Benarkah wajibnya bersatu dalam sebuah pemerintahan hanya rekaan HT?
Salah satu dari keempat pilar sistem pemerintahan yang diungkapkan oleh HT adalah kesatuan khilafah[1]. Yang dimaksud adalah, bahwa wajib bagi umat Islam untuk bersatu dalam satu kepemimpinan, yakni di bawah kepemimpinan seorang kholifah dalam sebuah negara khilafah. Menanggapi apa yang diungkapkan oleh HT ini, sebagian orang yang berbicara tanpa ilmu dan tanpa penelitian yang cermat, menyatakan bahwa hal itu hanyalah sesuatu yang dibuat-buat oleh HT dan Islam tidak pernah memerintahkan kesatuan dengan bentuk yang digambarkan oleh HT. Untuk itu, pada kesempatan kali ini akan kami tunjukkan beberapa pendapat yang kami ambil dari sumber-sumber di luar HT dan akan kami uraikan dalil-dalil syara’ yang mendasari pandangan tersebut. Wallaahul Musta’aan wa ‘alaihit tuklaan
Pandangan dari luar HT
Berikut ini adalah pernyataan-pernyataan dari beberapa buku yang kami temui mengenai isu kesatuan negara dalam islam.
Di dalam Al Ahkaam As Sulthoniyyah Al Mawardi rahimahullaahu Ta’aalaa menyatakan:
“Dan jika diangkat dua orang imam di dua negeri yang berbeda maka aqad imamah keduanya tidak sah, sebab umat tidak boleh memiliki dua imam dalam satu waktu”[2].
Di dalam Al Ahkamus Sulthooniyyah Qodhi Abu Ya’la Al Farraa’ rahimahullaah menyatakan:
“Dan tidak dibolehkan menyerahkan Imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda”[3].
Di dalam Syarh Shohih Muslim Imam An Nawawi rahimahullaah menyatakan:
“Dan para ulama telah bersepakat bahwasannya tidak boleh ada pengangkatan dua orang kholifah dalam satu masa yang sama, baik wilayah negara islam itu meluas maupun tidak“[4].
Di dalam Al Muhalla bil Atsar Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan:
“Tidak dihalalkan adanya imam di seluruh dunia kecuali hanya satu”.[5]
Al Marhum Syaikh Abdur Rahman Al Jazairi di dalam Al Fiqh ’Alaa Madzaahibil Arba’ah menyatakan:
“Para imam rahimahumullaah Ta’aalaa telah sepakat bahwa Al Imamah itu wajib, dan umat harus memiliki seorang imam yang menegakkan syariat agama serta memberi keadilan bagi orang yang terdzolimi, dan bahwa tidak boleh terdapat dua orang imam bagi umat Islam di seluruh dunia dalam waktu yang sama”.[6]
Dr. Musthofa Hilmi di dalam kitab Nidzoomul Khilaafah fil Fikril Islamiy menyatakan:
“karena sesungguhnya, tujuan dari berdirinya Negara Islam adalah terbentuknya suatu institusi politik (dalam bentuk negara –pent) yang dapat mewujudkan kesatuan umat islam…”[7].
Dr. Sholah Ash Showi di dalam buku beliau, Al Wajiz fil Fiqhil Khilafah menyatakan:
“Jumhur Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat mengenai tidak dibolehkannya keberadaan lebih dari satu imam dalam satu masa”[8].
Penulis buku Al Imamah Al ’Udzma ’inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah menyatakan:
“Madzhab yang pertama adalah madzhab jumhur umat islam dari kalangan Ahlus Sunnah dan selain mereka, baik masa lalu maupun masa sekarang, bahwasannya: tidak dibolehkan adanya banyak imam dalam satu masa“.[9]
Dalil Yang Melandasi
Sesungguhnya masalah ini merupakan perkara hukum (fiqh), atas dasar itu, pandangan apa pun dalam masalah ini tidak bisa dikatakan shohih kecuali jika didasarkan pada dalil-dalil hukum yang sah, yakni Al Qur’an atau As Sunnah atau Ijma’ Shohabat. Atas dasar itu, pandangan yang hanya berdasarkan pada keadaan kekinian dengan pertimbangan akal dan perasaan tanpa memperhitungkan nash-nash syara’ bukan merupakan pandangan yang syar’i. Seluruh ulama yang menyatakan wajibnya bersatu dalam kepemimpinan seorang imam mendasarkan pandangannya dengan dalil-dalil berikut:
Al Qur’an Surat Ali ’Imran ayat 103 :
“dan berpegang teguhlah kalian kepada tali agama Allah dan janganlah berpecah-belah”
Mungkin ada yang mengatakan, “memiliki banyak negara tidak berarti terpecah-belah”, itu bisa dibantah dengan realitas Liga Arab, dalam soal Gaza yang nyata daruratnya saja mereka tidak bisa bersatu melawan musuh karena terhalang oleh kepentingan negaranya masing-masing.
Maka, benarlah Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu tatkala menanggapi pandangan tentang pembagian kepemimpinan, beliau menyatakan:
“tidak dihalalkan kaum muslimin memiliki dua orang amir, betapapun baiknya hal itu, tetap saja urusan dan hukum-hukum mereka akan mengalami perselisihan, jama’ah mereka akan terpecah belah, dan mereka akan saling memperebutkan kekuasaan di antara mereka, di sanalah sunnah akan ditinggalkan, bid’ah bermunculan, fitnah menjadi besar, sementara tidak ada seorang pun yang bisa memperbaikinya. (Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi)
Pun seandainya banyak negara itu tidak menimbulkan perpecahan, tetap saja hal itu menyalahi dalil-dalil lain. Ibnu Hazm[10] mendalili pendapat tentang haramnya keberadaan lebih dari satu imam dengan empat buah hadits berikut ini:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“apabila dibaiat dua orang kholifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya”.
(An Nawawi mengatakan: didalamnya ada larangan untuk memberikan baiat kepada dua orang kholifah)[11]. Saya tambahkan: dalil ini berbentuk mutlak, tanpa batasan. Sehingga ketentuan haramnya dua imam itu berlaku umum bagi seluruh umat Islam. Sebab, di sana tidak terdapat batasan tempat yang membuat pemberlakuannya menjadi terbatas. misal, jika ada hadits yang berbunyi “apabila dibaiat dua orang kholifah di madinah, maka bunuhlah yang terakhir” dalil yang bersifat muqoyyad (terbatas) seperti ini tidak ada. Atas dasar itu, tidak bisa dikatakan bahwa ketentuan ini hanya berlaku bagi umat islam dalam suatu negeri saja, karena taqyid (pembatasan) itu membutuhkan dalil. Jika tidak ada dalil yang membatasi, maka dalil itu tetap berlaku muthlaq, seperti yang dijelaskan oleh An Nawawi dalam menentang orang yang berpendapat bolehnya keberadaan dua imam jika jarak negerinya sangat jauh[12].
2. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah bin Umar radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa membaiat seorang imam hendaklah dia memberikan uluran tangannya, dan buah hatinya, dan hendaklah ia mentaatinya sekuat tenaga, dan apabila ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang itu”
3. Hadits yang dikeluarkan juga oleh Imam Muslim dari Arfajah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“barangsiapa mendatangi kalian, sedang urusan kalian terhimpun dalam kepemimpinan seseorang, dia hendak mematahkan tongkat kalian dan memecah jama’ah kalian maka bunuhlah ia”.
4. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, dari Abu Haazim radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Adalah dahulu Bani Israil diurus oleh para nabi, setiap ada Nabi yang wafat, nabi lain akan menggantikannya, namun tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para kholifah yang banyak” mereka berkata, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda, “penuhilah setiap baiat yang pertama”.
Terkait dengan hadits yang terakhir ini, Imam An Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah apabilah seseorang dibaiat setelah tertunaikannya baiat kepada seorang kholifah, maka baiat yang pertamalah yang sah dan wajib memenuhinya, sedang baiat yang kedua batal dan haram memenuhinya, dan diharamkan untuk menuntutnya (baiat), baik yang memberi aqad baiat kepada yang kedua itu mengetahui adanya aqad yang pertama ataupun tidak, baik keduanya itu berada di dua negeri yang berbeda maupun di satu negeri yang sama …”[13] Dengan kata lain, An Nawawi menegaskan bahwa baiat yang pertama itu berlaku untuk seluruh umat di seluruh negeri.
Dalil lain adalah Ijma’ Shohabat. Mereka telah sepakat untuk mengangkat seorang Imam di antara mereka, dan sepakat untuk menolak pandangan seorang penduduk Madinah yang mengatakan “bagi Qoraisy seorang amir dan bagi kita seorang amir juga”[14]. Dan dari kenyataan yang mereka praktekkan, bahwa tatkala wilayah kekuasaan Islam pada masa para shohabat meluas sampai meliputi Jazirah Arab, Syam, Mesir dan Persia, (meliputi yang sekarang disebut Saudi, Yaman, Qatar, Uni Emirat, Kuwait, Mesir, Palestina, Libanon, Suriah, Jordania, Irak dan Iran). Meskipun wilayahnya seluas itu, tapi mereka tetap bernaung dalam satu kepemimpinan, dalam satu negara. Itulah ijma’ mereka mengenai kesatuan khilafah.[15]
Alaa hal ballaghtu Allaahumma fasyhad!
Rujukan:
Abdul Qodim Zallum. 2001. Nidzoomul Hukmi Fil Islaam. Daarul Ummal, Beirut
An Nawawi. 1940. Shohih Muslim Bisyarh An Nawawi. Mathba’atul Mishriyyah bil Azhar, Mesir
Ibnu Hazm. Tt. Al Muhalla. Idarotuth Thibaa’ah Al Muniriyyah, Mesir
Dr. Musthofa Hilmiy. 2004. Nidzomul Khilafah fil Fikril Islamiy. Darul Fikr, Beirut
Dr. Muhammad Khoir Haikal. 1996. Al Jihad wal Qital fii Siyasatisy Syar’iyah. Cet. 2. Daru Ibni Hazm dan Darul Bayariq, Beirut
Ath Thobary. Tt. Tarikhur Rusul wal Muluk. Darul Ma’arif, Mesir.
Ad Dumaijiy. Tt. Al Imamatul ‘Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Tanpa penerbit. http://www.saaid.net
Dr. Sholaah Ash Shoowi.tt. Al Wajiiz fil Fiqhil Khilaafah. Daru I’lam Ad Dauli
Al Mawardi. 1989. Al Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah. Tahqiq Dr. Ahmad Mubarok. Daru Ibnu Qutaibah, Kuwait.
Abdur Rahman Al Jazairi. Tt. Kitabul Fiqhi ‘alaa Madzaahibil Arba’ah
[1] Lihat:Abdul Qodim Zallum, Nidzomul Hukmi fil Islam
[2] Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, hal. 10. Lihat juga buku terjemahannya, halaman 9 (terbitan Darul Falah).
[3] Dikutip oleh Dr. M. Khoir Haikal dalam Al Jihad wal Qital fii Siyaasatisy Syar’iyyah, Juz 1, halaman 334. Lihat juga terjemahannya halaman 375 (terbitan PTI).
[4] An Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Juz 12, baabu wujubil wafaa’ bibai’atil kholiifatil awal fal awal, hal 232
[5] Ibnu Hazm, Al Muhalla bil Atsar, Juz 9. Kitabul Imamah, hal 360
[6] Abdur Rahman Al Jazairi, Kitabul Fiqhi ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Juz 5
[7] Dr. Musthofa Hilmi, Nidzomul Khilafah fil Fikril Islamiy, Halaman 3.
[8] Dr. Sholaah Ash Shoowi, Al Wajiiz fil Fiqhil Khilaafah, halaman 64.
[9] Ad Dumaijiy, Al Imamatul Udzma Inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, halaman 552
[10] Lihat: Al Muhalla, hal 360
[11] An Nawawi, Syarh Shohih Muslim, hal 242
[12] Lihat: Syarh Shohih Muslim, hal 232
[13] Syarh Shohih Muslim, halaman 231.
[14] Lihat: Ath Thobary, Taarikhur Rusul wal Muluuk, Juz 3. Hal 218 dst.
[15] Ijma ini disangkal oleh Ali Abdur Raziq dalam Al Islam wa Ushulul Hukm, kemudian terdapat banyak ulama yang membalas sanggahan tersebut. Lihat Ad Dumaijiy, Al Imamah, Lihat juga Musthofa Hilmiy, Nidzoomul Khilafah
Sumber
Pandangan dari luar HT
Berikut ini adalah pernyataan-pernyataan dari beberapa buku yang kami temui mengenai isu kesatuan negara dalam islam.
Di dalam Al Ahkaam As Sulthoniyyah Al Mawardi rahimahullaahu Ta’aalaa menyatakan:
وإذا عٌقدت لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما لأنّه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد
“Dan jika diangkat dua orang imam di dua negeri yang berbeda maka aqad imamah keduanya tidak sah, sebab umat tidak boleh memiliki dua imam dalam satu waktu”[2].
Di dalam Al Ahkamus Sulthooniyyah Qodhi Abu Ya’la Al Farraa’ rahimahullaah menyatakan:
ولا يججوز عقد الإمامة لإمامين في بلدين
“Dan tidak dibolehkan menyerahkan Imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda”[3].
Di dalam Syarh Shohih Muslim Imam An Nawawi rahimahullaah menyatakan:
واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد الخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا
“Dan para ulama telah bersepakat bahwasannya tidak boleh ada pengangkatan dua orang kholifah dalam satu masa yang sama, baik wilayah negara islam itu meluas maupun tidak“[4].
Di dalam Al Muhalla bil Atsar Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan:
وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يَكُونَ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ إمَامٌ وَاحِدٌ
“Tidak dihalalkan adanya imam di seluruh dunia kecuali hanya satu”.[5]
Al Marhum Syaikh Abdur Rahman Al Jazairi di dalam Al Fiqh ’Alaa Madzaahibil Arba’ah menyatakan:
اتفق الأئمة رحمهم اللّه تعالى على: أن الإمامة فرض، وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان
“Para imam rahimahumullaah Ta’aalaa telah sepakat bahwa Al Imamah itu wajib, dan umat harus memiliki seorang imam yang menegakkan syariat agama serta memberi keadilan bagi orang yang terdzolimi, dan bahwa tidak boleh terdapat dua orang imam bagi umat Islam di seluruh dunia dalam waktu yang sama”.[6]
Dr. Musthofa Hilmi di dalam kitab Nidzoomul Khilaafah fil Fikril Islamiy menyatakan:
فإنّ الغاية الجوهرية من قيام الدولة الإسلامية هي إيجاد الجهاز السياسي الذي يحقق وحدة الأمة الإسلامية
“karena sesungguhnya, tujuan dari berdirinya Negara Islam adalah terbentuknya suatu institusi politik (dalam bentuk negara –pent) yang dapat mewujudkan kesatuan umat islam…”[7].
Dr. Sholah Ash Showi di dalam buku beliau, Al Wajiz fil Fiqhil Khilafah menyatakan:
اتفق جمهور أهل السنّة والجماعة على عدم جواز تعدد الأئمة في الزمن الواحد
“Jumhur Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat mengenai tidak dibolehkannya keberadaan lebih dari satu imam dalam satu masa”[8].
Penulis buku Al Imamah Al ’Udzma ’inda Ahlis Sunnah Wal Jama’ah menyatakan:
المذهب الأول وهو مذهب جماهير المسلمين من أهل السنة والجماعة وغيرهم قديمًا وحديثًا وهو أنه : لا يجوز تعدد الأئمة في زمن واحد
“Madzhab yang pertama adalah madzhab jumhur umat islam dari kalangan Ahlus Sunnah dan selain mereka, baik masa lalu maupun masa sekarang, bahwasannya: tidak dibolehkan adanya banyak imam dalam satu masa“.[9]
Dalil Yang Melandasi
Sesungguhnya masalah ini merupakan perkara hukum (fiqh), atas dasar itu, pandangan apa pun dalam masalah ini tidak bisa dikatakan shohih kecuali jika didasarkan pada dalil-dalil hukum yang sah, yakni Al Qur’an atau As Sunnah atau Ijma’ Shohabat. Atas dasar itu, pandangan yang hanya berdasarkan pada keadaan kekinian dengan pertimbangan akal dan perasaan tanpa memperhitungkan nash-nash syara’ bukan merupakan pandangan yang syar’i. Seluruh ulama yang menyatakan wajibnya bersatu dalam kepemimpinan seorang imam mendasarkan pandangannya dengan dalil-dalil berikut:
Al Qur’an Surat Ali ’Imran ayat 103 :
واعتصموا بحبل الله جميعاً ولا تفرقوا
“dan berpegang teguhlah kalian kepada tali agama Allah dan janganlah berpecah-belah”
Mungkin ada yang mengatakan, “memiliki banyak negara tidak berarti terpecah-belah”, itu bisa dibantah dengan realitas Liga Arab, dalam soal Gaza yang nyata daruratnya saja mereka tidak bisa bersatu melawan musuh karena terhalang oleh kepentingan negaranya masing-masing.
Maka, benarlah Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu tatkala menanggapi pandangan tentang pembagian kepemimpinan, beliau menyatakan:
“tidak dihalalkan kaum muslimin memiliki dua orang amir, betapapun baiknya hal itu, tetap saja urusan dan hukum-hukum mereka akan mengalami perselisihan, jama’ah mereka akan terpecah belah, dan mereka akan saling memperebutkan kekuasaan di antara mereka, di sanalah sunnah akan ditinggalkan, bid’ah bermunculan, fitnah menjadi besar, sementara tidak ada seorang pun yang bisa memperbaikinya. (Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi)
Pun seandainya banyak negara itu tidak menimbulkan perpecahan, tetap saja hal itu menyalahi dalil-dalil lain. Ibnu Hazm[10] mendalili pendapat tentang haramnya keberadaan lebih dari satu imam dengan empat buah hadits berikut ini:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما »
“apabila dibaiat dua orang kholifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya”.
(An Nawawi mengatakan: didalamnya ada larangan untuk memberikan baiat kepada dua orang kholifah)[11]. Saya tambahkan: dalil ini berbentuk mutlak, tanpa batasan. Sehingga ketentuan haramnya dua imam itu berlaku umum bagi seluruh umat Islam. Sebab, di sana tidak terdapat batasan tempat yang membuat pemberlakuannya menjadi terbatas. misal, jika ada hadits yang berbunyi “apabila dibaiat dua orang kholifah di madinah, maka bunuhlah yang terakhir” dalil yang bersifat muqoyyad (terbatas) seperti ini tidak ada. Atas dasar itu, tidak bisa dikatakan bahwa ketentuan ini hanya berlaku bagi umat islam dalam suatu negeri saja, karena taqyid (pembatasan) itu membutuhkan dalil. Jika tidak ada dalil yang membatasi, maka dalil itu tetap berlaku muthlaq, seperti yang dijelaskan oleh An Nawawi dalam menentang orang yang berpendapat bolehnya keberadaan dua imam jika jarak negerinya sangat jauh[12].
2. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah bin Umar radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« من بايع إمامًا فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه ما استطاع ، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا رقبة الآخر … »
“Barang siapa membaiat seorang imam hendaklah dia memberikan uluran tangannya, dan buah hatinya, dan hendaklah ia mentaatinya sekuat tenaga, dan apabila ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang itu”
3. Hadits yang dikeluarkan juga oleh Imam Muslim dari Arfajah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
« من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد ، يريد أن يشق عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه »
“barangsiapa mendatangi kalian, sedang urusan kalian terhimpun dalam kepemimpinan seseorang, dia hendak mematahkan tongkat kalian dan memecah jama’ah kalian maka bunuhlah ia”.
4. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, dari Abu Haazim radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء ، كلما هلك نبي خلفه نبي ، وأنه لا نبي بعدي ، وستكون خلفاء فتكثر ، قالوا : فما تأمرنا ؟ قال : « فوا ببيعة الأول فالأول ، … »
“Adalah dahulu Bani Israil diurus oleh para nabi, setiap ada Nabi yang wafat, nabi lain akan menggantikannya, namun tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para kholifah yang banyak” mereka berkata, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda, “penuhilah setiap baiat yang pertama”.
Terkait dengan hadits yang terakhir ini, Imam An Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah apabilah seseorang dibaiat setelah tertunaikannya baiat kepada seorang kholifah, maka baiat yang pertamalah yang sah dan wajib memenuhinya, sedang baiat yang kedua batal dan haram memenuhinya, dan diharamkan untuk menuntutnya (baiat), baik yang memberi aqad baiat kepada yang kedua itu mengetahui adanya aqad yang pertama ataupun tidak, baik keduanya itu berada di dua negeri yang berbeda maupun di satu negeri yang sama …”[13] Dengan kata lain, An Nawawi menegaskan bahwa baiat yang pertama itu berlaku untuk seluruh umat di seluruh negeri.
Dalil lain adalah Ijma’ Shohabat. Mereka telah sepakat untuk mengangkat seorang Imam di antara mereka, dan sepakat untuk menolak pandangan seorang penduduk Madinah yang mengatakan “bagi Qoraisy seorang amir dan bagi kita seorang amir juga”[14]. Dan dari kenyataan yang mereka praktekkan, bahwa tatkala wilayah kekuasaan Islam pada masa para shohabat meluas sampai meliputi Jazirah Arab, Syam, Mesir dan Persia, (meliputi yang sekarang disebut Saudi, Yaman, Qatar, Uni Emirat, Kuwait, Mesir, Palestina, Libanon, Suriah, Jordania, Irak dan Iran). Meskipun wilayahnya seluas itu, tapi mereka tetap bernaung dalam satu kepemimpinan, dalam satu negara. Itulah ijma’ mereka mengenai kesatuan khilafah.[15]
Alaa hal ballaghtu Allaahumma fasyhad!
Rujukan:
Abdul Qodim Zallum. 2001. Nidzoomul Hukmi Fil Islaam. Daarul Ummal, Beirut
An Nawawi. 1940. Shohih Muslim Bisyarh An Nawawi. Mathba’atul Mishriyyah bil Azhar, Mesir
Ibnu Hazm. Tt. Al Muhalla. Idarotuth Thibaa’ah Al Muniriyyah, Mesir
Dr. Musthofa Hilmiy. 2004. Nidzomul Khilafah fil Fikril Islamiy. Darul Fikr, Beirut
Dr. Muhammad Khoir Haikal. 1996. Al Jihad wal Qital fii Siyasatisy Syar’iyah. Cet. 2. Daru Ibni Hazm dan Darul Bayariq, Beirut
Ath Thobary. Tt. Tarikhur Rusul wal Muluk. Darul Ma’arif, Mesir.
Ad Dumaijiy. Tt. Al Imamatul ‘Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Tanpa penerbit. http://www.saaid.net
Dr. Sholaah Ash Shoowi.tt. Al Wajiiz fil Fiqhil Khilaafah. Daru I’lam Ad Dauli
Al Mawardi. 1989. Al Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah. Tahqiq Dr. Ahmad Mubarok. Daru Ibnu Qutaibah, Kuwait.
Abdur Rahman Al Jazairi. Tt. Kitabul Fiqhi ‘alaa Madzaahibil Arba’ah
[1] Lihat:Abdul Qodim Zallum, Nidzomul Hukmi fil Islam
[2] Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, hal. 10. Lihat juga buku terjemahannya, halaman 9 (terbitan Darul Falah).
[3] Dikutip oleh Dr. M. Khoir Haikal dalam Al Jihad wal Qital fii Siyaasatisy Syar’iyyah, Juz 1, halaman 334. Lihat juga terjemahannya halaman 375 (terbitan PTI).
[4] An Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Juz 12, baabu wujubil wafaa’ bibai’atil kholiifatil awal fal awal, hal 232
[5] Ibnu Hazm, Al Muhalla bil Atsar, Juz 9. Kitabul Imamah, hal 360
[6] Abdur Rahman Al Jazairi, Kitabul Fiqhi ‘alaa Madzaahibil Arba’ah, Juz 5
[7] Dr. Musthofa Hilmi, Nidzomul Khilafah fil Fikril Islamiy, Halaman 3.
[8] Dr. Sholaah Ash Shoowi, Al Wajiiz fil Fiqhil Khilaafah, halaman 64.
[9] Ad Dumaijiy, Al Imamatul Udzma Inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, halaman 552
[10] Lihat: Al Muhalla, hal 360
[11] An Nawawi, Syarh Shohih Muslim, hal 242
[12] Lihat: Syarh Shohih Muslim, hal 232
[13] Syarh Shohih Muslim, halaman 231.
[14] Lihat: Ath Thobary, Taarikhur Rusul wal Muluuk, Juz 3. Hal 218 dst.
[15] Ijma ini disangkal oleh Ali Abdur Raziq dalam Al Islam wa Ushulul Hukm, kemudian terdapat banyak ulama yang membalas sanggahan tersebut. Lihat Ad Dumaijiy, Al Imamah, Lihat juga Musthofa Hilmiy, Nidzoomul Khilafah
Sumber
Tidak ada komentar