Menegakkan Syariah dan Khilafah : Bukti Nyata Meneladani Nabi SAW
[Al-Islam 496] Pernyataan Presiden SBY pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. 1431 H yang diselenggarakan oleh Majelis Rasulullah di Lapangan Monas Jakarta beberapa waktu lalu menarik untuk kita simak dan renungkan. Pada saat memberikan sambutan, SBY mengatakan bahwa upaya membangun negara penuh dengan ujian dan tantangan. Untuk itu, dia mengajak semua pihak meneladani kepemimpinan Nabi Muhammad untuk mengatasi persoalan bangsa. Sebelumnya, SBY juga menyatakan sejarah membuktikan bahwa seberat apapun persoalan, tantangan dan ujian itu dapat diatasi dengan izin dan pertolongan Allah SWT (Jawa Pos, 27/2).
Pernyataan seperti itu menjadi penting kita renungkan ketika bangsa ini sedang ditimpa berbagai musibah dan bencana; baik berupa bencana lemahnya mental dan moral segenap warga bangsa; bencana alam berupa banjir, tanah longsor, dan sebagainya; atau bencana lainnya dalam kehidupan sosial-politik seperti kasus Century yang berimbas pada wacana pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam suasana Peringatan Maulid Nabi saw. ini layak kita merenungkan kembali keteladanan Rasulullah saw. baik sebagai seorang pribadi paripurna maupun sebagai pemimpin keluarga dan pemimpin negara, sebagaimana yang disampaikan Presiden SBY di atas. Namun, Peringatan Maulid Nabi saw. tidak selayaknya sekadar dijadikan wahana untuk mengumbar retorika berbaju “agama” untuk mendulang empati rakyat kepada pemimpinnya.
Untuk itu, umat sangat perlu memahami hakikat meneladani Nabi saw. dalam segala aspeknya, termasuk dalam hal kepemimpinan politik/negara, dan tidak berhenti hanya pada tataran moral/akhlak belaka. Dengan itu, umat tidak tersihir retorika penguasanya yang mengajak “kebaikan” (pada tuntutan berakhlak mulia), tetapi meruntuhkan sebagian besar kebaikan lainnya (yakni hukum-hukum syariah Islam yang meliputi aspek ekonomi, peradilan, pemerintahan dll). Sekadar mengajak masyarakat untuk mengikuti akhlak Nabi saw. secara pribadi, sembari mengabaikan sebagian besar aspek syariah lainnya yang juga dicontohkan beliau (seperti menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam negara), adalah bentuk pengkerdilan Rasulullah saw., bukan mengagungkan pribadi beliau. Tentu, ini bertolak belakang dengan pesan inti Peringatan Maulid, yakni memuliakan dan mengagungkan (takrîm[an] wa ta’zhîm[an]) Baginda Rasulullah saw.
Hakikat Meneladani Rasulullah saw.
Dari aspek kemanusiannya, Rasulullah saw Muhammad saw adalah seorang manusia biasa yang tidak berbeda dengan manusia lainnya. Akan tetapi ada perkara amat pentig yang membedakan beliau dengan manusia lainnya. Yakni, beliau telah dipilih Allah SWT sebagai nabi dan rasul terakhir, yang kepadanya diwahyukan al-Quran. Allah SWT berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu adalah Tuhan yang Esa.” (QS al-Kahfi [18]: 110).
Allah SWT mewahyukan al-Quran kepada beliau sebagai penjelas, pemutus perselisihan, petunjuk dan rahmat bagi kaum Mukmin (Lihat antara lain: QS an-Nahl[16]: 64; Fushshilat [41]: 6; an-Najm [53]: 4).
Dengan demikian, makna sesungguhnya dari kelahiran Muhammad saw adalah diturunkannya wahyu Allah SWT berupa risalah Islam sebagai rahmat untuk kebaikan dan kebahagiaan umat manusia (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107). Karena itu, kita wajib menjadikan semua yang berasal dari beliau –baik ucapan, perbuatan, maupun taqarir beliau- sebagai dalil dalam menetapkan perkara. Kita wajib mentaati semua lperintah dan larangannya. Sebab, semuanya merupakan wahyu Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
Apa saya yang Rasul bawa kepada kalian, terimalah. Apa saja yang beliau larang atas kalian, tinggalkanlah (QS al Hasyr [59]: 7).
Jelas, Rasulullah saw. hadir untuk umat ini dengan membawa petunjuk dan tuntunan hidup. Bahkan inilah hakikat kehadiran Rasul saw. di tengah-tengah kita. Karena itu, satu-satunya jalan untuk mencintainya dan mewujudkan visi rahmatan lil ‘alamin adalah dengan cara melaksanakan semua tuntunan yang beliau bawa (yakni Islam yang terdiri dari akidah dan syariahnya) secara kâffah sekaligus menerapkannya dalam kehidupan nyata baik dalam ruang pribadi, keluarga, bermasyarakat maupun bernegara. Inilah makna hakiki dari mencintai dan meneladani Rasulullah saw.
Menegakkan Syariah dan Khilafah: Bukti Nyata Meneladani Kepemimpinan Rasulullah saw.
Kepemimpinan negara akan selalu berkaitan dengan dua hal: sosok pemimpin dan sistem yang digunakan untuk memimpin negara. Hampir dalam setiap kesempatan Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap setahun sekali, penguasa negara/pejabat menekankan pentingnya meneladani sosok Baginda Nabi saw., termasuk dalam hal kepemimpinan negara/politik, sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Presiden SBY di atas. Namun, disadari atau tidak, ajakan untuk meneladani kepemimpinan Baginda Nabi saw. sering hanya fokus pada aspek moralitas (akhlak) beliau. Sering dilupakan bahwa mencontoh sistem negara/politik/pemerintahan yang beliau gunakan juga merupakan kewajiiban yang harus dilaksanakan.
Berdasarkan catatan sirah/sejarah, jelas sekali bahwa Baginda Nabi saw adalah seorang kepala negara dari sebuah Negara. Tepatnya, Negara Islam atau Daulah Islam Islamiyyah. Beliaulah yang pertama kali mendirikan negara tersebut di Madinah. Ciri utama Daulah Islam tentu saja adalah penerapan syariah Islam secara kâffah dalam negara; di sektor hukum/peradilan, pemerintahan/politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, pertahanan dan kemanaan, dll. Karena itu, meneladani kepemimpinan Baginda Nabi Muhammad saw. sejatinya juga adalah dengan mencontoh sekaligus mempraktikan sistem negara/politik/pemerintahan yang beliau gunakan untuk memimpin, bukan sekadar mencontoh akhlak pribadi beliau sembari melepaskannya dari konteks kepemimpinan Islam, yakni kepemimpinan yang menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah makna hakiki meneladani kepemimpinan Baginda Nabi saw.
Selain itu, dalam Islam, kepemimpinan atau politik secara umum dimaknai sebagai upaya pengurusan dan pengaturan berbagai kepentingan rakyat, tentu dengan syariah Islam. Dalam Islam kepemimpinan adalah amanah yang pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah saw.:
Sesungguhnya imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Jika seorang pemimpin telah menjalankan amanah kepemimpinannya dengan benar, yaitu memenuhi keperluan, memelihara dan menjaga rakyat yang dipimpinnya—tentu dengan syariah Islam— maka ia tidak perlu merasa resah dan gelisah. Hal ini karena jaminan dari Allah SWT melalui lisan Rasululah Muhammad saw. sebagai berikut:
Penghuni surga ada tiga golongan. Pertama: penguasa yang adil, suka bersedekah dan sesuai (dengan syariat). Kedua: orang yang penyayang, hatinya mudah trenyuh untuk membantu kerabat, serta berserah diri (kepada Allah). Ketiga: orang yang menjaga kesucian diri, dan terjaga kesuciannya, sementara dia mempunyai keluarga (HR Muslim).
Jika seorang pemimpin menjalankan amanah kepemimpinannya dengan benar, ia pun akan dicintai oleh rakyatnya. Kata-katanya akan didengar, seruannya akan dijalankan, kehormatan dan kewibawaannya pun akan terjaga di mata rakyatnya. Ia juga tidak akan merasa dijauhi dan dibenci rakyatnya. Bahkan ia akan dicintai rakyatnya jika ia memimpin rakyatnya dengan penuh kecintaan.
Sebaliknya, jika ia menelantarkan rakyatnya di negerinya sendiri, tidak melindunginya dan memenuhi kebutuhannya, dan malah membiarkan kaum penjajah asing dengan seenaknya mengeruk dan membawa lari hasil kekayaan negaranya, maka wajar jika ia akan dibenci dan dijauhi rakyatnya, bahkan rakyat ingin memakzulkannya. Rasulullah saw. bersabda:
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian serta yang kalian doakan dan mereka juga mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian serta yang kalian laknat dan mereka juga melaknat kalian (HR Muslim, Ahmad dan ad-Darimi).
Wahai kaum Muslim:
Sungguh sayang, apa yang Anda saksikan dan rasakan hari ini adalah penelantaran yang luar biasa atas amanah kepemimpinan yang telah Anda serahkan kepada para penguasa Anda. Saat kita memerlukan uluran bantuan, yang kita dapatkan hanyalah tipuan. Sumber-sumber kekayaan alam milik kita diserahkan begitu saja ke tangan penjajah dan antek-anteknya atas nama ‘investasi asing’ dan ‘program privatisasi’. Itu mereka lalukan justru saat kita memerlukan semua itu sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok kita.
Saat Nabi kita dicaci-maki dan dihinakan, tak satu pun di antara pemimpin itu yang membela apalagi menghukum para pencaci tersebut. Ketika agama kita dinista dan dinodai dengan munculnya berbagai aliran sesat, para pemimpin itu juga cenderung membiarkannya. Sebaliknya, saat hinaan dan cacian itu menimpa diri mereka, mereka begitu sensitif dan berekasi keras.
Sungguh negeri kita dan negeri-negeri kaum Muslim hari ini telah ditumbuhi dengan berbagai macam keburukan dan kejahatan. Akar kejahatan yang lebih besar adalah ditelantarkannya tuntunan Rasulullah saw. (yakni syariah Islam) secara kâffah dalam kehidupan nyata dan diterapkannya sistem sekuler-liberal dalam berbagai aspek kehidupan. Inilah yang menjadi sumber utama dari berbagai kemungkaran yang ada dan menjadi penyebab jauhnya kehidupan yang berkah, seperti ungkapan al-quran: baldat[un] tayyibat[un] warrabun ghofuûr.
Wahai kaum Muslim:
Karena itu, diperlukan sebuah perubahan mendasar terhadap sendi-sendi kehidupan negeri ini. Kepemimpinan ala Rasulullah saw. menjadi jaminan akan perbaikan negeri ini dan negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia. Syaratnya adalah negeri ini harus diatur dengan syariah Islam dan dijalankan oleh kepemimpinan yang adil dan amanah yang dipimpin oleh seorang Khalifah dalam institusi Khilafah Islamiyah.
Inilah makna hakiki mengikuti dan meneladani Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian menuju sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24).
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-islam:
Sidang Paripurna DPR Soal Century Ricuh (Detik.com, 2/3/2010)
Inilah bukti lain bobrok demokrasi: elit berebut kekuasan, rakyat menjadi korban.
Pernyataan seperti itu menjadi penting kita renungkan ketika bangsa ini sedang ditimpa berbagai musibah dan bencana; baik berupa bencana lemahnya mental dan moral segenap warga bangsa; bencana alam berupa banjir, tanah longsor, dan sebagainya; atau bencana lainnya dalam kehidupan sosial-politik seperti kasus Century yang berimbas pada wacana pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam suasana Peringatan Maulid Nabi saw. ini layak kita merenungkan kembali keteladanan Rasulullah saw. baik sebagai seorang pribadi paripurna maupun sebagai pemimpin keluarga dan pemimpin negara, sebagaimana yang disampaikan Presiden SBY di atas. Namun, Peringatan Maulid Nabi saw. tidak selayaknya sekadar dijadikan wahana untuk mengumbar retorika berbaju “agama” untuk mendulang empati rakyat kepada pemimpinnya.
Untuk itu, umat sangat perlu memahami hakikat meneladani Nabi saw. dalam segala aspeknya, termasuk dalam hal kepemimpinan politik/negara, dan tidak berhenti hanya pada tataran moral/akhlak belaka. Dengan itu, umat tidak tersihir retorika penguasanya yang mengajak “kebaikan” (pada tuntutan berakhlak mulia), tetapi meruntuhkan sebagian besar kebaikan lainnya (yakni hukum-hukum syariah Islam yang meliputi aspek ekonomi, peradilan, pemerintahan dll). Sekadar mengajak masyarakat untuk mengikuti akhlak Nabi saw. secara pribadi, sembari mengabaikan sebagian besar aspek syariah lainnya yang juga dicontohkan beliau (seperti menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam negara), adalah bentuk pengkerdilan Rasulullah saw., bukan mengagungkan pribadi beliau. Tentu, ini bertolak belakang dengan pesan inti Peringatan Maulid, yakni memuliakan dan mengagungkan (takrîm[an] wa ta’zhîm[an]) Baginda Rasulullah saw.
Hakikat Meneladani Rasulullah saw.
Dari aspek kemanusiannya, Rasulullah saw Muhammad saw adalah seorang manusia biasa yang tidak berbeda dengan manusia lainnya. Akan tetapi ada perkara amat pentig yang membedakan beliau dengan manusia lainnya. Yakni, beliau telah dipilih Allah SWT sebagai nabi dan rasul terakhir, yang kepadanya diwahyukan al-Quran. Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu adalah Tuhan yang Esa.” (QS al-Kahfi [18]: 110).
Allah SWT mewahyukan al-Quran kepada beliau sebagai penjelas, pemutus perselisihan, petunjuk dan rahmat bagi kaum Mukmin (Lihat antara lain: QS an-Nahl[16]: 64; Fushshilat [41]: 6; an-Najm [53]: 4).
Dengan demikian, makna sesungguhnya dari kelahiran Muhammad saw adalah diturunkannya wahyu Allah SWT berupa risalah Islam sebagai rahmat untuk kebaikan dan kebahagiaan umat manusia (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107). Karena itu, kita wajib menjadikan semua yang berasal dari beliau –baik ucapan, perbuatan, maupun taqarir beliau- sebagai dalil dalam menetapkan perkara. Kita wajib mentaati semua lperintah dan larangannya. Sebab, semuanya merupakan wahyu Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
]وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا[
Apa saya yang Rasul bawa kepada kalian, terimalah. Apa saja yang beliau larang atas kalian, tinggalkanlah (QS al Hasyr [59]: 7).
Jelas, Rasulullah saw. hadir untuk umat ini dengan membawa petunjuk dan tuntunan hidup. Bahkan inilah hakikat kehadiran Rasul saw. di tengah-tengah kita. Karena itu, satu-satunya jalan untuk mencintainya dan mewujudkan visi rahmatan lil ‘alamin adalah dengan cara melaksanakan semua tuntunan yang beliau bawa (yakni Islam yang terdiri dari akidah dan syariahnya) secara kâffah sekaligus menerapkannya dalam kehidupan nyata baik dalam ruang pribadi, keluarga, bermasyarakat maupun bernegara. Inilah makna hakiki dari mencintai dan meneladani Rasulullah saw.
Menegakkan Syariah dan Khilafah: Bukti Nyata Meneladani Kepemimpinan Rasulullah saw.
Kepemimpinan negara akan selalu berkaitan dengan dua hal: sosok pemimpin dan sistem yang digunakan untuk memimpin negara. Hampir dalam setiap kesempatan Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap setahun sekali, penguasa negara/pejabat menekankan pentingnya meneladani sosok Baginda Nabi saw., termasuk dalam hal kepemimpinan negara/politik, sebagaimana yang juga dinyatakan oleh Presiden SBY di atas. Namun, disadari atau tidak, ajakan untuk meneladani kepemimpinan Baginda Nabi saw. sering hanya fokus pada aspek moralitas (akhlak) beliau. Sering dilupakan bahwa mencontoh sistem negara/politik/pemerintahan yang beliau gunakan juga merupakan kewajiiban yang harus dilaksanakan.
Berdasarkan catatan sirah/sejarah, jelas sekali bahwa Baginda Nabi saw adalah seorang kepala negara dari sebuah Negara. Tepatnya, Negara Islam atau Daulah Islam Islamiyyah. Beliaulah yang pertama kali mendirikan negara tersebut di Madinah. Ciri utama Daulah Islam tentu saja adalah penerapan syariah Islam secara kâffah dalam negara; di sektor hukum/peradilan, pemerintahan/politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, pertahanan dan kemanaan, dll. Karena itu, meneladani kepemimpinan Baginda Nabi Muhammad saw. sejatinya juga adalah dengan mencontoh sekaligus mempraktikan sistem negara/politik/pemerintahan yang beliau gunakan untuk memimpin, bukan sekadar mencontoh akhlak pribadi beliau sembari melepaskannya dari konteks kepemimpinan Islam, yakni kepemimpinan yang menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah makna hakiki meneladani kepemimpinan Baginda Nabi saw.
Selain itu, dalam Islam, kepemimpinan atau politik secara umum dimaknai sebagai upaya pengurusan dan pengaturan berbagai kepentingan rakyat, tentu dengan syariah Islam. Dalam Islam kepemimpinan adalah amanah yang pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah saw.:
«اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Sesungguhnya imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Jika seorang pemimpin telah menjalankan amanah kepemimpinannya dengan benar, yaitu memenuhi keperluan, memelihara dan menjaga rakyat yang dipimpinnya—tentu dengan syariah Islam— maka ia tidak perlu merasa resah dan gelisah. Hal ini karena jaminan dari Allah SWT melalui lisan Rasululah Muhammad saw. sebagai berikut:
«وَأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلاَثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ»
Penghuni surga ada tiga golongan. Pertama: penguasa yang adil, suka bersedekah dan sesuai (dengan syariat). Kedua: orang yang penyayang, hatinya mudah trenyuh untuk membantu kerabat, serta berserah diri (kepada Allah). Ketiga: orang yang menjaga kesucian diri, dan terjaga kesuciannya, sementara dia mempunyai keluarga (HR Muslim).
Jika seorang pemimpin menjalankan amanah kepemimpinannya dengan benar, ia pun akan dicintai oleh rakyatnya. Kata-katanya akan didengar, seruannya akan dijalankan, kehormatan dan kewibawaannya pun akan terjaga di mata rakyatnya. Ia juga tidak akan merasa dijauhi dan dibenci rakyatnya. Bahkan ia akan dicintai rakyatnya jika ia memimpin rakyatnya dengan penuh kecintaan.
Sebaliknya, jika ia menelantarkan rakyatnya di negerinya sendiri, tidak melindunginya dan memenuhi kebutuhannya, dan malah membiarkan kaum penjajah asing dengan seenaknya mengeruk dan membawa lari hasil kekayaan negaranya, maka wajar jika ia akan dibenci dan dijauhi rakyatnya, bahkan rakyat ingin memakzulkannya. Rasulullah saw. bersabda:
«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ»
Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian serta yang kalian doakan dan mereka juga mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian serta yang kalian laknat dan mereka juga melaknat kalian (HR Muslim, Ahmad dan ad-Darimi).
Wahai kaum Muslim:
Sungguh sayang, apa yang Anda saksikan dan rasakan hari ini adalah penelantaran yang luar biasa atas amanah kepemimpinan yang telah Anda serahkan kepada para penguasa Anda. Saat kita memerlukan uluran bantuan, yang kita dapatkan hanyalah tipuan. Sumber-sumber kekayaan alam milik kita diserahkan begitu saja ke tangan penjajah dan antek-anteknya atas nama ‘investasi asing’ dan ‘program privatisasi’. Itu mereka lalukan justru saat kita memerlukan semua itu sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok kita.
Saat Nabi kita dicaci-maki dan dihinakan, tak satu pun di antara pemimpin itu yang membela apalagi menghukum para pencaci tersebut. Ketika agama kita dinista dan dinodai dengan munculnya berbagai aliran sesat, para pemimpin itu juga cenderung membiarkannya. Sebaliknya, saat hinaan dan cacian itu menimpa diri mereka, mereka begitu sensitif dan berekasi keras.
Sungguh negeri kita dan negeri-negeri kaum Muslim hari ini telah ditumbuhi dengan berbagai macam keburukan dan kejahatan. Akar kejahatan yang lebih besar adalah ditelantarkannya tuntunan Rasulullah saw. (yakni syariah Islam) secara kâffah dalam kehidupan nyata dan diterapkannya sistem sekuler-liberal dalam berbagai aspek kehidupan. Inilah yang menjadi sumber utama dari berbagai kemungkaran yang ada dan menjadi penyebab jauhnya kehidupan yang berkah, seperti ungkapan al-quran: baldat[un] tayyibat[un] warrabun ghofuûr.
Wahai kaum Muslim:
Karena itu, diperlukan sebuah perubahan mendasar terhadap sendi-sendi kehidupan negeri ini. Kepemimpinan ala Rasulullah saw. menjadi jaminan akan perbaikan negeri ini dan negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia. Syaratnya adalah negeri ini harus diatur dengan syariah Islam dan dijalankan oleh kepemimpinan yang adil dan amanah yang dipimpin oleh seorang Khalifah dalam institusi Khilafah Islamiyah.
Inilah makna hakiki mengikuti dan meneladani Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian menuju sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (QS al-Anfal [8]: 24).
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-islam:
Sidang Paripurna DPR Soal Century Ricuh (Detik.com, 2/3/2010)
Inilah bukti lain bobrok demokrasi: elit berebut kekuasan, rakyat menjadi korban.
Tidak ada komentar