Header Ads

Hizbut Tahrir Belanda : Charlie Hebdo, Kebohongan Kebebasan Bicara

Hizbut Tahrir Belanda : Charlie Hebdo, Kebohongan Kebebasan Bicara
Pada Rabu sore, kita terlempar kembali ke tahun 2011, ketika liputan media di Norwegia, yang tepat setelah serangan teror di Utoya menunjuk jari mereka kepada kaum Muslim sebagai pelakunya tanpa ada bukti yang kuat, namun menjadi jelas di kemudian hari. Kali ini serangan terhadap kantor koran satir mingguan Charlie Hebdotelah mengakibatkan dua belas orang tewas.



Tidak banyak yang telah berubah sejak saat itu berkaitan dengan pemberitaan media karena kali ini lagi dengan tanpa bukti dan tanpa investigasi apapun yang layak, disajikan kesan bahwa Muslim berada di balik serangan di Paris itu. Ini terjadi sebelum ada rekaman video yang dipublikasikan yang menunjukkan para pelaku berteriak dengan beberapa kalimat bahasa Arab. Akibatnya, kejadian ini langsung dicap dilakukan oleh ‘Islam’ dan bagi sebagian orang merupakan suatu keberuntungan dan konfirmasi dari apa yang sangat mereka harapkan di dada mereka. Mereka ingin menggunakan serangan-serangan semacam ini sebagai bahan bakar untuk lebih jauh terus membakar retorika anti-Islam mereka.

Tidak lama sebelum pemerintah mendapatkan nama tiga orang dan gambar dari para tersangka karena salah satu pelaku anehnya lupa menaruh kartu identitas nya di dalam mobil yang mereka pakai untuk melarikan diri. Selain itu, mereka berhasil mengungkap identitas ketiga tersangka hanya dengan hanya satu kartu identitas. Setelah itu kemustahilan ini menjadi jelas ketika salah seorang tersangka adalah seorang pria berusia 18-tahun yang masih berada di sekolah saat kejadian. Meyakinkan atau tidak, apakah itu dimotivasi oleh Islam atau tidak, kita tidak akan mengetahui karena semua tersangka ditembak mati oleh unit anti-terorisme Perancis.

Tindakan kekerasan terjadi dengan semua konsekuensi negatif yang menyertainya bagi komunitas non-Muslim dan Muslim di Eropa. Ini adalah realitas yang harus kita hadapi. Pertanyaannya bukan lah apakah pelakunya adalah Muslim atau bukan dan jika mereka memiliki motif Islam, lalu mengapa menjadi penting bahwa pelakunya adalah Muslim atau bukan non-Muslim?

Tanpa menganggap remeh serangan terhadap Charlie Hebdo, mari kita meninjau serangan di Norwegia dan reaksi dari media, politisi dan langkah-langkah selanjutnya yang diambil untuk mencegah dan memerangi hal tersebut. Serangan terhadap sebuah gedung pemerintah di Norwegia oleh Anders Behring Breivik menyebabkan delapan orang tewas. Kemudian ada 69 remaja yang tidak bersalah yang secara brutal ditembak mati di sebuah kamp musim panas.

Setiap manusia yang waras harus mengakui bahwa ini adalah jauh lebih buruk dan lebih drastis. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan; pertama jumlah korban tewas hampir tujuh kali lebih tinggi dari serangan di Paris dan sebagian besar korban adalah remaja yang tidak bersalah sementara Charlie Hebdo dikenal karena provokasi dan konfrontasi yang memang disengaja. Dan yang lebih penting, Barat tahu konsekuensi dari nasionalisme sayap kanan dan diskriminasi terhadap oposisi ideologi atau agama memang terlalu kentara. Dan Barat tahu apa yang mampu mereka lakukan, mengingat sejarah tindak kekerasan yang mereka lakukan.
Mengapa serangan pada anak-anak yang tidak bersalah oleh satu orang yang meyakini ideologi penuh kebencian dan diskriminasi yang merupakan ancaman berbahaya bagi Eropa bukan merupakan ancaman yang nyata bagi masyarakat dan tidak ada langkah-langkah tambahan yang diambil untuk melawannya? Tapi kebalikannya, akan menyebabkan begitu banyak keributan jika sang pelakunya adalah Muslim? Apakah mereka menganggap bahwa ideologi yang dibawa oleh kaum minoritas menimbulkan ancaman yang lebih besar bagi masyarakat daripada seorang monster potensial dari Perang Dunia II?

Atau itu mungkin bukan minoritas Muslim di Perancis yang membuat orang-orang menjadi sangat cemas, melainkan mayoritas orang di negara-negara Muslim yang telah dijajah selama puluhan tahun dan sampai hari ini mereka masih dijajah? Atau mungkin mereka takut karena membantu para tiran dan diktator yang berkuasa untuk benar-benar menekan umat Islam di Aljazair, Libya dan negara-negara lain? Atau mungkin mereka takut karena mereka telah menjarah kekayaan kaum muslim selama bertahun-tahun misalnya di Mali dan Afrika Tengah? Atau karena kontribusi militer mereka untuk koalisi Barat di negara-negara Muslim sehingga mereka takut? Apakah Perancis takut kejahatan yang telah dilakukan yang mereka tahu bahwa suatu hari akan menyerang negaranya seperti bumerang?

Saya kira bahwa alasan sebenarnya harus dicari ke arah itu. Karena retorika perang yang kosong dari para politisi, komentator dan media dari serangan itu menggambarkannya bukan sebagai serangan terhadap para kartunis tetapi serangan terhadap semua nilai-nilai penting dimana Barat dan warganya berdiri, yakni kebebasan berbicara yang tidak memiliki arti yang cukup karena tiga alasan:

Para pendukung kebebasan berbicara menganggap ini merupakan hak untuk menolak ketidakadilan dan kejahatan yang terjadi di masyarakat dan dalam dunia politik. Dan untuk mengkritiknya dengan maksud bahwa dengan diskusi dapat dicapai pemahaman dan hubungan yang lebih baik untuk meningkatkan masyarakat. Namun dalam kasus kartun yang menghina ini, tidak ada argumen yang disajikan dan juga tidak memberikan kontribusi bagi masyarakat untuk hidup berdampingan. Hal ini hanya menciptakan permusuhan dan kebencian antara lapisan masyarakat yang berbeda. Akibatnya, hal ini tidak mencapai tujuan apapun yang dimaksudkan bagi kebebasan berbicara.
Kebebasan berbicara dan berekspresi digunakan secara selektif. Para wanita Muslim tidak bisa berpakaian secara Islam di depan umum, hak-hak mereka untuk menikmati pendidikan dilanggar dan hak-hak mereka untuk mendapatkan pelayanan publik ditolak. Mengenakan cadar di depan umum secara hukum dilarang dan diancam dengan denda. Bahkan saat hampir seluruh dunia Islam memprotes dan menuntut agar Charlie Hebdo harus menghapus kartun yang menghina itu, mereka bahkan tidak memenuhi permintaan itu itu satu inci pun. Namun, ketika salah seorang dari kartunis itu sendiri, yakni Maurice Sinet, mempublikasikan sesuatu tentang menantu Yahudi dari Presiden Nicolas Sarkozy, dia dipecat karena menolak untuk menerima permintaan maafnya.

Suatu hal yang terdengar seperti paradoks, kebebasan berbicara yang dianggap sebagai hak konstitusional, bahkan dijatuhkan terhadap kaum oposan yang kritis (yang berpikir di luar norma-norma demokrasi liberal) untuk membungkam mereka melalui kebijakan yang preventif dan represif. Dan jika perlu mereka dibungkam dengan kekerasan dan jika perlu lagi, seperti yang dikatakan oleh Walikota Rotterdam, mereka harus “pergi”.

Hal ini menunjukkan bahwa bahkan para pendukung kebebasan berbicara tidak yakin atas ide ini dan ini hanya digunakan untuk melayani agenda mereka sendiri untuk membungkam kaum muslimin.

Akhirnya, kami umat Islam adalah ‘Negara dari Nabi Muhammad (Saw)’. Kami percaya kepadanya, kami mencintainya, kami mengikutinya dan kami akan selalu berdiri untuk membela kehormatannya. Apa yang disebut sebagai kebebasan berbicara atau apapun tidak dapat meyakinkan kami sama sekali dan sebaliknya, bahkan kami tidak yakin sedetikpun.

Okay Pala
Perwakilan Media Hizbut Tahrir Belanda

[htipress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.