Header Ads

Demokrasi Sistem Gila dan Merusak


Tahun 2014 digadang-gadang sebagai tahun politik. Bagaimana tidak, di tahun ini berbagai pesta demokrasi digelar. Baik di desa maupun di kota, mulai dari tataran kecamatan hingga nasional. Pemilu legislatif 9 April dan pemilu presiden 9 Juli mendatang yang digaungkan akan melibatkan seluruh bangsa Indonesia ini tentu membutuhkan upaya-upaya keras guna menyita perhatian masyarakat demi meraup partisipasi politik mereka, tentu saja suara masyarakat lah yang menjadi penentu kemenangan mereka.


Beragam upaya dilakukan para calon anggota legislatif, mulai dari cara-cara yang wajar hingga tidak rasional. Sebuah fenomena yang tidak pantas dilakukan seorang caleg pun terjadi. Menjelang pemilu, banyak dari mereka yang melakukan ritual ke tempat keramat. Mereka menanggalkan rasionalitas demi mengejar jabatan (detik news 4/3). Berbagai aksi tesebut dilakukan tiada lain demi menggapai ambisi mereka dalam memenangkan pemilu. Mereka tidak lagi berpikir rasional, jernih ataupun cerdas. Alih-alih mencerdaskan rakyat, apa yang mereka lakukan justru menunjukkan inkapabilitas para calon wakil rakyat. Hal ini menunjukkan lemahnya kepercayaan diri, mentalitas dan integritas mereka.

Secara faktual, pemilu 2014 dibayang-bayangi oleh kekhawatiran tingginya tingkat prosentase golput, legitimasi keabsahannya, dan ketidak siapan prosesi penyelenggaraannya. Kekhawatiran tingginya tingkat prosentase golput diindikasikan oleh statement keras KPU bahwa golput dipidana. Meski terkesan agak berlebihan menginterpretasikan UU Pemilu tentang golput. Indikasi lain adalah fatwa MUI tentang golput haram. Sementara itu banyak pengamat memprediksikan kecenderungan golput meningkat jika dibandingkan tahun 2009. Diperkirakan pada kisaran lebih dari 30 persen jumlahnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI R. Siti Zuhro, Rabu (5/2/2014) di Media Center DPN PKPI, Jakarta. Dan menurut Zuhro, faktor dominan penyebab golput adalah karena apatis dan tidak percaya lagi publik terhadap politik. Golongan golput ini besar terutama di kota-kota besar propinsi. Terutama pada kelompok menengah ke atas.

Fenomena Caleg Gila dan Gila Nyaleg

Radar Sukabumi (16/01/14) menuliskan bahwa RSUD Syamsyudin siap menampung caleg gila. Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) merilis berdasarkan data Pemilu 2009 lalu, ada sekitar 7.736 caleg gagal yang gila (Inilahkoran.Com). Ini sebuah fakta yangmenarik untuk diamati. Stresitas pasca nyaleg ternyata sangat besar terhadap para caleg yang gagal. Hal ini mungkin karena biaya politik yang mahal dan masalah kematangan mental. Selain itu, RSJKO prov. Bengkulu, RSJ Ernaldi Bahar Palembang, RSJ Tampan Pekanbaru, RSJ Soeharto Heerdjan, RSJ Marzoeki Mahdi Bogor, RSU Kota Banjar Jabar, dll siap menampung caleg stress.

Sistem politik yang ada sekarang bahkan bisa membuat seseorang benar-benar gila, pemilu 2004 dan 2009 sudah membuktikannya. Menurut data Kemenkes, pada pemilu 2009 dari 7.376 caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila. Sebanyak 49 orang caleg DPR, 496 orang caleg DPRD I, 4 caleg DPD dan 6.827 orang caleg DPRD II.

Tidak mengherankan jika pada pemilu 2014 ini para caleg harus bekerja keras dan jor-joran, karena persaingan akan jauh lebih ketat dibandingkan pemilu 2009 lalu. Selain jumlah caleg makin banyak, ‘harga’ satu kursi di DPR RI bisa dipastikan lebih mahal. Baik harga financial, maupun harga berupa jumlah suara yang harus diperoleh seorang caleg untuk bisa duduk di kursi dewan. Maka tidak heran jika potensi caleg gila semakin meningkat.

Caleg yang terpilih lebih beresiko dibanding caleg gila yang ada di rumah sakit. Caleg gila bisa dikurung di rumah sakit. Caleg terpilih bisa memainkan rumah sakit. Bisa memainkan anggaran dan bisa main mata dengan eksekutif, yudikatif dan kaum “kapitalis”. Caleg terpilih yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat akan menyengsarakan rakyat demi mensejahterakan pribadinya. Benarkah Ia amanah atau amarah (bernafsu) pada proyek/anggaran rakyat?

Pakar Psikologi Politik Prof Dr Hamdi Muluk menyatakan sistem Pemilu yang berlaku saat ini memang memungkinkan calon anggota legislatif yang gagal terpilih, menjadi gila. “(Karena) sistemnya ini terlalu membuka lebar pintu bagi orang untuk bereksperimen prilaku,” tegasnya kepada mediaumat.com, Sabtu (15/2). Salah satu eksperimen prilaku tersebut adalah mencoba peruntungan menjadi caleg, padahal itu tidak rasional bagi dirinya. “Padahal jumlah orang yang betul-betul mampu dinominasikan untuk menjadi caleg itu sedikit. Mampu di sini ya mampu pengetahuannya, mampu akhlaknya, mampu track record-nya, mampu juga dari segi pendanaan dan didukung partai,” ungkapnya.

Menurut Hamdi, dengan sistem terbuka ini juga akan bersaing di antara caleg dari anggota parpol sendiri. Ya tentu sangat mahal biayanya. Sudah pinjam sana-sini, sudah habis satu milyar kok belum cukup juga. Nanti kalau tidak terpilih stres dia karena tidak bisa mengembalikan pinjaman. Fenomena caleg gila dipicu oleh sistem pemilu proporsional terbuka dan banyak partai. Sistem itu memicu kompetisi caleg antar partai dan intern partai. Di tengah banyak parpol yang memalak calegnya. Atas nama seleksi kemampuan. Dan banyak caleg berspekulasi mencari peruntungan melalui pemilu. Saat gagal, maka akan muncul kecenderungan banyak caleg gila. Karena mereka harus mengembalikan uang yang dikeluarkan untuk kampanye. Atau pura-pura menjadi gila karena ditagih hutang.

Akhirnya keinginan tinggi suksesnya Pemilu 2014, harusnya bukan sekedar ditopang oleh semangat yang besar saja. Namun disertai juga upaya serius mengidentifikasi akar persoalan mendasar yang membayangi Pemilu. Yang mengakibatkan rendahnya partisipasi politik pemilih karena apatis. Unlegitimasi legal of frame pemilu buah dari tarik ulur pembahasan substansi UU pemilu yang sarat dengan conflict of interest. Kisruh DPT sampai dengan persaingan tidak sehat antar caleg implikasi dari kultur politik kekuasaan. Kita bisa memahami kemudian bahwa persoalan seputar pemilu 2014 adalah persoalan sistemik. Sebagaimana sistemiknya persoalan lain yang muncul. Penyelesaian persoalannya harus dengan solusi yang sistemik, komprehensif dan integral. Penting direnungkan untuk berani berpikir merubah referensi ideologi negara yang kapitalis liberalis dengan sistem politik Demokrasi ini. Yang melahirkan kultur politik bargaining of power. Dengan referensi ideologi negara yang berakar pada keyakinan mayoritas bangsa ini. Yang terbukti secara historis, empiris dan konseptual membawa kerahmatan bagi seluruh manusia. Yakni ideologi Islam kaffah dalam bingkai sistem politik Khilafah Islamiyah.

Fida Hafiyyan Nudiya
Mahasiswi Universitas Padjadjaran 2010

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.