Header Ads

Mengakhiri Sistem Upah Murah Buruh di Indonesia

Oleh : Umar syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

1 Mei menghitung hari, biasanya kaum buruh Indonesia melakukan tradisi may day. Tuntutan utama mereka adalah berkisar kenaikan upah. Ada yang menuntut kenaikan upah minimal 50 persen; ada juga yang menuntut kenaikan upah 60 persen. Wajar jika kaum buruh menuntut kenaikan upah, harga-harga kebutuhan hidup merangkak naik. Beratnya beban hidup mendorong para pekerja menuntut kenaikah upah minimum kepada perusahaan tempatnya bekerja dan pemerintah. Desakan ini mendorong pemerintah menaikkan standar upah minimum tersebut. Upah minimum selama ini adalah suatu jebakan karena dimulai dari ukuran yang terlalu rendah dan diperbarui setiap tahun terkait inflasi. Maka, untuk hidup layak, perlu dilakukan solusi sistemik yang lebih komprehensif.



Tidak dipungkiri kesenjangan yang terjadi di Indonesia selama 10 tahun terakhir naik tajam dan merupakan yang paling buruk setelah Cina. Kesenjangan yang dimaksudkan adalah kesenjangan kesempatan, kesenjangan pendapatan, perbedaan upah antara pekerja terampil dan tidak, dan kesenjangan dalam perlindungan terhadap kejutan (shocks) yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintahan Presiden Joko Widodo sampai saat ini belum memiliki kebijakan komprehensif untuk menguranganinya, namun beberapa kebijakan yang dijalankan sudah membuahkan hasil.

Hal tersebut dipaparkan Matthew Wai-Poi, staf Bank Dunia yang bekerja di Jakarta dalam kuliah umum yang diselenggarakan Asia Institute dan Indonesia Forum pada Melbourne University, Kamis (21/4) malam di Melbourne. Bisa ditebak, ada ular di balik batu Matthew yang merupakan representasi World Bank, memberi ‘rangsangan’ agar jokowi membawa Indonesia terperangkap dalam jebakan hutang oleh Bank Dunia, serta mencabut subsidi-subsidi yang menurut saran World Bank ‘tidak penting’ seperti subsidi listrik, BBM dsb.

Paradigma upah murah

Terkait upah, penelitian LSM Akatiga tahun 2009 di sektor tekstil dan garmen menunjukkan, di sembilan kabupaten meliputi 50 pabrik, rata-rata upah total (Rp 1.099.253) hanya mencukupi 74,3 persen rata-rata pengeluaran riil dan upah minimum kota (UMK) hanya mencukupi 62,4 persen rata-rata pengeluaran riil buruh (Rp 1.467.896).

Gambaran upah itu tidak berbeda dengan ilustrasi Manning (1993). Tahun 1990/1991—setelah lebih dari 20 tahun industrialisasi era Orde Baru—upah buruh tekstil di Bandung per hari setara dengan 4 kg beras. Buruh yang telah lelah sepanjang hari masih harus memikirkan tambahan penghasilan untuk menutupi keperluan keluarga. Banyak yang terlibat utang kepada rentenir dan beberapa buruh wanita bekerja ”ekstra” pada malam hari.

Kondisi yang memprihatinkan juga terjadi pada buruh kontrak dan outsourcing (Akatiga, 2010). Sekitar 40 persen pekerja di sektor metal adalah pekerja kontrak dan outsourcing dengan upah yang jauh lebih kecil. Mereka juga kesulitan bergabung pada serikat buruh sehingga sulit memiliki daya tawar kolektif.

Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) tahun 2006 mengungkapkan bahwa terjadi penyimpangan sebagai berikut; (a) penempatan buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di bagian yang bersifat tetap mencapai 77 persen, (b) upah di bawah UMK 8 persen, (c) pekerja tanpa perlindungan Jamsostek 48 persen, (d) pungutan biaya rekrutmen antara Rp 250.000 dan Rp 1,5 juta sebanyak 3 persen, dan (e) kontrak kerja kurang dari tiga bulan sebanyak 7 persen (Cahyono, 2010). Gambaran di atas menunjukkan betapa buruknya upah dan tingkat kesejahteraan buruh kita.

Fenomena upah murah dipengaruhi: pertama, perubahan struktural pasar tenaga kerja global. Negara maju merelokasi industrinya ke negara-negara yang menyediakan buruh berupah rendah sejak 1980-1990-an. Indonesia pun ikut menawarkan ”paket” buruh murah dan stabilitas politik (Batubara, 2008).

Kedua, ekses suplai tenaga kerja yang besar memberi tekanan kuat pada pembentukan upah murah (Manning, 1993). Ketiga, ekonom-ekonom arus utama, yang sangat berpengaruh terhadap pengambil kebijakan selama ini, umumnya sangat kontra terhadap kekakuan (rigidity) pasar tenaga kerja.

Kekakuan disebabkan oleh tingginya tingkat upah. Mereka mengimbau pasar tenaga kerja yang fleksibel untuk mengurangi pengangguran. Pasar akan fleksibel jika peranan pemerintah diperkecil, keberadaan serikat buruh (trade union) ditiadakan, dan sistem kerja tidak tetap dan outsourcing diberlakukan.

Fenomena diterimanya Pasal 65 dan 66 tentang sistem kerja kontrak (PKWT) dan alih daya (outsourcing) pada UU Ketenagakerjaan 2003 pada pemerintahan Megawati—yang katanya pro wong cilik—menunjukkan desain sistem ini melibatkan pihak-pihak yang sangat kuat, yakni IMF dan ekonom-ekonomnya, yang tecermin dalam letter of intent (LOI) ketika itu.

Nasib Buruh di Bawah Kepemimpinan Negara Korporasi

Dalam perspektif praktek ekonomi saat ini, secara umum, ada tiga komponen yang membentuk ‘harga alamiah’ sebuah komoditi sebelum komoditi itu dilempar ke pasar dan mendapatkan ‘harga pasar; sesuai dengan hukum penawaran-permintaan. Ketiga komponen itu adalah (1) biaya alat-alat produksi; (2) upah buruh (dalam arti luas, bukan hanya upah pokok, tetapi juga upah lembur, tunjangan, serta imbalan buruh lainnya), dan (3) keuntungan pengusaha. Jika biaya alat-alat produksi dan harga alamiah (untuk selanjutnya, akan kita sebut ‘harga’ saja) konstan, maka kenaikan upah akan mengurangi keuntungan pengusaha. Sebaliknya, dalam situasi serupa, pengusaha hanya bisa menaikkan keuntungannya dengan mengurangi upah buruh.

Kenaikan upah bisa tidak mengurangi keuntungan jika harga dinaikkan. Tetapi, kenaikkan harga akibat kenaikan upah relatif tidak akan mengurangi daya beli masyarakat, karena kenaikan harga itu diimbangi oleh kenaikan upah dan pendapatan masyarakat. Kenaikan harga hanya akan berdampak pada daya beli masyarakat jika kenaikan harga itu tidak dibarengi dengan kenaikan upah atau pendapatan masyarakat. Artinya, kenaikan harga hanya akan berdampak pada daya beli masyarakat jika kenaikan harga itu bersumber dari (1) kenaikan biaya alat-alat produksi dan/atau (2) kenaikan keuntungan pengusaha, yang tidak diimbangi oleh kenaikan upah.

Pengusaha berinvestasi dan membuka usaha untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, motivasi dasar pengusaha adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Untuk memperbesar keuntungannya, pengusaha bisa mempermurah biaya alat-alat produksi, menerapkan upah murah atau menaikkan harga. Namun, karena pengusaha berada daalam situasi persaingan dengan pengusaha lain, maka ia tidak bisa menaikkan harga seenaknya. Pasalnya, para pembelinya akan beralih ke pengusaha lain yang memproduksi dan menjual komoditi serupa dengan harga lebih murah.

Untuk memenangkan persaingan, seorang pengusaha harus menjual satu unit komoditinya dengan harga lebih murah dari pengusaha lain. Tetapi, agar keuntungan totalnya tidak turun, ia harus memproduksi dan menjual komoditi itu dengan jumlah lebih banyak. Untuk itu, ia harus meningkatkan produktivitas pekerjanya dengan cara meningkatkan teknologi produksinya. Dengan demikian, biaya alat-alat produksi cenderung meningkat. Karena pengusaha sulit mempermurah biaya alat-alat produksi dan menaikkan harga, maka cara yang paling mungkin mereka tempuh untuk memperbesar keuntungan adalah dengan mempraktekkan upah murah.

Jadi, pengusaha memiliki kecenderungan menekan upah buruh semurah mungkin demi memperbesar keuntungannya. Ini sudah menjadi ‘watak’ mereka. Kaum buruh hanya bisa membendung hal ini dengan memaksa pengusaha agar tidak mempraktekkan upah murah. Namun, di luar buruh dan pengusaha, terdapat pihak yang bernama ‘Negara.’ Negara seharusnya bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, termasuk kaum buruh. Karenanya, Negara seharusnya ikut—bersama-sama dengan kaum buruh—memaksa pengusaha agar tidak mempraktekkan upah murah. Tetapi, kenapa Negara lebih sering terlihat berpihak kepada pengusaha dan bukan buruh?

Sudah menjadi pengetahuan umum kiranya bahwa Negara cenderung berpihak pada pengusaha dan bukan buruh. Ini bisa dilihat dari respon pemerintah terhadap krisis Rupiah dalam “Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi,”. Juga dari sikap pemerintah terhadap tuntutan kenaikan upah dari buruh, dimana pemerintah menganggap kenaikan upah 50 persen tidak wajar. Pemerintah malah mengeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2013 yang hendak meneruskan praktek upah murah di Indonesia sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan represif dalam proses penentuan upah minimum.

Pertanyaannya, kenapa Negara cenderung berpihak kepada pengusaha dan bukan buruh? Karena sekarang ini, Negara mempraktekkan model pembangunan ekonomi yang berbasis pada Neo-liberalisme ekonomi. Negara tidak terlihat membangun ekonomi sektor publik, bahkan cenderung merusaknya dengan melakukan privatisasi. Itulah kenapa Negara memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan kepentingan investor swasta dan berusaha menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi mereka, meski kondisi itu bertentangan dengan kepentingan kesejahteraan masyarakat, termasuk kaum buruh.

Akar Masalah Perburuhan

Salah satu pemicu utama problem perburuhan adalah kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu biaya hidup terendah. Akibatnya, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya. Mereka hanya mendapatkan gaji sekadar untuk mempertahankan hidup mereka. Konsekuensinya, terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.

Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja; juga tidak lagi menjadikan biaya hidup terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan; seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.

Jadi, masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan biaya hidup terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal-sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis, tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas itu hanya klaim tanpa fakta.

Hijrah Menuju Solusi Islam

Sistem Kapitalisme yang menetapkan kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan penentuan gaji buruh berdasarkan biaya hidup terendah adalah akar permasalahan perburuhan. Islam sebagai satu-satunya ideologi yang diridhai oleh Allah SWT telah memberikan pemecahan secara tuntas terhadap permasalahan tersebut.

Pertama: Islam mengharamkan kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah). Namun, Islam justru mengajarkan konsep ibahah al-milkiyyah. Dua konsep ini jelas berbeda. Konsep hurriyah milkiyyah ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal-haram. Sebaliknya, konsep ibahah al-milkiyyah jelas tidak, karena justru faktor halal-haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak. Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia dan hukum asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah; seperti berburu, menjadi broker, bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.

Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep ibahah al-milkiyyah dalam Islam yang berbeda secara diametral dengan konsep hurriyah milkiyyah dalam Kapitalisme.

Kedua: Islam mengharamkan kebebasan bekerja (hurriyah al-‘amal) dan mensyariatkan konsep ibahah al-‘amal. Sebagaimana konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (hurriyah al-‘amal) ini juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara.

Ini berbeda dengan konsep ibahah al-‘amal karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia yang hukum asalnya mubah/boleh. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, atau berkebun yang memang dibolehkan oleh syariah. Sebaliknya, dia tidak boleh memproduksi khamr, melakukan jual-beli babi, membudidayakan ganja, atau bekerja di perseroan saham, bank riba, kasino, dan sebagainya. Jelas, semua pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.

Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep ibahah al-milkiyyah dan ibahah al-‘amal.

Ketiga: solusi Islam dalam penentuan standar gaji buruh. Standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh, bukan biaya hidup terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Sebab, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, kebolehan berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.

Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayah as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayah as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap kewajiban ri’ayah as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.

Mengenai hak mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Pasalnya, kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad sukarela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.

Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal-sulam sistem kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Padahal kewajiban ini merupakan kewajiban negara, bukan kewajiban majikan atau perusahaan.

Mengenai jaminan kesehatan, baik bagi buruh atau pekerja maupun keluarganya, pesangon ketika di-PHK, dana pensiun bagi buruh atau pekerja yang pensiun, jaminan pendidikan bagi putra-putri mereka, dan sebagainya, maka semuanya ini tidak dibahas oleh Islam ketika menyelesaikan masalah ijârah ini. Beban tersebut tidak menjadi tanggung jawab pengusaha atau majikan, tetapi merupakan kewajiban negara. Jaminan ini juga tidak hanya diberikan kepada pekerja atau buruh saja, tetapi diberikan kepada setiap warga negara. Negara wajib menjamin kesehatan dan pendidikan setiap warga negaranya.

Ketika tanggung jawab ini tidak dijalankan oleh negara, sebaliknya oleh negara dibebankan kepada pengusaha atau majikan, maka kebijakan ini menyebabkan terjadinya kenaikan harga, sekaligus rasionalisasi jumlah pekerja atau buruh. Dampak dari kenaikan harga tidak hanya akan ditanggung oleh pekerja atau buruh di perusahaan tersebut, tetapi oleh siapapun yang membeli produk dari perusahaan tersebut. Demikian halnya dampak rasionalisasi tersebut menyebabkan banyak pekerja atau buruh kehilangan mata pencaharian mereka. Mereka yang tetap dipertahankan bekerja di perusahaan tersebut akan dibebani oleh perusahaannya dengan beban dua atau bahkan tiga kali lipat dari beban biasanya, sebagai konsekuensi dari kebijakan rasionalisasi pekerja tersebut.

Terapkan Sekarang

Inilah harga yang harus dibayar oleh seluruh warga negara akibat kezaliman negara dan para penguasanya. Mestinya, yang harus dikoreksi adalah penguasa dan negaranya, bukan menimpakan masalah tersebut kepada yang lain, sementara pihak yang lebih bertanggung jawab, yaitu negara, justru dibiarkan tidak melakukan apa-apa.
Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi, tetapi sekadar obat penawar rasa sakit, sementara penyakitnya sendiri tidak pernah berkurang apalagi sembuh, karena sumber penyakitnya memang tidak pernah diselesaikan oleh sistem ini. Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji ketika dulu diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama akan terulang kembali, jika kelak Khilafah berdiri, dan Islam diterapkan.


[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.