Header Ads

Mendukung Khilafah Bukan Mendukung ISIS

Mendukung Khilafah Bukan Mendukung ISIS
Dr Abdul Wahid dari Hizbut Tahrir Inggris mengatakan artikel Mehdi Hasan terbaru tentang Khilafah memuntahkan mitos Neo Con.

Artikel Mehdi Hasan sebelumnya tidak mengesankan Paul Dacre atas kolomnya di Daily Mail. Namun, di blog-nya baru-baru ini [The Hand-Choppers of ISIS Are Deluded: There is Nothing Islamic About Their Caliphate] dia memungkinkan terjadinya hal itu.



Memang benar bahwa sebagaimana banyak kaum Muslim (yang didanai oleh Michael Gove), dia telah diserang sebagai seorang apologis karena pandangan “ekstremisme” dan “fundamentalis” atas beberapa pandangannya.

Namun sayangnya, dalam bagian yang penuh ketidakakuratan, dan kelalaian ini – dia mengadopsi cerita sederhana tentang ekstrimis Neo Cons yang sering menyerangnya – suatu cerita yang kebanyakan ditelan mentah-mentah oleh para politisi dan media – yang secara teratur yang menyatukan Islam politik dengan kekerasan dan “teror. ”

Pengumuman Kekhalifahan ISIS tidak memiliki kondisi rinci yang diperlukan untuk mendapatkan legitimasi – itulah sebabnya mengapa banyak peneliti, kelompok dan orang lain yang tidak melihat pengumuman kekhalifahan ini sebagai hal yang serius.

Namun, Medhi tidak hanya mengkritik ISIS dan pengumuman kekhalifahannya malahan melancarkan serangan terhadap institusi Khilafah. Dia bahkan berargumen menentang peran Islam dalam hal apapun di luar lingkup pribadi.

Dia membuat beberapa poin substantif dalam blognya yang perlu dibahas, dan ditempatkan pada posisinya di samping argumen lama dan keliru tentang pembunuhan dan kekerasan untuk menyerang legitimasi kekhalifahan (Bayangkan para sejarawan menolak peradaban Amerika karena empat presiden Amerika, termasuk Lincoln dan Kennedy, karena mereka dibunuh, atau karena ratusan ribu tewas orang dalam perang saudara di Amerika).

Negara Islam

Pertama, dia mengatakan bahwa tidak ada “negara” Islam (bahkan berargumen bahwa agama Islam tidak memerlukan sebuah negara Islam) dengan mengatakan “tidak ada sedikitpun bukti teologis, historis atau empiris untuk mendukung keberadaan entitas seperti itu” .

Jika dia melihat empat belas abad konsensus hukum Islam, dia tidak akan kekurangan bukti yang menunjukkan sentralitas kekhalifahan Islam. Satu publikasi singkat yang kami terbitkan beberapa tahun yang lalu mencatat banyak pendapat ilmiah dan argumen tentang masalah ini.
Jika dia mau melihat referensi standar bagi para akademisi – seperti Brill Encyclopedia of Islam setebal tiga belas jilid (yang disusun selama beberapa tahun oleh sejumlah otoritas Barat terkemuka mengenai teologi dan sejarah Islam), dia akan menemukan tentang Khilafah bahwa “poin utama dalam doktrin Sunni yang sepenuhnya berkembang adalah sebagai berikut: Pemilihan seorang imam secara permanen adalah wajib bagi masyarakat … hanya ada seorang imam yang satu pada setiap saat.”

Memang, bahkan ketika mengutip pendapat Imam Shatibi, Mehdi gagal untuk menjelaskan bahwa Khilafah-lah yang merupakan kendaraan yang sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda – suatu hal yang disokong juga oleh Shatibi. Individu menurut definisi itu tidak bisa menjaga ketertibannya sendiri, mendidik masyarakat atau memberikan peluang ekonomi.

Carly Fiorina, mantan CEO Hewlett Packard dan pendukung Senator John McCain, pernah berbicara tentang “sebuah peradaban terbesar di dunia. Peradaban itu mampu membuat suatu negara benua berukuran super yang membentang dari samudra ke samudra, dan dari iklim utara di daerah tropis hingga daerah gurun. Dalam kekuasaannya, hidup ratusan juta orang yang memiliki kepercayaan dan asal-usul etnis yang berbeda. Tentara negara itu terdiri dari orang-orang dari berbagai negara, dan perlindungan militer memungkinkan terjadinya perdamaian dan kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan peradaban ini disokong lebih dari apa pun, dengan berbagai penemuan … Sementara peradaban Barat modern banyak mengambil sifat-sifat ini, peradaban yang sedang saya bicarakan adalah peradaban dunia Islam dari tahun 800 hingga tahun 1600. ”

ISIS

Kedua, Mehdi berpendapat kebanyakan kaum Muslim tidak ingin negara bergaya ISIS.

Pilihannya adalah bukan negara bergaya ISIS atau bukan Khilafah.

Beberapa jajak pendapat selama beberapa tahun menggambarkan pandangan kaum Muslim tentang hal ini jauh lebih bernuansa. Satu jajak pendapat oleh University of Maryland pada tahun 2007 di beberapa negara Muslim menyebutkan dukungan untuk kekhalifahan adalah hampir 70%.

Sementara yang lain telah menunjukkan bahwa umat Islam ingin melihat Hukum Syariah (dalam setiap aspek dan bukan hanya hukum pidana) diterapkan di dunia Muslim – dan bahwa mereka melihat identitas utama mereka sebagai seorang Muslim, bukan sebagai orang Pakistan, Yordania, atau identitas nasional yang pertama dan terutama lainnya.

Pada saat yang sama, bukti jajak pendapat menunjukkan kebanyakan kaum Muslim tidak melihat pertentangan antara hal-hal di atas dan kehidupan dalam dunia modern, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menghindari pemerintahan otoriter. Bahkan ketika jajak pendapat secara bersamaan mengutip dukungan bagi “demokrasi,” ketika diambil hal-hal di atas dapat dibaca sebagai dukungan bagi pemerintahan terpilih yang akuntabel – bukan sebagai demokrasi sebagaimana yang dipahami di Barat.

Kesimpulan bahwa umat Islam sudah muak dengan perbatasan negara yang dipaksakan Barat, otokrat yang didukung Barat dan intervensi Barat untuk mempertahankan status quonya adalah hal yang bisa dimengerti.

Jadi mengapa mereka tidak menginginkan Khilafah yang melembagakan identitas inti ini dan memberlakukan hukum yang konsisten dengan keyakinan inti mereka?

Islam politik

Akhirnya, Mehdi berpendapat bahwa Islam politik telah terbukti gagal.

Dia meramalkan kemungkinan kelompok-kelompok seperti ISIS, Boko Haram dan al Shabab dengan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki program politik. Kelompok bersenjata adalah tetap kelompok bersenjata. Kegagalan mereka untuk memiliki program politik bukanlah kegagalan Islam politik. Anda tidak bisa menyatakan setiap orang bersalah dengan cara mengeneralisir – cerita yang sama yang mencap Muslim pada umumnya sebagai “kaum ekstremis” karena mereka tidak percaya pada aspek Islam yang bukan norma liberal sekuler.

Kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir memiliki cetak biru yang serius dan tidak melihat bahwa menjalankan negara modern sebagai hal yang dipandang enteng. Konsep kami tentang Islam politik adalah “mengatur urusan” seperti yang disebutkan oleh banyak ulama Islam selama berabad-abad. Kami menyadari masalah-masalah serius seperti hukum dan ketertiban, kesenjangan ekonomi dan keterbelakangan ilmiah di dunia Muslim. Dan kami tidak percaya bahwa demokrasi sekuler memiliki monopoli pada pemilu!

Sebagaimana Mehdi, saya akan membuat prediksi. Status quo di Timur Tengah – yang penuh dengan otokrat, monarki dan model negara hibrid yang gagal – dalam istilah yang dipakai oleh mantan juru bicara Departemen Luar Negeri AS Philip Crowley – “memiliki banyak kesempatan untuk bertahan hidup sebagai suatu kerucut es krim di padang pasir”.

Perdebatan ini bukan tentang ISIS. Ini adalah tentang masa depan dunia Muslim. Artikel-artikel yang dangkal yang membuang lembaga dan pemikiran Islam politik bukanlah sesuatu hal yang diperlukan. Apa yang dibutuhkan adalah melihat suatu pandangan serius atas apa yang akan ditawarkan oleh Khilafah sesungguhnya kepada wilayah itu, yang begitu banyak membutuhkan perubahan.

@ AbdulWahidHT

Abdul Wahid adalah Ketua Komite Eksekutif Hizbut Tahrir Inggris.

Sumber : http://www.5pillarz.com/2014/07/08/support-for-the-caliphate-isnt-support-for-isis/

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.