Header Ads

Syariah Islam Dan Aspek Kemaslahatan

Aspek maslahat biasanya sering menjadi dasar atau pijakan ketika menentukan sebuah hukum atas permasalahan yang terjadi. Tulisan ini akan mengupas tentang opini tersebut, yakni benarkah aspek maslahat bisa dijadikan pijakan dalam menentukan sebuah hukum syariat atau sebaliknya, syariatlah yang menentukan ada dan tidaknya aspek kemaslahatan tersebut? Sebagaimana yang telah difahami oleh kita bahwa pada dasarnya kemaslahatan adalah diperolehnya manfaat dan terhindarkannya kerusakan (jalb al-manafi’ wa daf’ al-mudhirrah). Yang menentukan suatu perkara itu maslahat atau tidaknya hanya otoritas syariat semata. Syariatlah yang dapat menentukan hakikat kemaslahatan tersebut. Sebab, kemaslahatan yang dimaksud tentu kemaslahatan bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia yang memepunyaikebutuhan jasmani (hajatul ‘uduwiyah) dan naluriah (gharizah). Memang, kemaslahatan adakalanya dapat ditentukan oleh akal maupun syariat.

Masalahnya, mana kemaslahatan yang benar-benar sesuai dengan fitrah manusia : yang ditentukan oleh akal atau syariat ? Jika akal dibiarkan menetukan kemaslahatan sendiri, padahal sejatinya akal memiliki kemampuan yang sangat terbatas, pasti ia tidak akan mampu memahami hakikat manusia. Yang dapat memahami hakiakt manusia hanyalah Pencipta manusia, yakni al-khaliq, Allah SWT.

Memang, manusia dapat saja menentukan suatu perkara itu termasuk dalam kategori maslahat atau tidak. Akan tetapi, dia tidak mungkin menentukannya secara pasti. Padahal, menentukan kemaslahatan berdasarkan asumsi atau klaim hanya akan menyeret manusia ke dalam kehancuran. Sebab, adakalanya manusia mengira suatu perkara mengandung kemaslahatan, tetapi akhirnya terbukti menimbulkan kemudharatan.demikian juga sebaliknya. Ini dari satu aspek. Sementara itu, dari aspek lainnya, dapat dikatakan bahwa penilaian akal atas aspek kemaslahatan tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya. Artinya, kemaslahatan yang ditentukan oleh akal manusia pastilah bersifat asumtif sekaligus relative.

Karena itu, akal tidak boleh dibiarkan untuk menetukan aspek kemaslahatan. Syariatlah yang notabene bersumber dari zat yang mahatahu yakni Allah, dan memang syariatlah yang harus menentukannya. Sebab, hanya syariatlah yang mampu menetukan kemaslahatan dan kemudharatan yang hakiki. Karena itu, yang mesti dilakukan akal adalah sekedar menyerap suatu realitas sebagaiman apa adanya, lalu memahami nash syariat mengenai realitas tersebut. Jika relevan, disana pasti ada kemaslahatan atau kemudharatan sebagaimana yang dinyatakan oleh syariat. Akan tetapi, jika tidak relevan, makna yang relevan dengan realitas tersebut harus dicari sehingga kemaslahatan atau kemudharatan yang dinyatakan oleh syariat tersebut dapat diketahui setelah hukum Allah atas realitas tersebut diketahui.

Walhasil, kemaslahatan yang hakiki pada dasarnya adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh syariat, bukan yang ditentukan oleh akal yang serba relative. Dalam hal ini, penting untuk difahami, bahwa syariat pasti mengandung maslahat. Artinya, di mana ada syariat, di situ ada maslahat.

Sumber bacaan :Buku menegakkan syariat islam, penerbit hizbut tahrir Indonesia. Tahun 2002.

Wallahu’alam bis shawab.

Adi Victoria

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.