Header Ads

Khutbah Jum’at – ‘Blusukan’

Sudah cukup masyhur dikalangan kaum muslimin, bahwa Khalifah Umar bin Khattab ra adalah salah satu khalifah (kepala negara) yang sangat menjaga amanah kepemimpinannya. Beliau tidak jarang mengontrol sendiri kondisi rakyatnya, bahkan tidak segan memanggul gandum sendiri untuk diberikan kepada rakyat yang kekurangan. Beliau bukan hanya memikirkan bagaimana agar rakyatnya terpenuhi kebutuhan jasmaninya, lebih dari itu beliau senantiasa memperhatikan ketaqwaan dan ketaatan mereka kepada Allah SWT.


Beliau sangat memahami sabda Nabi saw:

مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِى أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لاَ يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلاَّ لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum Muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka (HR Muslim).

Suatu malam, saat sedang ‘blusukan’ mengecek kondisi rakyatnya, langkah Khalifah Umar bin Khattab r.a terhenti ketika terdengar suara wanita bersenandung dari bilik sebuah rumah:

هَلْ مِنْ سَبِيْلٍ إلى الْخَمْرِ فَأَشْرِبُهَا… أَوْ هَلْ سَبِيْل إِلَى نَصْرِ بْنِ حَجَاجَ

Adakah jalan untuk minuman memabukkan, agar aku meminumnya… Atau adakah jalan kepada Nashr bin Hajjaj (untuk bersenang-senang)? … (Al Alûsi, Rûhul Ma’âny, 9/280)

Pagi harinya, Khalifah Umar bin Khattab r.a segera melakukan upaya untuk menjauhkan godaan ini dari rakyatnya.

Meningkatnya kesenangan hidup dan kesejahteraan ekonomi rakyatnya juga tidak melalaikan beliau, justru menggelisahkan beliau, mengkhawatirkan kalau rakyatnya tenggelam dalam kesenangan duniawi lalu melalaikan tujuan hidup sebenarnya, yakni menggapai kemuliaan hidup di dunia maupun akhirat.

Qatadah menceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. sedang melakukan ibadah haji, ia melihat adanya gejala hidup santai dan kehidupan yang menyenangkan pada manusia. Lalu beliau membacakan

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah… (Ali Imran: 110) Kemudian beliau berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُون مِنْ هَذِهِ الْأُمَّة فَلْيُؤَدِّ شَرْطَ اللَّهِ فِيهَا

“Barang siapa yang ingin dirinya termasuk golongan umat (terbaik) ini, hendaklah ia menunaikan syarat yang ditetapkan oleh Allah di dalamnya.”(Tafsir Ibnu Katsir, 2/103).

Sungguh jauh berbeda halnya dengan sistem kehidupan sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Berbicara tentang kebahagiaan, seolah-olah hanya berbicara tentang berapa kesenangan duniawi yang berhasil diperoleh, berapa tingkat pendapatan masyarakat, berapa pertumbuhan ekonomi, dan hal-hal kenikmatan duniawi semata. Oleh sebab itu, tidak aneh kalau keselamatan di jalan raya jauh lebih diperhatikan dari pada keselamatan di akhirat, orang tidak memakai helm akan ditilang, sementara orang membuka aurat justru dijadikan tontonan. Nilai ujian nasional yang rendah begitu dipermasalahkan, sementara banyaknya siswa yang tidak shalat luput dari perhatian. Meningkatnya penyakit menular seksual di kalangan remaja dan kehamilan di usia dini begitu diributkan, sementara pacaran, dengan alasan ‘pacaran sehat’, justru diajarkan. Sungguh kalau hal ini dibiarkan, bukan hanya kebahagiaan yang kekal diakhirat akan gagal diraih, namun kebahagiaan di dunia pun akan gagal didapatkan. Lebih dari 80% kekayaan negeri ini yang dikuasai asing, puluhan juta rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan, serta membengkaknya utang hingga mencapai Rp3.419 Trilyun (kompas.com, 20/8/14) harusnya menyadarkan kita semua akan masalah yang dihadapi bangsa ini.

Persoalan yang membelit bangsa ini, bukan hanya persoalan siapa pemimpinnya, namun lebih kepada persoalan sistem/aturan yang diberlakukan. Oleh karena itu, siapapun yang memimpin, dengan gaya kepemimpinan seperti apapun,  jika tetap menggunakan sistem sekuler, menjadikan ‘suara rakyat’ untuk menggantikan ‘suara’ Tuhan, maka bukan nikmat dan kemuliaan yang akan di peroleh, justru laknat dan kehinaan yang akan didapatkan. ‘Umar r.a berkata:

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ

“Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah muliakan kita dengan Islam, bilamana kita mencari kemuliaan selain dengan apa (aturan) yang Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita.” (HR. Al Hakim dengan sanad shahih menurut Bukhory dan Muslim, disepakati oleh Adz Dzahabi).[M. Taufik NT] [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.