syariah Islam. Bahkan partai Islampun dilarang bediri, dengan adanya pasal yang melarang berdirinya partai politik yang berdasarkan agama.
Sangat jelas, larangan partai politik berbasis agama, ditujukan untuk melumpuhkan aspirasi politik Islam, lebih khusus lagi keinginan untuk menegakkan negara Islam. Mereka berharap bisa mematikan gerakan politik Islam yang dianggap militan atau radikal. Atau paling tidak menjinakkan kelompok-kelompok politik Islam ideologis menjadi moderat dan pragmatis.
Meskipun diklaim demokratis, referendum ini dilaksanakan dalam atmosfir politis yang penuh dengan tekanan dalam kontrol militer. Media-media massa dikontrol penuh rezim militer, media yang tidak sejalan ditekan dan ditutup. Sebagai bagian dari mematikan aspirasi politik Islam , rezim diktator pun melakukan pengontrolan terhadap rumah masjid-masjid.
Tema khutbahpun dipaksakan sama oleh Kementerian Islam Mesir. Isinya sebatas masalah spiritual dan sosial dan dijauhkan dari politik. Sebelumnya, rezim militer hanya mengizinkan ulama-ulama yang mendukung rezim diktator sebagai Khotib. Ribuan masjid ditutup untuk untuk menghalangi ulama-ulama yang kritis terhadap pemerintah menyampaikan ceramahnya.
Tren yang sama terjadi di Tunisia . Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon memuji konstitusi baru Tunisia dengan mengatakan ia yakin negara itu dapat menjadi “contoh bagi rakyat negara-negara lain yang mengusahakan reformasi.”
Meskipun mengakui Islam sebagai agama negara, namun UUD ini tidak menjadikan syariah Islam sebagai dasar hukum negara. UUD itu menjadikan Tunisia negara demokrasi yang tidak didasarkan pada hukum Islam. Aktifitas politik Islam justru dianggap kriminal.
Upaya mensekulerisasikan Tunisia juga tampak jelas dalam pasal UUD Tunisia. Disebutkan pemerintah menjamin netralitas tempat-tempat ibadah untuk aktivitas politik, upaya pengkafiran pun dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Ironisnya, Tunisia yang sekuler ini sudah jauh hari didukung partai An Nahdah yang oleh media Barat kerap disebut Islamis. Jauh sebelumnya, Rasyid al-Ghannouchi, pemimpin An-Nahdhah mengatakan partainya puas dengan klausa pertama yang ada di konstitusi lama Tunisia, yang mengidentifikasi Islam sebagai agama negara tapi tidak tidak secara khusus mengacu pada syariah.
Dengan bangga al-Ghannouchi menyatakan pihaknya telah membuat konsesi besar mengenai banyak pasal dalam konstitusi baru terutama dengan tidak bersikeras bahwa Syariah (hukum Islam) harus dinyatakan dalam konstitusi sebagai sumber utama perundang-undangan.
Ghannouchi juga mengatakan bahwa Ennahda menunjukkan fleksibilitas mengenai ayat yang mencakup kesetaraan antara pria dan wanita. An Nahdhoh pun tampak dalam posisi membela diri dengan mengatakan partainya lebih mendukung konsep negara sipil dan bukan islamisiasi.
Sikap yang berbeda ditampakkan Barat terhadap umat Islam Suriah yang menginginkan syariah Islam dan tegaknya Khilafah di negaranya. Barat serentak melakukan serangan secara massif , baik secara pemikiran maupun militer dengan dibantu agen-agen mereka. Para mujahidin dituding teroris dan diblowup sebagai anasir asing yang mengacaukan Suriah.
Menlu Rusia Sergei Lavrov dalam interview dengan TV Channel “Rusia 24” mengingatkan rakyat Suriah apakah mereka berjuang di pihak yang ingin mengubah Suriah menjadi negara Khilafah atau berpihak kepada negara federasi sekuler.
Barat menutupi realita, keberadaan mujahidin di Suriah, tidak lain untuk melindungi dan membebaskan rakyat Suriah yang dizolimi rezim Assad. Tekanan ini muncul setelah rakyat Suriah menuntut agar Assad mundur. Pembantaian tidak manusiawi yang dilakukan rezim Assad.
Barat dengan berbagai strategi berupaya menggagallkan proyek penegakan Khilafah di Suriah. Melalui jalan diplomasi, konferensi Jenewa II merupakan roadmap untuk pemerintahan transisi Suriah yang pro Barat sekaligus tetap menjaga sistem sekuler warisan rezim Assad. Kriminalisasi terhadap mujahidin pun secara sistemik dilakukan dengan tuduhan teroris.
Untuk mencegah dukungan rakyat terhadap para pejuang Islam yang menolak tawaran-tawaran dari Barat, rezim Assad dengan pembiaran negara-negara Barat melakukan tekanan dengan tindakan keji di daerah-daerah yang merupakan basis pendukung mujahidin seperti Allepo (halab) dan Homs. Mereka berharap dengan penderitaan yang luar biasa, rakyat kemudian kehilangan asa dan akhirnya mendukung Barat.
Perlu dicatat, upaya menghalangi keinginan umat untuk menegakkan syariah dan Khilafah tidak akan menghentikan perjuangan umat . Sebaliknya, justru akan menjadi pintu bagi revolusi kedua Timur Tengah. Umat akhirnya akan memfokuskan diri berjuang di luar sistem demokrasi. Demokrasi juga dianggap sebagai sistem politik yang penuh dengan tipu daya dan tidak bisa lagi dipercaya. Sistem ini tidak akan pernah sampai kapanpun berpihak pada umat.
Timur Tengah yang sekuler dengan pemerintah otoriter yang dimaklumi Barat, dipastikan akan gagal. Sebab perubahan Timur Tengah masih melestarikan biang masalah di negeri-negeri Islam, yaitu kapitalisme sekuler dengan penguasa boneka represif dan korup yang dilindungi Barat. Kondisi ini akan memicu kelahiran gelombang revolusi kedua di Timur Tengah. Gelombang revolusi kedua, yang tidak lagi percaya pada tawaran-tawaran demokrasi . Revolusi dengan tuntutan yang jelas yaitu penegakan Khilafah.
Revolusi yang bersifat global yang akan menggoncang dunia, karena akan menyatukan negeri-negeri Islam dan merontokkan satu persatu penguasa-penguasa boneka lindungan Barat. Hingga akhirnya menikam peradaban busuk Barat tepat pada jantungnya. Bisakah Barat yang semakin renta akibat krisis kapitalis akut mampu menghadapi semua ini ? (Farid Wadjdi) [www.al-khilafah.org]
Di Mesir, panitia pemilihan mengumumkan sekitar 38,6 % persen dari 53 juta pemilih yang berhak memilih memberikan suaranya. Dan hasilnya, sangat mencengangkan: 98,1 % menyatakan setuju untuk UUD baru ini. Menlu Amerika John Kerry pun menyambut baik hasil referendum ini dan mengatakan Mesir harus sepenuhnya melaksanakan hak-hak dan kebebasan yang dijamin oleh konstitusi Baru.
UUD Mesir yang baru ini sangat jelas mengarahkan Mesir menjadi yang sekuler dan liberal. Dalam pembukaan rancangan konstitusi ini. Ditegaskan bahwa Mesir akan membangun pemerintah yang demokratis, negara modern dengan pemerintah sipil.
Islampun hanya diakui sebagai agama negara. Mesir bukanlah negara Islam yang berdasarkan syariah Islam. Bahkan partai Islampun dilarang bediri, dengan adanya pasal yang melarang berdirinya partai politik yang berdasarkan agama.
Sangat jelas, larangan partai politik berbasis agama, ditujukan untuk melumpuhkan aspirasi politik Islam, lebih khusus lagi keinginan untuk menegakkan negara Islam. Mereka berharap bisa mematikan gerakan politik Islam yang dianggap militan atau radikal. Atau paling tidak menjinakkan kelompok-kelompok politik Islam ideologis menjadi moderat dan pragmatis.
Meskipun diklaim demokratis, referendum ini dilaksanakan dalam atmosfir politis yang penuh dengan tekanan dalam kontrol militer. Media-media massa dikontrol penuh rezim militer, media yang tidak sejalan ditekan dan ditutup. Sebagai bagian dari mematikan aspirasi politik Islam , rezim diktator pun melakukan pengontrolan terhadap rumah masjid-masjid.
Tema khutbahpun dipaksakan sama oleh Kementerian Islam Mesir. Isinya sebatas masalah spiritual dan sosial dan dijauhkan dari politik. Sebelumnya, rezim militer hanya mengizinkan ulama-ulama yang mendukung rezim diktator sebagai Khotib. Ribuan masjid ditutup untuk untuk menghalangi ulama-ulama yang kritis terhadap pemerintah menyampaikan ceramahnya.
Tren yang sama terjadi di Tunisia . Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon memuji konstitusi baru Tunisia dengan mengatakan ia yakin negara itu dapat menjadi “contoh bagi rakyat negara-negara lain yang mengusahakan reformasi.”
Meskipun mengakui Islam sebagai agama negara, namun UUD ini tidak menjadikan syariah Islam sebagai dasar hukum negara. UUD itu menjadikan Tunisia negara demokrasi yang tidak didasarkan pada hukum Islam. Aktifitas politik Islam justru dianggap kriminal.
Upaya mensekulerisasikan Tunisia juga tampak jelas dalam pasal UUD Tunisia. Disebutkan pemerintah menjamin netralitas tempat-tempat ibadah untuk aktivitas politik, upaya pengkafiran pun dianggap sebagai sebuah kejahatan.
Ironisnya, Tunisia yang sekuler ini sudah jauh hari didukung partai An Nahdah yang oleh media Barat kerap disebut Islamis. Jauh sebelumnya, Rasyid al-Ghannouchi, pemimpin An-Nahdhah mengatakan partainya puas dengan klausa pertama yang ada di konstitusi lama Tunisia, yang mengidentifikasi Islam sebagai agama negara tapi tidak tidak secara khusus mengacu pada syariah.
Dengan bangga al-Ghannouchi menyatakan pihaknya telah membuat konsesi besar mengenai banyak pasal dalam konstitusi baru terutama dengan tidak bersikeras bahwa Syariah (hukum Islam) harus dinyatakan dalam konstitusi sebagai sumber utama perundang-undangan.
Ghannouchi juga mengatakan bahwa Ennahda menunjukkan fleksibilitas mengenai ayat yang mencakup kesetaraan antara pria dan wanita. An Nahdhoh pun tampak dalam posisi membela diri dengan mengatakan partainya lebih mendukung konsep negara sipil dan bukan islamisiasi.
Sikap yang berbeda ditampakkan Barat terhadap umat Islam Suriah yang menginginkan syariah Islam dan tegaknya Khilafah di negaranya. Barat serentak melakukan serangan secara massif , baik secara pemikiran maupun militer dengan dibantu agen-agen mereka. Para mujahidin dituding teroris dan diblowup sebagai anasir asing yang mengacaukan Suriah.
Menlu Rusia Sergei Lavrov dalam interview dengan TV Channel “Rusia 24” mengingatkan rakyat Suriah apakah mereka berjuang di pihak yang ingin mengubah Suriah menjadi negara Khilafah atau berpihak kepada negara federasi sekuler.
Barat menutupi realita, keberadaan mujahidin di Suriah, tidak lain untuk melindungi dan membebaskan rakyat Suriah yang dizolimi rezim Assad. Tekanan ini muncul setelah rakyat Suriah menuntut agar Assad mundur. Pembantaian tidak manusiawi yang dilakukan rezim Assad.
Barat dengan berbagai strategi berupaya menggagallkan proyek penegakan Khilafah di Suriah. Melalui jalan diplomasi, konferensi Jenewa II merupakan roadmap untuk pemerintahan transisi Suriah yang pro Barat sekaligus tetap menjaga sistem sekuler warisan rezim Assad. Kriminalisasi terhadap mujahidin pun secara sistemik dilakukan dengan tuduhan teroris.
Untuk mencegah dukungan rakyat terhadap para pejuang Islam yang menolak tawaran-tawaran dari Barat, rezim Assad dengan pembiaran negara-negara Barat melakukan tekanan dengan tindakan keji di daerah-daerah yang merupakan basis pendukung mujahidin seperti Allepo (halab) dan Homs. Mereka berharap dengan penderitaan yang luar biasa, rakyat kemudian kehilangan asa dan akhirnya mendukung Barat.
Perlu dicatat, upaya menghalangi keinginan umat untuk menegakkan syariah dan Khilafah tidak akan menghentikan perjuangan umat . Sebaliknya, justru akan menjadi pintu bagi revolusi kedua Timur Tengah. Umat akhirnya akan memfokuskan diri berjuang di luar sistem demokrasi. Demokrasi juga dianggap sebagai sistem politik yang penuh dengan tipu daya dan tidak bisa lagi dipercaya. Sistem ini tidak akan pernah sampai kapanpun berpihak pada umat.
Timur Tengah yang sekuler dengan pemerintah otoriter yang dimaklumi Barat, dipastikan akan gagal. Sebab perubahan Timur Tengah masih melestarikan biang masalah di negeri-negeri Islam, yaitu kapitalisme sekuler dengan penguasa boneka represif dan korup yang dilindungi Barat. Kondisi ini akan memicu kelahiran gelombang revolusi kedua di Timur Tengah. Gelombang revolusi kedua, yang tidak lagi percaya pada tawaran-tawaran demokrasi . Revolusi dengan tuntutan yang jelas yaitu penegakan Khilafah.
Revolusi yang bersifat global yang akan menggoncang dunia, karena akan menyatukan negeri-negeri Islam dan merontokkan satu persatu penguasa-penguasa boneka lindungan Barat. Hingga akhirnya menikam peradaban busuk Barat tepat pada jantungnya. Bisakah Barat yang semakin renta akibat krisis kapitalis akut mampu menghadapi semua ini ? (Farid Wadjdi) [www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar